VIRUS Corona (Covid-19) menjadi pandemi global yang sukses menimbulan kecemasan, kegelisahan dan ketakutan. Virus ini seakan menghantam keangkuhan siapa saja tanpa pandang suku, ras dan agama. Jangankan Indonesia, negara Uni Eropa bahkan negara adidaya Amerika dengan kemajuan teknologi kesehatannya tak mampu membendung terjangan Corona.
Kini sekitar 1,8 juta kasus dari 210 negara terkonfirmasi positif terpapar virus Corona di seluruh dunia. Di Indonesia, tercatat lebih dari 4 ribu pasien terindentifikasi positif sejak kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo, Senin (2/3/2020) lalu. Diyakini angka tersebut bakal terus bertambah tanpa kejelasan pasti kapan berakhirnya.
Ibarat fenomena gunung es, data resmi pemerintah diperkirakan hanya 2,3 persen dari jumlah yang sebenarnya. Pemerintah menyatakan ada 1.706 kasus positif Corona di Jakarta. Dilansir Detik.com, Jumat (10/4/2020), riset gabungan para ilmuwan lintas universitas justru memperkirakan sudah ada 32 ribu kasus positif Corona di Jakarta. Itu baru di Jakarta, entah berapa banyak kasus lagi jika diterapkan pemodelan yang sama untuk provinsi lainnya.
Hasil riset tersebut juga memperkirakan, jika tanpa intervensi pemerintah maka pandemi Corona bisa membuat 2,6 juta orang di Indonesia meninggal dunia. Memang saat ini pemerintah sudah melakukan intervensi, sehingga angka kematian 2,6 juta bisa dihindari. Namun, bila setengah dari masyarakat tidak mengisolasi diri, angka kematian tetap berpotensi tembus 1 juta jiwa.
Silahkan merujuk langsung pada sumber yang telah disebutkan untuk mendapat informasi detail. Maaf, tulisan ini tidak cukup ruang untuk membahas metodologi dan pemodelan statistik rumit yang digunakan para pakar tersebut.
Meski belum pasti, pendapat para ahli tersebut seharusnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat beragama agar lebih waspada dan mawas diri. Besarnya dampak yang diakibatkan penyebaran virus Corona ini mestinya jadi referensi untuk sistem siaga dini ( early warning system ) bagi umat beragama.
Disamping itu, perang melawan Corona di Indonesia juga bakal menemui tantangan lebih besar. Pandemi Corona bakal berdampak luar biasa pada tradisi keagamaan di bulan Ramadhan dan lebaran Idul Fitri nanti. Aktivitas perjumpaan antar masyarakat di bulan ini juga sulit dihindarkan. Belum lagi tradisi mudik yang hampir setiap tahunnya tidak kurang dari 30 juta orang melakukan bepergian untuk liburan ke kampung halaman.
Pasca Menteri Agama menerbitkan Surat Edaran terkait Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441H di tengah pandemi Corona (Covid-19). Diperkirakan pelaksanaan ibadah puasa nantinya dalam suasana berbeda tahun ini. Tak ada lagi buka bersama di setiap lembaga baik swasta dan pemerintah, di masjid dan mushola. Bahkan salat tarawih berjamaah dan salat Idul Fitri juga ditiadakan.
Terkait dampak pandemi Corona terhadap aktivitas keagamaan tersebut setidaknya terdapat dua pertanyaan kunci yang menjadi diskursus dalam tulisan ini, yakni, 1) Bagaimana respon umat beragama khususnya di Indonesia terkait pandemi virus Corona?; 2) Bagaimana sikap beragama kita dalam menghadapi virus Corona? Meski sulit dan harus berhati-hati, jawaban pertanyaan ini cukup menarik ditelusuri.
Respon Umat Beragama
Secara garis besar, peta umat beragama (agama apapun itu) terbagi dua dalam merespon penyebaran virus Corona. Kedua kelompok ini memiliki sikap keagamaan yang berbeda. Ada yang fatalistik dan ada pula yang logis rasional.
