Yowan Moha
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo mencatat ada 7.923 pemilih yang merupakan penyandang disabilitas dari total 442.524 pemilih. Namun seperti pemilihan umum (pemilu) sebelumnya, kehadiran pemilih dengan disabilitas ini hanya sebatas jumlah pemilih.
Penyandang disabilitas tuna rungu atau sebagian ingin disebut tuli, Abdul Kadir Umar (27 tahun) merasakan tidak ada perbedaan antara pemilu 2024 dengan yang sebelumnya.
“Kami butuh fasilitas memadai, juru bicara yang bisa ditempatkan di berbagai lokasi pencoblosan kotak suara, serta surat suara khusus bagi penyandang tuna netra,” ungkap Arif, begitu dia biasa disapa.
Dia berkaca dari penyelenggaraan pemilu 2019.
Kurangnya partisipasi dari pemilih dengan disabilitas, sambung Arif, karena kurangnya informasi dan fasilitas yang memadai. Lima tahun berlalu. Harapan adanya perbaikan untuk pemilu pada 14 Februari 2024, tetap masih jadi harapan.
Salah satu kritikannya terkait penyelenggara yang tidak memerhatikan pemilih tuli adalah terbatasnya juru bahasa isyarat (JBI). KPU Provinsi Gorontalo mengidentifikasi ada 623 pemilih tuli untuk Pemilu 2024. Namun JBI hanya tersedia di Kota Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato, masing-masing sebelas dan dua orang JBI.
Kehadiran JBI ini krusial tidak hanya saat proses pemungutan suara yang mengharuskan petugas memberikan penjelasan soal tata cara memilih. Kesulitan lainnya, saat panitia memanggil nama pemilih yang sudah hadir ke tempat pemungutan suara (TPS). Pemanggilan biasanya hanya akan mengandalkan pengeras suara berdasarkan nomor urut kehadiran pemilih.
Keterbatasan JBI ini juga diakui oleh Yusrilsyah (23 tahun) yang sehari-hari membantu penyandang disabilitas tuli sebagai penerjemah. “Kurangnya sumber daya manusia, minim fasilitas, serta keterlibatan yang tidak merata,” demikian kritiknya terkait penyelenggaraan pemilu,” tegas Yusrilsyah.
Andri (25 tahun), pemilih yang juga memiliki disabilitas netra menyoroti ketiadaan dukungan bagi komunitasnya dalam proses pemilu.
Pemerintah sendiri sudah mengakomodasi hak-hak penyandang disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 5. Pasal itu mengakomodasi penyandang disabilitas memiliki hak yang sama sebagai pemilih, calon legislatif di berbagai tingkatan, calon dewan perwakilan daerah (DPD), calon presiden dan wakil presiden, serta sebagai penyelenggara pemilu.
“Realita di lapangan kami tidak pernah dilibatkan dalam proses penyelenggara pemilihan umum. Hak kami tidak pernah diberikan, suara kami yang dikejar. Sungguh miris,” ucap Andri.
Salah satu kekurangan dari rangkaian pemilu adalah penyediaan surat suara dengan huruf Braille bagi penyandang disabilitas netra. Jumlah pemilih dengan disabilitas netra di Provinsi Gorontalo berdasarkan data KPU mencapai 1.012 orang.
Seperti penyelenggaraan pemilu sebelumnya, Andri dan kawan-kawannya hanya mendapatkan surat suara dengan huruf Braille untuk pemilihan presiden dan wakil presiden serta calon anggota DPD.
Penyandang disabilitas netra harus mendapatkan bantuan dari pendamping guna mengidentifikasi dan mencoblos calon legislatif tingkat kabupaten atau kota, provinsi, serta tingkat pusat. Kondisi ini menempatkan pemilih dengan disabilitas sebagai pemilih yang tidak mandiri.
“Hal tersebut tentu saja agar pada saat pemilihan berlangsung tidak terjadi kecurangan,” kata Andri.
