“Semoga anak-anak bangsa ini masih bisa bermimpi untuk jadi seorang pemain bola”. Mungkin ini adalah kalimat harapan dan doa kepada Sang Kuasa sebagai Sang Pencipta yang selalu menganugerahi cinta di bumi ini. Terdengar dari berbagai penjuru Indonesia yang melayangkan protes tentang kehadiran Timnas Israel di Negeri yang katanya rama dengan pendatang.
Lahir berbagai statement bahwa ini soal agama dan kemanusian, mungkin saja dari sekian banyak argumentasi maka dapat kita simpulkan bahwa Indoneisa menolak kehadiran Timnas Israel di Bumi Nusantara. Saya mau mengajak teman-teman sekalian untuk melintasi ruang dan waktu.
1995 adalah titik awal dimana gejolak terjadinya kerusuhan di Maluku, khalayak umum tau bahwa disana telah terjadi suatu tragedi yang mengerikan. Kekacauan yang dikarenakan oleh perbedaan kepercayaan, peristiwa itu terjadi selama kurang lebih 5 tahun. Semenjak tahun 1995-2001, yang bisa dilihat hanyalah kebencian, cinta seperti tidak pernah tuhan anugerahkan di Bumi Maluku. Api yang terlihat membara di berbagai sudut Kota Ambon, asap yang terlihat hitam pekat bermuncul di kampung- kampung yang ada di Maluku, darah, harta, nyawa, keluarga dan masi banyak lagi yang menjadi korban dari peristiwa saat itu. Ada tragedi yang mengenaskan di sana.
Dari peristiwa di atas, Ada sebuah film dengan judul Cahaya Dari Timur! Itu filim tentang perjuangan anak-anak Maluku dalam dunia sepak bola, namun terhalang dengan perbedaan agama dalam satu tim. Mungkin saja para pimpinan Negara ini bisa menjadikan film itu sebagai referensi agar tau apa itu toleransi. Dalam film ini, terdapat satu dialog yang di lakukan oleh anak yang bernama salembe “ini urusan bola, bukan urusan agama”. Tak pernah diprediksi kalau di mana itu akhirnya muncul pada era sekarang ini.
Selain itu maka perlu juga menonton salah satu acara tv yang bisa di sebut saja “ROSI- Belajar Damai dari Maluku” kala itu adalah mereka ingin untuk saling membunuh karena benci dan dengki, namun mereka sadar bahwa ada satu hal yang paling diutamakan yaitu masa depan anak Maluku tidak akan pernah berubah jika tidak dihentikan benci juga dengki dalam hati.
Ini menandakan apa? Bahwa dari segala kepentingan baik agama, suku, ras, dan lain-lain perlu kita melihat secara lebih jauh bahwa ada kepentingan yang paling utama yang dapat memayungi semua kepentingann sehingga kita tetap hidup dalam kedamaian dan insyaallah dalam kemajuan. Perlu saya tegaskan bahwa para kaum yang sementara menentang kehadiran dari Timnas Israel di Indonesia “perlu untuk Belajar Dari Indonesia Timur”.
Kedua peristiwa di atas perlu untuk ditonton oleh para kaum elit, barulah mungkin para nahkoda negara ini paham apa itu kemanusiaan. Bapak proklamator Bung Karno perna bilang “kalau kamu jadi Kristen kamu jangan jadi yahudi, kalau kamu jadi islam jangan jadi arab, tetapi kamu harus jadi nusantara”.
Indonesia yang saya kenal dulu adalah Indonesia yang akan selalu rama dengan para pendatang, ditandai dengan kedatangan bangsa barat waktu jaman penjajahan yang walaupun menjarah Indonseia namun tetap dengan kelembutan menyambut mereka.
Bergaung dengan semboyang kemanusian, padahal dalangnya bermuat kepetingan poitik lalu mengatakan bahwa Indonesia tidak perna menerima penjajahan dalam bentuk apapun. Dalam pembukaan UUD 1945 “bahwa penjajahan di atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusian dan pri keadilan”, sayangnya Kita menguatamakan pembukaan UUD 1945 alinea pertama namun kita lupa dengan alinea ke-empat UUD. Tapi kenapa hanya Israel yang diserang? Apa kabar kala Rusia dan Ukraina? Jangan sampai ini hanya menjadi kepentingan segelintir orang untuk mencari popularitas menuju tahun politik di 2024 yang seolah-olah sangat pro dengan umat muslim.
Kala ketika kita menghakimi Israel secara universal bersalah, apakah kita perna melihat Nabi Muhamad menolak kehadiran dari agama lain di Madina? Tentu tidak. Kita bisa saja mengatakan bahwa FIFA pun perna menolak kehadiran rusia di kancah persepakbolaan dunia, lalu perlu kah indonisa melihat hal itu seperti halnya melihat dunia dari kecilnya jendela.
Dalam timnas Israel sendiri terdapat tiga yang beragama muslim, timnas palestina pun sementara di latih oleh warga Israel, ini menandakan bahwa sudah sehrusnya bahwa bola menjadi sarana persatuan di muka bumi ini, karena alat diplomasi paling ampuh adalah lewat sepak bola. Harusnya Indonesia bisa melihat peluang bahwa bisa saja lewat piala duinia U-20 yang di selenggarakan di indoensia bisa membuat palestina dan Israel berdamai. Selain itu, pasti piala dunia U-20 akan manjadi batu loncatan untuk anak negeri untuk menjadi pemain bola yang professional dan sekaligus kemajuan sepak bola Indonesia. Tetapi sayanya mimpi itu sirna.
Kesimpulanya adalah, tidak ada alsan yang paling utama selain demi kemajuan bangsa, karena itulah satu nilai leluhur yang memayungi kita dari segi perbedaan apapaun, jangan sampai masa depan bangsa ini sirna hanya karena suatu kekhawatiran yang tidak seharunya di khawatirkan.
Ratusan jiwa warga pribumi ingin melihat Indonesia di piala dunia u-20. Akhir tulisan ini saya menitipkan bahwa awal kehancuran dari suatu bangsa ialah dimana ketika kita sudah tidak lagi menempatkan sesuatu pada posisinya, agama, politik, olahraga semuanya kita campur adukan hanya untuk kepentingan segelintir orang semata.**
Penulis: Madyatama SY Failisa, Ketua Bidang Pengembangan Panggota HIPMI MALUT