Pertama, kelompok yang bersikap fatalistik. Kelompok ini oleh Azyumardi Azra disebut splinter agama. Pada kolomnya di Republika, Kamis (26/3/2020), Azra mengungkapkan, kelompok splinter agama ini adalah kalangan umat beragama yang berbeda dengan arus utama ( mainstream ) penganut agama masing-masing.
Menurut Azra, pandangan kalangan splinter agama paling nampak terlihat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang kebolehan mengganti shalat Jumat di masjid dengan shalat zhuhur di rumah atau tidak shalat berjamaah di masjid untuk mencegah terjadinya penyebaran Covid-19.
Argumen kelompok splinter agama: kenapa harus takut pada virus corona? Bagi mereka, yang patut ditakuti hanyalah Allah Swt saja. Sikap yang sama juga dijumpai saat dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran meniadakan salat tarawih berjamaah di masjid dan salat idul fitri.
Masih menurut Azra, argumen simplistis memakai kacamata kuda dan literalisme ini justru didukung tokoh tertentu yang tidak punya ilmu memadai dan pemahaman baik tentang ajaran Islam khususnya tujuan agama ( maqashid al-syari’ah ) dan sejarah Islam.
Sikap fatalistik kelompok splinter agama ini memang kontra-produktif dengan usaha membendung penyebaran virus Corona. Pandemi Corona terkesan dihadapi bermodalkan pemahaman keagamaan dan keimanan secara sempit, tanpa peduli pada informasi dan saran-saran kesehatan.
Bagi mereka hidup mati itu dipasrahkan kepada takdir Tuhan. Sebab terkena virus Corona maupun terhindar dari virus itu sudah takdir dan kuasa Tuhan. Sikap ini yang tanpa sadar menyebabkan mereka mengabaikan aturan kesehatan sehingga berpotensi tertular dan menularkannya kepada orang lain.
Kedua, kelompok mainstream. Di Indonesia, untuk diwakili oleh Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan MUI. Umumnya kelompok ini memilih serta menganjurkan kepada jama’ahnya agar menunda beribadah di tempat-tempat ibadah dan melarang adanya kerumunan meski itu adalah acara keagamaan.
Sikap kelompok mainstream ini didasari pandangan bahwa menghindari petaka harus didahulukan dari pada maslahat. Jika diperhadapkan dalam pilihan antara menjaga keselamatan jiwa ( hifz al-nafs ) dan menjaga agama ( hifz al-din ), maka yang harus didahulukan adalah keselamatan jiwa ( hifz al-nafs ).
Mengapa demikian? Karena agama tanpa manusia yang hidup tidak ada yang menjalankan. Jika jasmani manusia tidak sehat atau tak bernyawa, bagaimana bisa perintah agama di jalankan. Untuk itu, miris rasanya melihat sikap sebagian kelompok agama yang terkesan jumawa tidak peduli dengan imbauan untuk isolasi diri dan pembatasan sosial.
Sejauh penelusuran penulis, terdapat kesamaan fatwa di hampir semua negara Islam di dunia terkait pelaksaan ibadah di tengah pandemi Corona. Menurut Syafiq Hasyim, adanya kesamaan fatwa dari ulama dunia dalam menyikapi Corona ini sudah sah jika disebut sebagai Ijma’ Global atau kesepakatan dunia Islam dalam masalah tertentu.
Sikap Beragama Kita
Sebagai manusia beragama, jelas agama punya peran penting dalam kehidupan kita. Sudut pandang agama hampir tidak pernah kita lupakan saat membicarakan setiap peristiwa dan fenomena yang ada. Termasuk membicarakan pandemi Corona.
