GOPOS.ID – Tanggal 14 April 2004 silam, Tim pendaki Ekspedisi CAKRABUANA HMS BRIGADE 031 UMI sukses mengibarkan “Sang Orange” di Atap Sulawesi (Red-) Julukan bagi puncak tertinggi Sulawesi, Rantemario– Sebuah puncak dalam deretan Pegunungan Latimojong berketinggian ± 3.474 MDPL yang merupakan puncak gunung tertinggi di Sulawesi. Sebuah perjalanan yang melelahkan, tak hanya fisik, mental pun teraduk–aduk tak karuan.
Berikut catatan perjalanannya…
Sebaiknya aku perkenalkan dulu personel timnya yang terdiri atas lima orang: Arifuddin (Bang Arief) dari angkatan Kabut Rimba yang bertindak sebagai Leader, Dwi Wahyuni (Pandawa), Andi Iwan Indra, Samsu Adi dan Saya sendiri.
Babak Perjalanan untuk menggapai puncak tertinggi Sulawesi berlangsung ketat dan melelahkan sejak pertengahan Februari lalu. Berbagai “menu” latihan fisik/mental dan persiapan kelengkapan serta logistik telah dilalui sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum terjun ke medan. Keahlian dasar sebagai “Mounteneering” alias Pendaki gunung dan pencinta alam diulas dan dipermantap guna mengantisipasi berbagai keadaan dan kemungkinan terburuk yang pasti akan terjadi di medan.
Mungkin awam sempat bertanya, mengapa harus demikian? Ya… inilah gunung, apalagi di gunung berketinggian lebih dari 3.000 MDPL, sangat rentan dengan cuaca buruk. Sisa angin muson Barat yang membawa hawa dingin menimbulkan badai tropis cukup ganas kerap menghujam wilayah di ketinggian ini. Konon pada pertengahan Januari lalu, gunung yang diapit oleh puncak Nene’mori dan Tumopa ini menjadi sasaran empuk badai yang membawa hawa dingin dari arah Barat ke Timur. Jadi, wajar memang jika fisik, mental, Plus perlengkapan harus benar–benar siap.
12.04.04…. Rintik–rintik embun pagi berdecakan pada daun dan rerumputan. Kabut Mulai menuruni daerah pegunungan, menyelimuti seluruh daerah sekitar lereng pegunungan. Turun melewati hutan–hutan pinus, jalan–jalan setapak, menembusi kaca–kaca jendela. Jalan-jalan, kebun-kebun, kandang–kandang sapi, hilang dan lenyap dari pandangan seperti hamparan awan putih yang menyelimuti seluruh pemandangan.
Di ufuk timur, berlahan matahari mulai menampakkan sederetan garis–garis cahaya berwarna kemerah–merahan, menyinari pepohonan, tanah perkebunan, menyingkirkan sekumpulan awan putih, mengusir hawa dingin yang sejak tadi terasa menggigit tulang.
Di sebelah barat Kota Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Gunung Latimojong menampakkan dirinya.
Membuat garis–garis kontur, lereng-lereng, bukit–bukit, lembah-lembah, meliuk–liuk sambung menyambung menggabungkan diri menjadi satu bagian yang berwarna kebiru–biruan. Seperti sebuah lukisan alam yang membentang luas menghiasi sudut kota… Lukisan Sang Maha Artistik…..
Aku masih duduk terpaku menatapi “proses” alam yang begitu cepat berlalu. Masih terbayang dalam benak bagaimana teman–teman melepas kepergian kami berlima dari sekretariat di Kampus Hijau tercinta. Teman-teman yang setia. juga bagiku sebagai sahabat–sahabat terbaik dalam komunitas kami. Kini, aku bersama empat rekan lainnya telah memulai sebuah episode dari “dramaturgi” pendakian yang bagiku merupakan sejarah penting dalam hidupku.
Kabarnya memang tak kurang dari 13 orang pendaki tewas di atas sana sejak gunung ini mulai digemari. Memang ini terlihat dari beberapa memoriam yang kemudian kami temukan di beberapa tempat.
Tepat pukul 08.00 Wita, dengan sebuah truk sewaan kami berangkat menuju rantelemo, inilah akses terakhir menuju kaki gunung Latimojong yang ditempuh dalam waktu 3 jam. Dari Rantelemo ini tim harus berjalan lagi dalam terik matahari menuju kampung terakhir–Karangan, yang terletak di ketinggian ± 1500 M.
