GOPOS.ID -Situasi emergency seperti sekarang ini menjadi momentum untuk menyaksikan serta menyeleksi, mana pemimpin yang “biasa-biasa saja”, mana yang “bo bagitu”, mana yang “asali ma otawa mao”, mana yang “bilolio huta”, dan mana tipe “emergency leader”.
Fase emergency ini membutuhkan level dan karakter pemimpin yang bersifat “extraordinary leaders”, bukan lagi seorang “normal leaders”.
Extraordinary leaders bukanlah seseorang yang ragu, lamban, flamboyan, kaku, emosional, apalagi korup.
Extraordinary leaders adalah seseorang yang handal menangani kebijakan, sigap dalam mengambil keputusan, judgement yang matang, intelektualitas tinggi, akhlak baik, berani mengambil resiko, adaptif, naluri tajam, tangguh mental, inovatif, mau introspeksi, mampu menentukan prioritas.
Hari-hari penuh duka ini, sangat terpampang jelas, mana pemimpin dan calon pemimpin yang “mo ba harap akan cuma beken saki hati, tidak mo harap akan mar dia yang pegang kekuasaan”. Dan mana yang memiliki kepekaan serta kepedulian tinggi.
Tapi, pada setiap lipatan zaman, elemen tanah, api, air dan udara adalah instrumenNya untuk mengingatkan, menyeleksi dan menghukum.
Seringkali kita dengar istilah “bilolio lo huta”, artinya sebelum memegang tampuk kekuasan, “macam malaikat pe visi misi, menjabarkan dan melaksanakan perintah Ilahi”. Saat dilantik, diberi amanah ; “hele ibilisi mo tu’o moondo deoliyo”. Wolo mootu’o de ibilisi? Mahemo limbato kawasa lo Eeya!.
Sehingga, wajar dan maklum banyak deretan pemimpin lokal kita yang “lombuliyo lo huta”. Bala’ dan azhab menghampiri, sayangnya jika itu terjadi secara massif dalam bentuk bencana, orang tak bersalah pun ikut kena.
Nah, hikmah bencana adalah selain proses seleksi alam terhadap kapasitas pemimpin dan calon pemimpin nanti, juga menyadarkan “konstituen” bahwa inilah harga demokrasi yang harus dibayar dengan “kuti-kuti”.
Hikmah lain, dalam kegentingan ini, lahir orang-orang muda yang hingga jelang subuh pontang-panting membagi donasi, melakukan evakuasi, mencari titik-titik yang sulit dijangkau dengan perahu karet. Mereka tidak mengutuk kegelapan dan menyalakan lampu, mereka adalah lampu dan cahaya itu. Hormat sepenuhnya bagi kalian, semoga kalian diberkahi dan dijaga semangat agar menjadi obor penerang bagi peradaban Gorontalo kelak.
Bencana tentu saja melahirkan ruang refleksi bagi yang mau belajar, dan akan menghajar bagi yang tak mau belajar. Hikmah terpampang secara nyata. Semoga kita semua diperkenankanNya untuk terus belajar, mendapat hikmah untuk memperbaiki diri, dan Gorontalo. (*/gopos)