Penulis. MISRAN S. RAHIM, Jurusan Bimbingan & Konseling – Universitas Negeri Gorontalo
MEREBAKNYA virus Corona yang dimulai pada akhir tahun 2019 di Provinsi Wuhan, China atau para ahli bersebakat menyebutnya Corona Virus Desease-2019 (COVID-19) membuat pandemi di kalangan masyarakat dunia. Industri, ekonomi, politik, pendidikan, dibuat lumpuh oleh benda mati yang tidak terlihat tersebut.
Hal ini membuat ketimpangan dimana-dimana, interkasi sosial pun cacat dibuatnya. Perubahan sosial pun terjadi dengan begitu cepatnya, mulai dari memangsa kesombongan kaum-kaum elit, menengah, bahkan sampai masuk ke setiap individu.
Kekhawatiran dan ketakutan berlebih pun mulai tercipta, paranoid, anvxiety, sampai psikosomatik terjadi dengan begitu cepatnya.
Kekhawatiran dan katakutan yang berlebih ini pun bukan tanpa alasan. Informasi yang cenderung dibuat-buat dan melebih-lebihkan menjadi salah satu kunci kegaduhan sosial dan individu terjadi.
Selain itu, gangguang mental ini dipengaruhi karena kurangnya informasi yang didapatkan dan individu terkadang sangat cepatnya menggeneralisasikan informasi terkait COVID-19 yang bersifat negatif. Kekhwatiran dan ketakutan berlebih ini membuat mental setiap individu tentunya akan tertekan.
“Alih-alih takut terjangkit ganasnya si virus, eh malah si individu mendapat penyakit yang lain.”
Kira-kira seperti itu contoh mendasar apabila individu mengalami gangguang mental yang mengakibatkan penyakit lain mudah masuk (Psikosomatik). Karena kondisi ini merupakan gangguan pemikiran yang mampu memengaruhi tubuh sehingga memicu timbulnya permasalahan yang lain.
Perlu diingat, teori universal mengatakan bahwa apa yang kita rasakan adalah apa yang kita vibrasikan. Dan apa yang kita vibrasikan adalah apa yang kita tarik. Sederhananya, ketika seseorang berfikir bahwa dia akan sakit. Maka secara tidak langsung dia mensugesti dirinya untuk sakit, alhasil tidak lama berselang individu akan merasakan sakit. Ini adalah impelementasi sederaha ketika mental dan pikiran seseorang selalu berada di bawah tekanan di tengah pandemi COVID-19.
Dalam kondisi seperti ini, sangat dibutuhkan sebuah edukasi dan pemahaman dari kalangan profesionalisme di bidangnya atau individu yang memiliki kemampuan dalam konteks permasalahan tersebut. Konselor atau guru Bimbingan dan Konseling misalnya, dengan beragam strategi dan teknik bisa menjadi senjata pamungkas mengatasi problem yang terjadi.
Baca juga: Berbisnis Opini di Tengah Pandemi
Beragam teknik yang ditawarkan bisa menjadi jalan keluar memutus mata rantai dampak COVID-19 dengan tetap berada dalam himbauan pemerintah. Dalam dunia Bimbingan dan Konseling, seorang Konselor/guru Bimbingan dan Konseling memiliki sebuah teknik yang mampu mengedukasi dan memberikan pemahaman kepada individu. Tanpa bertemu secara langsung dengan memanfaatkan perkembangan IPTEK sekarang ini, teknik tersebut adalah Cyber Counseling.
Dalam bukunya, Surya (2006) mengatakan bahwa “sejalan dengan perkembangan teknologi computer, interaksi antara konselor dengan konseli tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka. Tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk cyber counseling.”
Hal ini memungkinkan, seorang konselor mampu mengatasi masalah kecemasan individu di tengah pandemi COVID-19.
Melalui teknik cyber counseling, konselor mampu memberikan gambaran dan informasi ketika individu berada dalam kondisi tertekan, memberikan informasi pasti mengenai dampak yang dibawa oleh virus corona. Mengarahkan pemikiran konseli ke arah yang lebih positif, hingga bersama-sama menyepakati langkah terbaik berikutnya.
Tentunya dalam teknik cyber counseling, suasana keakraban akan terjalin dan percakapan yang sifatnya rahasia akan terjaga. Karena seorang konselor/guru bimbingan dan konseling adalah pantulan cermin terbaikmu dan selalu menjadi sahabat terbaik dimanapun dan kapanpun. (*)