Area sawah para petani Baraka yang menghijau, Hutan pinus yang menutupi sebagian pegunungan Latimojong, serta sungai karangan yang membelah punggungan gunung latimojong tak henti–hentinya menawarkan pesona eksotis disepanjang jalur Menuju Karangan. Belum lagi sambutan hangat sang penghuni kampung yang tak henti–hentinya menatapi rombongan meski daerah mereka kerap dilewati pendaki. Hingga tak terasa setelah berjam-jam menempuh perjalanan tepat pukul 17.15 Wita, kami tiba di Karangan.
Sebenarnya hari kedua ini tim ditargetkan untuk sampai di Base Camp (Pos) II, namun karena keadaan yang semakin gelap, juga karena fisik yang kedodoran, memaksa tim untuk istirahat di salah satu rumah penduduk.
Esoknya masih dalam kabut tebal, kami berangkat menyusuri Belantara latimojong yang dingin. Awal pendakian yang melelahkan! Jalan datar yang berliku-liku, menanjak, menuruni perbukitan, melewati padang sabana, menyeberangi sungai dengan bahana airnya yang memekakkan telinga bagai suara kematian, mengikuti jalur yang berkelok–kelok, membuat semua orang tergopoh-gopoh membawa beban dipundaknya, kemudian meletakkan carriernya dan berkata “inilah jalur terpanjang dan tersulit di daerah ini!.”
Setelah berjam-jam berjuang melewati jalur yang “cukup sulit”, kami tiba di Base Camp V. Begitu tenda berdiri, hari telah gelap. Posisi Base Camp yang dikepung oleh puncak-puncak gunung membuat tempat ini serasa begitu terpencil sehingga menimbulkan kesan “angker”, ditambah lagi kabut yang mulai menyelimuti tempat itu. Di ketinggian 2.400 M ini, hawa dingin terasa semakin menusuk tulang, memaksa kami harus menambah satu lapis lagi pakaian hangat. Untung saja aroma masakan dari belakang tenda tak berlama-lama membuat perut penasaran. Satu jam kemudian tim lelap dibuai pelukan malam yang kian larut.
Pada hari ketiga pendakian, tim telah mencapai ketinggian 3000 M. Di ketinggian ini tak ada lagi pohon-pohon dan hutan rapat. Di sini pemandangan eksotis terpampang didepan mata. Tak henti-hentinya decak kagum tim terdengar menyaksikan panorama alam maha sempurna ini. Beberapa kali kami harus memanjati tebing-tebing batu. Harus ekstra hati-hati memang, karena di daerah seperti inilah seorang pendaki rentan terkena “Mountain Sicknes” atau penyakit ketinggian yang diawali dengan rasa pusing dan mual, akibatnya bisa fatal!
Matahari masih bertengger disepertiga cakrawala sore, memancarkan sinarnya, menaburi alam sekeliling dengan cahaya kuning keemasan, dilatari oleh langit yang membiru. Di sekeliling, puncak-puncak gunung yang kami lewati kemarin terlihat berada jauh di bawah sana, sebagian tertutup oleh awan putih bagai hamparan salju, berarak lambat. Di Utara terlihat Puncak Tumopa berdiri angkuh memperlihatkan tebing-tebingnya yang menjulang kokoh seakan ingin menjangkau langit. Tak ada kabut, awan pun terlihat jauh berada di bawah, namun hawa dingin makin terasa menggigit tulang. Tepat pukul 16.35, tim tiba di Tranggulasi Puncak Sulawesi. Setelah berpose dengan “macam-macam gaya” kami segera mendirikan tenda, sementara matahari berlalu pulang meninggalkan sang jingga dilangit barat, hari berganti malam.
Malam itu cuaca tetap cerah ditaburi beribu gemintang. Jauh di arah barat terlihat sebagian Tanah Toraja dihiasi beribu cahaya lampu, sementara di arah Timur, tanah Luwuk dan Kota Palopo bertaburan lampu-lampu malam. Fantastis !!! Dinginnya hawa di tempat itu memaksa kami lebih cepat masuk ke tenda, menyusup di balik Sleeping Bag yang terasa hangat, menjemput mimpi yang telah kami perjuangkan di puncak ini.
Sepi kian merambat, di luar tenda terus terdengar desau angin yang tak bosan-bosannya bertiup, membawa bau khas Bunga Edelweys yang memang bertaburan di tempat ini. Suara alam bagai nyanyian surga membahana syahdu di seantero jagat raya. Seakan turut menghantar kami yang “terkapar”menuju alam mimpi. Jauh dari kebisingan kota, jauh dari aktivitas kota yang kian tak beradab…
Semua itu hanyalah bagian dari sebuah perjuangan panjang yang melelahkan sampai akhirnya kami berhasil menggapai puncak tertinggi di Sulawesi itu pada tanggal 14 April 2004 silam. Tak hanya itu, kami pun menjadi tim pertama yang sukses mencapai puncak pada awal tahun 2004.
