GOPOS.ID, JAKARTA – Perkembangan bisnis digital di Indonesia tumbuh pesat. Wabah Covid-19 yang menyebabkan mobilitas masyarakat terbatas justru memacu pertumbuhan bisnis berbasis digital.
Kini, bagi pelaku usaha, adaptasi, dan berkreasi dengan pendekatan digital sudah merupakan keniscayaan. Bila pelaku usaha mampu beradaptasi, bahkan mampu menemukan peluang baru untuk pertumbuhan bisnisnya, merekalah yang mampu survive di era digital.
Sebut saja, Setyowati, pemilik Prima Lestari, pelaku usaha handycraft. Dia bercerita tentang kemampuannya bertahan di tengah tekanan pelemahan permintaan akibat pandemi. Dia berkreasi dengan berjualan di semua platform digital.
“Syukur Alhamdulillah, di tengah keterbatasan dengan adanya social distancing, permintaan terhadap produk kami tetap berjalan,” ujarnya seperti dikutip dari Indonesia.go.id.
Lantas, bagaimana dia mendapatkan bahan bakunya? Ternyata penyedia bahan baku juga sudah menyesuaikan diri dengan menggunakan platform digital.
“Mereka punya platform pembelian, tinggal diisi sesuai kebutuhan. Jadi kami tinggal menerima di workshop. Yang membuat senang, biaya pengirimannya sangat murah, jauh bila dibandingkan dengan cara-cara konvensional seperti dulu,” ujarnya semringah.
Tak dipungkiri, bisnis dengan menggunakan medium digital membuat proses bisnis menjadi tereduksi, lebih efisien, dan lebih optimal. Begitu juga biaya logistiknya jauh lebih murah dibandingkan cara konvensional sebelumnya.
“Pandemi telah memberikan pelajaran bahwa kami harus berubah,” ujarnya.
Pelaku bisnis seperti pelaku handycraft Prima Lestari kini telah menjadi pelaku e-commerce. Melalui platform e-commerce, semuanya bisa dilakukan di rumah sepanjang jaringan infrastruktur internet lancar dan stabil.
Bank Indonesia dalam laporannya belum lama ini memproyeksikan, bisnis e-commerce bisa menghasilkan nilai transaksi sebesar Rp530 triliun pada tahun ini, naik dibandingkan pencapaian tahun lalu sebesar Rp403 triliun.
“Perkembangan industri e-commerce saat ini tumbuh lebih cepat dari prediksi banyak pihak. Masyarakat merasakan manfaat dan efisiensi yang ditawarkan industri e-commerce, sehingga mendorong pertumbuhan yang luar biasa dari seller, konsumen, dan juga transaksi,” ujar Ketua Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga dalam siaran persnya, belum lama ini.
Menurutnya, proyeksi pertumbuhan tersebut sejalan dengan pergeseran gaya hidup masyarakat ke arah digital, serta semakin berkembangnya digitalisasi sistem pembayaran. “Tahun lalu pertumbuhan e-commerce kita year-on-year menyentuh angka hampir 50 persen. Pertumbuhan ini bagus sekali,” kata Bima Laga.
Transformasi model bisnis di sektor perdagangan yang kini mulai beralih dengan medium digital juga disadari oleh pemerintah. Kini semuanya sudah menggunakan medium tersebut untuk memperlancar bisnisnya.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pun memprediksi, nilai ekonomi digital nasional Rp5.718 triliun pada 2030. Dari total nilai ekonomi digital sebesar itu, porsi e-commerce berkontribusi paling besar, yakni 34 persen atau Rp1.908 triliun.
Proyeksi dari Muhammad Lutfi itu tak berbeda jauh dengan data yang pernah diungkapkan Google, Temasek, dan Bain & Company dalam laporan bertajuk e-Conomy SEA 2021. Mereka memperkirakan, nilai ekonomi digital Indonesia USD70 miliar atau Rp 997 triliun tahun ini.
Nilainya diprediksi melonjak menjadi USD146 miliar atau sekitar Rp2.080 triliun pada 2025. Lalu naik lagi menjadi USD330 miliar atau setara Rp4.736 triliun pada 2030.
Meskipun porsi e-commerce cukup besar dalam konteks ekonomi digital, yakni mencapai 34 persen, tentu jasa layanan lainnya juga memberikan sumbangan terhadap tumbuhnya ekonomi digital tersebut.
Lutfi pun menjelaskan, sektor business to business (B2B) juga tak kalah penting memberikan sumbangan terhadap ekonomi digital. Sumbangannya mencapai 13 persen atau Rp763 triliun.
Lalu pariwisata 10 persen (Rp 575 triliun), corporate services 9 persen (Rp529,9 triliun), dan konten digital 9 persen (Rp515,3 triliun). Kemudian kesehatan 8 persen (Rp471,6 triliun), mobility 7 persen (Rp401 triliun), dan housing 4 persen (Rp204,2 triliun).
Sisanya, yakni masing-masing 3 persen public services (Rp175 triliun) dan pendidikan (Rp160,4 triliun). Meski begitu, sektor kesehatan dan pendidikan dinilai paling mengubah kondisi masyarakat.
“Keduanya menjadi game changer dan menyelamatkan Indonesia,” kata Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi dalam seminar bertajuk ‘Empowering SMEs to Recover Stronger’, Jumat (11/3/2022).
Menurutnya, adanya digitalisasi juga mempermudah akses permodalan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui teknologi finansial. Pada 2030, Kemendag memperkirakan, nilai ekonomi digital layanan antar-bisnis dapat mencapai Rp763 triliun.
Namun, di tengah semakin mudahnya proses bisnis melalui platform digital, seperti disampaikan idEA, mereka tidak memungkiri platform perdagangan berbasis digital juga dibanjiri jualan produk palsu atau bajakan. Menjadi tanggung jawab IdEA untuk ikut memeranginya.
Wajar saja, asosiasi itu juga mengimbau anggotanya untuk turut memerangi. Caranya, dengan menghapus produk-produk yang melanggar hak cipta di semua platform e-commerce.
“IdEA rutin untuk mengingatkan para anggotanya untuk tetap berhati-hati dan mengawasi segala bentuk penjualan yang ada di e-commerce anggota kami dengan mengikuti peraturan yang ada,” kata Ketua Umum IdEA Bima Laga. (adm-01/gopos)