Oleh: Charlie Pangemanan
Saya ingin menggiring para pembaca yang budiman bahwa janganlah terjebak pada judul tulisan diatas, tapi maknailah tiap bait dan isi tulisan saya ini sebagai bahan refleksi untuk masyarakat gorontalo.
Pertama, politik lokal gorontalo tak pernah sepi akan diskursus politik, public space selalu tak bisa melepaskan diri dari percakapan life is politics, bahwa hidup dan kehidupan adalah politik.
Kedua, fenomena ini sebenarnya bukanlah hal baru, ini sudah lama dan baru saja disadari oleh kita. Kita yang selalu hadir dan mengisi tiap denyut percakapan di dalam public space.
Ketiga, kemunculan “three idiots” dalam scope politik lokal. Kemunculan “three idiots” ini dalam satu genealogi yang sama yang membedakannya adalah, jabatan dan perilaku.
Saya mencoba mengurai sedikit dalam bentuk tulisan serial mengenai “three idiots” ini.
“Three Idiots” pertama, politisi lokal yang dikenal “pelit” (baca: batu kubur) oleh banyak kalangan. Meski kerap menduduki jabatan penting dalam pemerintahan namun tetesan isi kantongnya sulit dirasakan. Kesimpulan ini tidak lahir begitu saja.
Bahkan orang-orang terdekatnya mengakui hal itu, padahal jiwa dan raga telah mereka pertaruhkan untuk kejayaannya, namun sepertinya “kacang lupa akan kulitnya”, jangankan peduli, bahkan dia pun hanya asyik menikmati jabatannya diatas derita orang lain.
“Three Idiots” kedua, pernah duduk menjadi wakil rakyat, namun saat ini mengalami krisis legitimasi soal legalitas dan keabsahan jabatannya.
Dengan bangganya dia menumpuk-numpuk masalah hukumnya, dan pada akhirnya masalah pun datang menemuinya tepat pada waktu ketika dia belum mau menerima tamu.
Akhirnya “Kasus tabrak tiang listrik”pun terulang, Rumah Sakit akhirnya menerima pasien yang tak sakit. Ternyata benar pendapat Prof. Salim Said, bahwa “Kesombongan !, maka kehancuran sudah dekat”.
“Three Idiots” ketiga, level paling menjijikkan, hidup dan kehidupannya tak lagi memiliki value, dimana-mana dimaki dan dihina. Tapi bagi dirinya makian dan hinaan itu seperti oksigen yang tak bisa dia lepaskan, dia butuh makian dan hinaan agar bisa tetap hidup tenang.
Dia memang terbiasa mencari nafkah dengan menjilat telapak kaki penguasa, bukan hanya saat ini karena keluarganya. Tapi juga sebelumnya ketika penguasanya adalah lawan pamannya sendiri dia pun tega menghina keluarganya demi penguasa saat itu.(*)
(Cerita ini hanya fiktif belaka, mohon dimaafkan jika ada kesamaan karakter dalam kisah yang nyata)