Latimojong memang bukan sembarang gunung. Keindahan alamnya yang kaya akan flora dan fauna, juga cerita rakyat tentang mistik dan keanehannya, menjadikan gunung ini menyimpan sejuta sejarah masa lampau yang patut diketahui keberadaannya. Bagi saya gunung tetap merupakan “sosok” yang gagah yang terus mengajari para pendaki untuk lebih bijaksana sekaligus mengagumi kecantikan alamnya.
Sehingga ketika dalam perjalanan turun melewati jalur Angin-angin yang tak kalah eksotis dan tak kalah “angkernya” dengan nama Latimojong sendiri, untuk terakhir kalinya aku melihat ke arah gunung ini, aku tersenyum. Senyum untuk keindahan, pesona, kenangan, keajaiban dan kekagumanku. Tak salah jika orang menjulukinya “Atap Sulawesi”. Ya. Rantemario dengan sejuta pesona kecantikan alamnya yang mengundang nafsu untuk kembali mendakinya.
Tapi perjalananku belum usai, masih banyak tempat-tempat di Sulawesi ini yang ingin kujelajahi. Dalam sebuah mobil yang menderu membelah malam dan antara suara klakson yang saling berteriak meninggalkan satu sama lain, kulambungkan kembali ingatanku selama bergelut dengan teman-teman sambil berharap semoga ini akan berlanjut. Sekali lagi kulayangkan pandanganku dalam mobil, semuanya telah terlelap dan aku pun turut memejamkan mata, meninggalkan sang sopir yang sedang serius memperhatikan jalanan…Babak perjalanan dari sebuah “dramaturgi” pendakian dalam hidupku usai sudah…
Penulis: MUCHLIS NTOMA
NRA.CKB.22.138.087.GEMURUH BELANTARA
Divisi: Mounteneering/Gunung Rimba
Sungguh Allah…
Tuhan yang maha mencipta
Telah menciptakan karya yang maha “spektakuler”.
Dialah yang menciptakan sond effek
Mulai dari desau angin, gemericik air,
hingga gemuruh petir yang dahsyat.
Dialah sang Maha “Artistik” yang telah membentangkan panel-panel langit
Hingga menghiasinya dengan berjuta gemintang.
Kemudian deretan gunung-gunung, pahatan tebing dan lembah, lekuk samudera, pohon pohon, bunga bunga dan bahkan mewarnainya dengan berjuta warna-warni abstrak.
Dia juga telah mengatur kehidupan berbagai mahluk dari yang “raksasa” hingga ke mahluk yang sangat renik.
Namun, dia pula yang telah membuat
Skenario hidup Berjuta bahkan
bermiliar-miliar mahluk-Nya
tanpa ada kesamaan cerita
satu sama lain.
Tulisan ini dibuat di Makassar, pada tanggal 5 Mei 2004.
Sebuah petualangan sejati kembali digelar mengarungi ganasnya antropologi rimba raya sulawesi menantang kerasnya rimba khatulistiwa menjajal puncak terangkuh pulau Sulawesi menaklukkan sang perawan khatulistiwa dalam sebuah ekspedisi CAKRABUANA BRIGADE 031 Universitas Muslim Indonesia–Makassar.
Dipersembahkan untuk:
Sahabat terbaik Alm. Kakanda Ir. Andi Moh. Abdi Akbar Dan kepada seluruh Pendaki gunung sejati, Pemberani dan penakluk rimba yang mendaki tanpa jaminan keselamatan sedikitpun…
Salut Buat jiwa–jiwa pantang menyerah, Jiwa-jiwa sang petualang…
Stage Crew :
Ketua Tim/Leader : Ariefuddin
Anggota : Muchlis, Dwi Wahyuni, Syamsu Adi, Andi Iwan Indra
Pendukung:
Anggota Muda CAKRABUANA HMS FT-UMI Angkatan IV, Gemuruh Belantara
Terima Kasih Kepada:
– Pengurus, Dewan Senior & Anggota Kehormatan CKB HMS FT UMI,
– Kelompok Pencinta Alam (KPA) Lembayung Base Camp Baraka,
– Sahabat-sahabat terbaik di ELLASTIC & DETEKSI Studi Club,
– Dan Semua pihak yang telah membantu suksesnya Expedisi ini.
“Alam adalah hidup, dan hidup adalah kebebasan”