Oleh: Hasanudin Djadin
Bulan Ramadan tersisa lebih kurang sebulan lagi. Nama Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, kembali menjadi perhatian publik. Kali ini bukan berkaitan masalah sidang isbat penentuan 1 Ramadan yang senantiasa dipimpin oleh Menag setiap tahunnya. Tapi berkaitan dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Surat Edaran yang terbit pada 18 Februari 2022 itu mengatur berbagai hal mengenai penggunaan pengeras suara atau lazimnya disebut “Toa” di masjid dan musala di seluruh Indonesia. Mulai tujuan penggunaan seperti untuk adzan, khutbah, ceramah, takbiran maupun pengumuman hasil infak sedekah; pemasangan dan penggunaan (termasuk batasan volume maksimal yang bisa digunakan); hingga pengawasan dan pembinaan terhadap penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Sejatinya ketentuan yang ada dalam aturan Surat Edaran (SE) Menag nomor 5 tahun 2022 bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum surat edaran tersebut, ide maupun pandangan terhadap pengaturan penggunaan toa di masjid/musalla sudah banyak berseliweran. Dalam diskusi, kajian, hingga tulisan di media massa. Sudah tentu perdebatan dan adu argumentasi senantiasa turut mengikutinya.
Terlepas pro kontra yang muncul, ada poin menarik yang tertuang dalam surat edaran Menag Nomor 5 Tahun 2022. Yaitu pengaturan akustik pengeras suara untuk mendapatkan hasil suara yang optimal. Poin ini rasanya menjadi esensi dari banyaknya aturan yang tertuang dalam surat edaran tersebut.
Secara jujur, kita harus mengakui bila terkadang kita merasa risih tatkala mendengar bunyi kresek-kresek saat muadzin mulai bersiap mengumandangkan adzan. Atau bunyi feedback yang begitu memekakkan telinga ketika khatib akan memulai ceramahnya.
Namun tak semua masjid atau musala memiliki perangkat pengeras suara yang memadai. Pengeras suara yang memenuhi standar akustik, yang mampu menghasilkan kualitas suara yang lembut dan merdu. Banyak masjid/musala di antara kita yang hanya mampu menggunakan pengeras suara sederhana. Tak penting standar akustik, yang penting suaranya nyaring. Suaranya bisa menjangkau rumah jamaah paling jauh, agar jamaah tersebut tak ketinggalan salat subuh. Bisa didengar oleh banyak jamaah, agar dapat menangkap pemberitahuan kabar duka, atau tak lupa jadwal kerja bakti.
Oleh karena itu, Surat Edaran Menag tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara ini diharapkan bukanlah menjadi sebuah aturan yang membatasi dan pada ujungnya menjadi pelarangan. Aturan ini diharapkan menjadi rujukan bagi Kementerian Agama–yang memiliki perpanjangan tangan hingga di tingkat kecamatan (Kantor Urusan Agama/KUA)– untuk mendorong sekaligus memberi perhatian agar masjid-masjid atau musala di kampung-kampung, di daerah pedalaman, di daerah pesisir. Agar masjid-masjid tersebut bisa memiliki perangkat suara yang merdu dan akustik. Setidak-tidaknya nyaman didengar tanpa menimbulkan kebisingan yang berlebihan.
Perhatian serupa juga patut diberikan untuk pembinaan para santri di TPA, TPQ maupun Pondok Pesantren, agar kelak mereka para santri itu senantiasa tampil mengumandangkan adzan di setiap masjid/musala. Dengan begitu, insya Allah kita tak lagi berdebat atau memperdebatkan penggunaan pengeras suara masjid/musala hanya karena bunyinya yang tak enak didengar.(***)