(oleh: Magdalena Baga)
Itu adalah lirik dari puisi “Bahasa, Bangsa” karya Muhammad Yamin, yang dibuat pada sekitar tahun 1921. Lebih dari dua puluh tahun sebelum kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, dan tujuh tahun sebelum Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Jauh sebelum kemerdekaan, bahkan sebelum peristiwa Sumpah Pemuda dikumandangkan, arti bangsa sudah berusaha dimaknai melalui bahasa di dalam puisi Muhammad Yamin. Kita dapat meresapi maknanya melalui larik yang disusun oleh Muhammad Yamin pada puisinya itu.
….
Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri.
….
Perasaan serikat menjadi berpadu,
Dalam bahasanya, permai merdu.
….
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah,
….
Tiada bahasa, bangsa pun hilang.
Tidak seperti pada bangsa lain yang mengalami penjajahan berabad-abad, kemudian merdeka, mereka tidak dapat melepaskan diri dari bahasa tuan penjajahnya. Sebaliknya, masyarakat Indonesia berusaha melepaskan diri dari penjajahan melalui bahasa.
Biar bagaimana pun, bahasa bukan hanya sekedar bunyi, dan kalimat yang diucapkan, akan tetapi di sana menggelayut makna. Bahasa diproduksi karena ada makna yang ingin disampaikan, dan makna itu tidak terlepas dari cara pikir serta budaya yang membangunnya.
Bahasa yang sarat dengan nilai-nilai kolonial akan meletakkan posisi yang berbeda antara pembicara. Hirarki antara yang berbicara dan yang diajak bicara akan terasa dan terlihat.
Namun, Yamin menyatakan dalam puisinya, “Perasaan serikat menjadi berpadu, Dalam bahasanya, permai merdu”. Ini adalah cita-cita bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa yang menunjukkan kesetaraan yang terbentuk karena perasaan yang menyatu. Tidak mungkin perasaan menyatu bila tidak ada kesetaraan.
Bahasa Indonesia berakar pada bahasa melayu yang dijadikan lingua franca di nusantara. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa komunikasi yang meletakkan antarpembicara berada pada posisi sejajar. Ini menunjukkan bahwa bahasa ini netral, tidak bermuatan nilai-nilai politis yang mempenetrasi kelompok yang akan dikontrol sehingga berakibat pada ketidaksejajaran dalam sosial.
Kenetralan bahasa Indonesia sudah terjadi sejak masih berakar pada bahasa melayu yang hanya semata-mata sebagai bahasa penghubung antardaerah karena terdapat hubungan perdagangan antar mereka. Kemudian, bahasa ini berkembang menjadi bahasa nasional, dan justru kemudian menjadi bahasa pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung dan pemersatu, tentu membawa ekspresi makna yang mempersatukan bangsa.
Hal berbeda terjadi pada bangsa-bangsa di sebagian besar negara Eropa, penutur bahasa minoritas tertekan oleh kelompok mayoritas yang bahasanya dijadikan bahasa nasional, atau bahasa resmi. Sementara di Indonesia, bahasa melayu sudah dikenal sebagai bahasa pergaulan sejak sebelum kemerdekaan, sehingga bahasa itu diterima bukan karena dominasi kelompok mayoritas. Akhirnya kemudian, bahasa melayu dalam perkembangannya menjadi bahasa Indonesia, semata-mata karena tidak adanya unsur muatan politis di dalamnya.
Sastrawan almarhum Ajip Rosidi pernah menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu yang egaliter, sebab ia digunakan hanya untuk bahasa pergaulan dan perdagangan.
Seiring berjalannya waktu, bahasa Indonesia mulai disusupi bahasa-bahasa yang menunjukkan tingkatan kelas pembicaranya. Hal ini terjadi mulai zaman orde lama, lalu kemudian dilanjutkan secara intensif pada masa orde baru. Bahkan, banyak pendapat menyatakan bahwa bahasa Indonesia yang netral sudah mulai dimasuki oleh budaya Jawa ketika zaman orde baru. Banyak kosa kata Jawa yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, seperti pengejawantahan, aji mumpung, dan lainnya.
Hal ini bukan suatu masalah sebenarnya, sebab seperti amanat undang-undang bahasa daerah dipelihara dalam rangka memperkaya bahasa Indonesia, asalkan hal ini berlaku adil. Semua bahasa daerah memiliki kesempatan yang sama memperkaya bahasa Indonesia, sebab tiap bahasa daerah memiliki keunikan dalam mengekspresikan budaya, bahkan alamnya melalui bahasa.
Namun kemudian, bahasa Indonesia menjadi bermuatan dominan budaya tertentu dari suatu daerah di Indonesia, sekaligus seolah-olah meminggirkan bahasa daerah lain dan menciptakan tingkatan pada pembicaranya, tentu saja melanggar cita-cita awal bahasa Indonesia diperjuangkan, bahwa bahasa ini mengekspresikan kesetaraan dan bertujuan menyatukan bangsa.
Dengan demikian, mempertahankan makna egaliter dalam bahasa Indonesia amat sangat penting, sebab itu cita-cita kemerdekaan. Bahasa apa pun dapat masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam rangka memperkaya bahasa Indonesia, akan tetapi makna kesetaraan harus tetap dan selalu hadir dalam bahasa Indonesia. Makna yang bermuatan politis harus disingkirkan, bila tidak kita akan menjauh dari cita-cita awal mengapa bahasa ini dibentuk dan dikukuhkan sebagai bahasa bangsa.
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah, seperti kata Yamin. Namun demikian, bahasa akan hilang, bila makna hilang. Tentu saja, yang dimaksud pada kalimat terakhir adalah bahasa Indonesia secara bertutur tidak akan hilang, yang akan hilang adalah makna apabila tidak lagi terikat pada cita-cita awal.
Mengapa? Sebab makna pemersatu bangsa bertindih di dalam bahasa Indonesia. Bila makna cita-cita bangsa yang tertuang di dalam undang-undang dasar tersapu oleh angin zaman, maka akan terjadi Tiada bahasa, bangsa pun hilang. (*)