Memang, sepintas antara agama dan virus Corona–termasuk penyakit lainnya–tidak terdapat hubungan yang tegas, meski dalam tataran wacana. Agama di satu sisi dianggap sebagai wilayah yang tak terjangkau nalar ( irrasional ) dan transenden. Sedangkan virus Corona sebagai penyebab penyakit di sisi lain sangat faktual serta bersifat saintifik-empirik.
Meski begitu, setidaknya kita perlu belajar memahami mana ranah irasional-transenden dan mana ranah saintifik-empirik, agar mampu menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Terkait penanganan pandemi Corona juga demikian, terdapat ruang yang butuh penjelasan saintifik-empirik meski tak juga menafikan ruang spiritualitas-transenden.
Sederhanya, ikhtiar dalam menghadapi Corona ada dua, yakni ikhtiar bersifat ruhaniyah dan ikhtiar bersifat ilmiah. Ketika berhubungan dengan medis atau ikhtiar ilmiah, maka seharusnya mengikuti saran ahli medis yang pakar dibidangnya. Hal ini sejalan dengan anjuran Rasulullah SAW sendiri ketika ditanya persoalan empiris-pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan dunia. Rasulullah SAW bersabda; “kamu sekalian lebih mengerti atas urusan dunia kamu sekalian.” Ini juga senafas dengan ayat Alquran, “bertanyalah kepada ahli zikir (ilmu) jika kamu tidak mengetahui.”
Tidak bisa dengan dalih takdir di tangan Allah kemudian kita mengabaikan anjuran kesehatan. Kita sudah cukup mendapat pelajaran dari sikap sembrono ketika abai terhadap anjuran medis ini. Salah satu kelompok keagamaan yang sempat membuat pertemuan skala besar di Malaysia dan Indonesia justru paling potensial terpapar virus Corona.
Ini pentingnya moderasi dalam beragama. Sikap beragama yang eksklusif, tertutup dengan keimanan buta, justru berbahaya. Beragama seharusnya dengan inklusif berpikiran terbuka, termasuk terbuka untuk mengikuti penjelasan dan masukan dari pakar di bidang kesehatan.
Setelah melakukan ikhtiar ilmiah secara sungguh-sungguh itulah kemudian kita melakukan ikhtiar ruhaniyah. Tawakkal atau menyerahkan semua keputusan kepada Allah SWT merupakan bagian dari ikhtiar ruhaniyah ini.
Ilustrasi sangat indah terkait ikhtiar ini tergambarkan dari tanya-jawab Habib Ali al-Jufri kepada Habib Umar bin Hafidz, gurunya. “Wahai guruku, bagaimana cara agar kita tetap bisa bertawakkal dengan tenang dan tetap berusaha dalam mencegah wabah (corona)?” tanya Habib Ali.
Jawaban Habib Umar, menghadapi Corona itu seperti menanam pohon. Kita harus tetap berusaha menanamnya, menyiraminya, memberinya pupuk, dan merawatnya dengan baik. Namun kita juga harus meyakini dan percaya kepada Allah bahwa hanya Dia yang bisa membuatnya berbuah.
Menanam pohon adalah bentuk ikhtiar ilmiah-empirik yang kita lakukan. Setelah usaha tersebut, ikhtiar ruhaniyah kita adalah pasrah kepada Alllah, karena hanya Dia yang bisa membuat pohon berbuah manis atau asam, banyak atau sedikit dan lain sebagainya.
Akhir kata, sikap beragama kita dalam menghadapi pandemi Corona tidak bisa memisahkan antara ikhtiar ruhaniyah dan ikhtiar ilmiah ini. Sikap beragama kita harus holistik (menyeluruh), tidak parsial. Tidak cukup hanya menawarkan metode keagamaan (ikhtiar ruhaniyah) semata sebab manusia adalah makhluk jasmani. Begitu juga tidak cukup hanya melalui medis (ikhtiar ilmiah) sebab manusia juga makhluk rohani. Wasalam. (*)
Alumni Islamic Studies Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta