Oleh : Budi Nurhamidin
Ketua DPD IMM Gorontalo Bidang RPK
Perhelatan Musyawarah Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Provinsi Gorontalo yang akan diselenggarakan beberapa hari kedepan, tentunya bukan hanya menjadi tempat untuk merebut posisi. Lebih dari pada itu, Musyawarah Daerah tentunya harus dijadikan sebagai ruang untuk mengadu ide serta gagasan agar IMM semakin progres dalam gerak roda organisasinya.Tujuan tersebut didasarkan pada sejarah awal berdirinya IMM yang dipengaruhi oleh faktor internal berupa motifasi idealis untuk mengembangkan dakwah Muhammadiyah, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa cita-cita Muhammadiyah yakni untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujut masyarakat yang adil dan makmur. Sedangkan faktor eksternal, yaitu berkaitan dengan umat Islam secara umum, maupun sejarah pergolakan bangsa Indonesia yang melibatkan khususnya pemuda dan mahasiswa.[1]
Untuk mewujutkan hal tersebut, para kader perlu dibekali dengan pengetahun yang mumpuni. Sebagai organisasi otonom yang bergerak di ranah kemahasiswaan, perlu dipahami bahwa IMM merupakan wadah yang memiliki tujuan untuk menciptakan kaum intelektual yang progresif dalam gerakan dan berfikir transformatif dalam wacana keilmuan, serta berpegang pada prinsip-prinsip agama berupa kebenaran, kejujuran, kesetaraan sosial, serta berjuang untuk melawan kezoliman, diskriminasi dan penindasan. Keterlibatan IMM tentunya sangat diperlukan dalam upaya untuk melakukan ekspansi dakwah sesuai dengan cita-cita Muhammadiyah.
Sebagai organisasi mahasiswa, tentunya IMM juga dituntut pro-aktif terhadap berbagai isu dan kondisi kebangsaan. Fungsi yang dijalankan oleh IMM sebagai agent of control merupakan tugas yang memang sudah diemban sejak lahir oleh sebuah gerakan mahasiswa.[2] Dan untuk terus menjaga eksistensinya, IMM dituntut agar dapat melakukan serangkaian kegiatan yang bisa menciptakan produkstifitas serta kualitas para kader agar siap berkontribusi bagi kemajuan agama dan negara. Dalam ruang politik kebangsaan, kegiatan yang dilakukan oleh IMM ditujukan untuk menjaga konsistensi sebagai gerakan mahasiswa agar tidak terkooptasi oleh berbagai macam kepentingan, sehingga IMM tetap menjadi kelompok ideal dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro terhadap kepentingan masyaraktyat secara umum.
Demi tujuan ideal tersebut serta untuk menjaga eksistensinya dalam ranah gerakan dan wacana keilmuan, tentunya IMM perlu memperkuat basis epistemik agar bisa memberikan penjelasan berbagai fenomena sosial kemasyarakat berdasarkan pengetahuan dan harus bertindak sebagai civil society yang mengambil peran diluar kekuasaan dengan memposisikan dirinya sebagai gerakan sosial yang berfungsi untuk melakukan kontrol sosial-politk terhadap negara.
IMM sebagai Kelompok Epistemik
Sebagai sebuah organisasi yang bergerak diranah kemahasiswaan, IMM tentunya memiliki tanggung jawab penting pada persoalan pengetahuan. Organisasi IMM sendiri memiliki tiga nilai pada ranah gerakan (trilogi) yang menjadi dasar dalam pembentukan kader serta arah yang ingin dituju. Pertama, nilai humanitas, yang dipahami sebagai kepekaan yang harus dimiliki para kader terhadap gejala dehumanisasi yang terjadi dalam masyarakat, yaitu dengan mengusahakan untuk mengangkat kembali martabat manusia yang sudah terjatuh secara etik maupun sosial. Kedua, nilai intelektualitas atau penguatan kapasitas ilmu pengetahuan, seperti yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo bahwasanya intelektualitas sama halnya dengan ilmu sosial profetik yang berkaitan dengan liberasi dalam konteks ilmu, dan sebagai sasarannya yakni sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik. Ketiga, nilai religiusitas, atau dalam ilmu sosial biasa disebut dengan sifat transendensi keimanan yang merupakan landasan dalam gen pemikiran.[3] Dari ketiga nilai tersebut diharapkan bisa diterjemahkan dalam sikap dan tindakan para kader IMM.
Mengacu pada pemahaman tentang trilogi sebagai basis gerakan, komponen-komponen tersebut memenuhi unsur bahwa IMM pantas disebut sebagai kelompok epistemik. Kelompok ini dapat dipahami sebagai orang-orang yang memiliki kepakaran dan kompetensi pada keilmuan yang digeluti, yang nantinya ditujukan untuk memecahkan berbagai permasalahan publik. Kelopok epistemik tentunya memiliki ciri-ciri yang sama dalam menganut nilai-nilai dan pokok mengenai suatu permasalahan, mereka juga memiliki kesepakatan terhadap model-model kausal dibalik suatu fenomena atau peristiwa sosial, serta pola validasi pengetahuan yang dimiliki cenderung sama. Pada akhirnya kelompok epistemik memiliki proyek dan usaha kebijakan bersama yang ingin diupayakan. Sebagai sebuh metode pendekatan dalam upaya menangani berbagai permasalahan kemasyarakatan, kolompok epistemik mengisyaratkan bahwa perubahan yang konstruktif dan transformatif dapat terjadi dengan bekal pengetahuan dan prinsip yang bersumber dari ajaran agama, yang terkait dengan berbagai dimensi dan persoalan kehidupan manusia.[4]
Pengertian tentang kelompok epistemik dan trigologi sebagai gen pemikiran, IMM diharapkan dapat memperkuat kembali marwah ikatan. Dengan adanya penguatan pengetahuan, tentunya ada banyak kemungkinan yang bisa dilakukan, salah satunya berkaitan dengan kontribusi IMM terhadap negara, yaitu dengan selalu memberikan masukan-masukan kepada pemerintah berkaitan dengan permasalahan publik.
Hubungan antara IMM dengan pemerintah, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, pemerintah bersikap tebuka, yaitu akan menerima bahkan membutuhkan masukan dari kelompok epistemik untuk memahami permasalahan sosial kemasyarakatan. Kedua, pemerintah bersikap tertutup, ketika hal ini terjadi tentunya IMM harus melakukan kontrol dari luar pemerintah dengan melakukan gerakan civil society sebagai kontrol kebijakan pemerintah.
IMM dan Kekuatan Civil Society
IMM yang memposisikan dirinya sebagai kelompok epistemik, merupakan modal penting dalam melakukan suatu gerakan. Dalam hubungannya dengan negara, ketika pemerintah mendominasi dalam peran kenegaraan dengan sikap tertutup dan cenderung otoriter, tentunya tanggung jawab sosial yang selalu digaungkan oleh IMM perlu di implementasikan dalam konteks gerakan sebagai suatu kekuatan civil society.
Dalam memahami gerakan civil society, kita harus melihat sedikit kebelakang. Pada awalnya konsep civil society berasal dari sejarah peradaban Barat khususnya di bagian Eropa Barat. Konsep tentang civil society sendiri sudah lama tidak dibicarakan, namun konsep tersebut muncul lagi kepermukaan ketika adanya gerakan solidaritas di Polandia yang pada saat itu dipimpin oleh Lech Walesa dengan melakukan perlawanan terhadap dominasi pemerintah yang dipimpin oleh Jendral Jeruzelski. Ketika melakukan perlawanan tersebut, solidaritas Polandia menggunakan civil society sebagai dasar sekaligus arah perjuangan dengan tekanan utamanya pada perlawanan terhadap otoritarianisme negara. Inti dari konsep tentang civil society adalah penolakan terhadap segala jenis otoritarianisme dan totalitarianisme.[5]
Indonesia sendiri sejak revormasi tahun 1998 telah merubah sistem pemerintahan dari Orde Baru berubah menjadi Demokrasi. Sistem pemerintahan Demokrasi tentunya membuka ruang partisipasi yang lebih luas kepada masyarakat untuk menyampaikan gagasan serta kritik kepada pemerintah. Ruang partisipasi yang diberikan negara kepada masyarakat, tidak bisa hanya dipahami sebatas memberikan suara pada pemilihan legislatif maupun eksekutif, tetapi lebih pada pengontrolan berbagai regulasi kebijakan yang akan diterapkan.
Permasalah di atas, merupakan persoalan serius yang harus dijawab. Sebagai kekuatan civil society yang ditunjang dengan kekuatan epistemik, merupakan modal dalam memberikan arah yang jelas terhadap gerakan IMM untuk berkontribusi terhadap kemajuan agama dan negara, juga berkontribusi untuk mengupayakan penyelesaian problematika sosial kemasyarakat yang mengalami diskrimantif terhadap dampak kebijakan yang dinilai tidak pro terhadap kepentingan masyarakat secara luas.
Daftar Pustaka
Halim Sedyo Prasojo dkk, (2013).Tak Sekedar Merah. Yogyakarta: MIM Indigenous School.
Hendro Prasetyo dkk, (2002). Islam dan Civil Society, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, (2014). Politik Syariat Islam, Cet. I, Jakarta: Pustaka Alvabet.
Noor Chosin Agham, (1989). Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan IMM, Jakarta.
[1] Noor Chosin Agham, Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan IMM, (Jakarta: 1989), h. 4-17
[2] Halim Sedyo Prasojo dkk, Tak Sekedar Merah, (Yogyakarta: MIM Indigenous School, 2013), h. 10
[3] Ibid., h. 12-13
[4] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2014), h. 206
[5] Hendro Prasetyo dkk, Islam dan Civil Society, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 1-2