GOPOS.ID, KOTA GORONTALO – Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Gorontalo, menggelar rapat dengar pendapat terkait surat edaran Dinas Pendidikan Kota Gorontalo yang berisi tentang aturan pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) oleh siswa SD dan SMP. Aturan tersebut dinilai oleh orang tua diskriminatif dan memberikan dampak negatif terhadap siswa untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Wakil ketua komisi A, Darmawan Duming mengatakan pihaknya telah menindaklanjuti aduan para orang tua siswa tentang edaran PTM terbatas bagi siswa Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Menurutnya edaran Dinas pendidikan Kota Gorontalo, Nomor 420/Disdik-Dikdas/1208 itu dinilai tidak tepat sasaran oleh para orang tua. Dinas pendidikan kota Gorontalo diberi waktu selama 14 hari untuk melakukan pengkajian terhadap edaran tersebut.
“Kita sudah selesai melaksanakan rapat dengar pendapat terkait dengan aduan masyarakat tentang pembelajaran tatap muka, yang menurut mereka dalam tanda kutip ada diskriminasi. Alhamdulillah setelah semua memberikan penjelasan oleh lembaga advokasi khusus perempuan dan anak, Dinas pendidikan, kesehatan, dan bagian hukum, BPBD sebagai satgas semua menjelaskan, dan sudah ada kesimpulannya,” kata Darmawan Duming kepada awak media, Selasa (1/3/2022).
Politisi Partai Demokrat ini menambahkan bahwa hasil rapat tersebut merumuskan 4 hal. Diantaranya DPRD Kota Gorontalo meminta dinas pendidikan kota Gorontalo untuk melaksanakan PTM dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pihaknya juga meminta pembelajaran tatap muka bisa dirasakan oleh semua peserta didik tanpa pengecualian, dengan memperhatikan perkembangan kasus Covid-19. Selanjutnya DPRD juga mendorong edaran itu dikonsultasikan dengan empat kementerian. Dan yang terakhir, DPRD minta Dinas Kesehatan kota Gorontalo percepat vaksinasi lansia.
“Kami mendorong agar hal ini dikomunikasikan ke empat Kementerian agar mendapatkan legal standing tertulis. Semua keputusan yang kita ambil merupakan pijakan dan disetujui oleh pemerintah pusat Jangan sampai kita mengambil keputusan tetapi tidak disetujui oleh pemerintah pusat. Kami beri waktu 14 hari” pungkasnya.
Dikesempatan yang sama Ketua Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (LAKPA) Romy Pakaya menyebut kebijakan tersebut mendiskriminasi sejumlah siswa yang berhak mendapatkan pendidikan. Sejumlah orang tua siswa mengeluh lataran anaknya tidak bisa mengikuti PTM.
Anak-anak yang tidak divaksin diarahkan mengikuti pembelajaran secara daring. Pembelajaran daring dinilai tidak efektif. Sehingga pihaknya meminta proses pembelajaran dilakukan secara merata dan menyeluruh.
“Bagi anak-anak yang tidak bisa divaksin oleh pihak sekolah meminta surat keterangan dari dokter. Surat keterangan ini tidak bisa diurus di Puskesmas harus dari dokter spesialis anak. Berapa duit yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk mengurus surat keterangan Itu. Surat keterangan dokter hanya berlaku satu Minggu dan harganya tidak murah,” pungkasnya. (Sari/gopos)