Lanjutnya, semasa pemilu 2019 kemarin, ia sering menemukan beberapa TPS yang belum inklusif. Bahkan ujarnya ada sebagian dari teman-teman tunanetra lainnya tidak berpartisipasi dalam proses pemilihan, karena beberapa faktor seperti penerjemah bahasa isyarat, kertas suara khusus, bahkan penyampaian informasi pemilihan dan fasilitas di TPS yang sangat minim.
Bukan hanya itu, Andri pernah mendapat informasi dari beberapa teman tunanetra bahwa mereka sering diprovokasi untuk memilih calon yang tidak mereka kenal, dipaksa, serta dibohongi, khususnya dari keluarga mereka sendiri. Oleh karena itu sampai dengan saat ini belum adanya kejelasan terkait proses dan fasilitas bagi teman-teman disabilitas.
Bagaimana peran politikus serta partai politik dalam mengakomodasi para penyandang disabilitas di Provinsi Gorontalo?
Anggota Komisi VIII pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-RI, Idah Syahidah Rusli Habibie (58 tahun) menolak anggapan jika penyandang disabilitas hanya dilibatkan sebagai raihan suara dalam proses pemilu. Politikus dari Partai Golkar yang mewakili daerah pemilihan Gorontalo ini menyatakan dirinya sudah berinteraksi dan berjuang bersama-sama dengan komunitas disabilitas sebelum dirinya menjabat di DPR-RI.
Klaimnya ini berkaitan erat dengan posisinya sebagai istri Rusli Habibie, Gubernur Gorontalo periode 2012-2017 dan 2017-2022.
“Dalam mendorong pemberdayaan disabilitas, saya telah melakukan beberapa program baik di lingkungan nasional dan daerah seperti mengimplementasikan amanah Undang-Undang no 8 tahun 2016 (tentang Penyandang Disabilitas), menerbitkan Perda Penyandang Disabilitas, dan masih banyak lagi,” ucap Idah.
Sebagai anggota partai, Ida mengaku dirinya sudah mendorong beragam program untuk pemberdayaan disabilitas untuk membantu perekonomian, hingga menggelar beragam kegiatan sosial seperti penyediaan alat bantu mulai dari kursi roda, tongkat bicara, alat bantu dengar, dan operasi katarak.
Namun saat ditanya inisiatifnya menjadikan komunitas disabilitas sebagai pemilih mandiri, Idah hanya menyampaikan harapannya. Harapan yang sama seperti pemilih dengan disabilitas, penyelenggaraan pemilu yang inklusif.
Calon anggota DPR-RI dari daerah pemilihan Gorontalo, Elnino M. Husein Mohi (49 tahun) membantah anggapan keterlibatan orang dengan disabilitas pada pemilu sebatas jumlah suara. Menurutnya, pemilu bukan untuk kepentingan calon legislatif tapi pemilih atau masyarakat pada umumnya.
“Pendekatan emosional dan sosial sangat penting, khususnya kepada penyandang disabilitas. Kiat-kiat dalam menyampaikan guna dan fungsinya suara teman-teman disabilitas serta partisipasi mereka dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, bukan hanya sekadar sosialisasi, akan tetapi edukasi yang dibangun bisa mengajak dan mendorong partisipasi penyandang disabilitas sebagai pemilih,” jelas Elnino.
Sama seperti anggota dewan, penyelenggara pemilu juga masih menjalankan prosedur seperti yang diperintahkan dari tingkat atasnya. Buktinya, penyediaan atau pemenuhan sarana serta fasilitas bagi mereka tidak kunjung sesuai harapan komunitas disabilitas.
“Tentu saja dalam menyambut Pemilu 2024, penyandang disabilitas mendapat perhatian khusus dari kami, mulai dari penyediaan fasilitas tempat duduk, akses pemilihan yang lebih cepat atau didahulukan, layanan pendampingan, serta kertas suara braile untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPD,” pungkas anggota KPU Kota Gorontalo, Hairudin Polontalo (44 tahun).