Gopos.id, Gorontalo – World Mental Health Day atau Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiapt anggal 10 Oktober dijadikan momentum oleh pemerhati Hukum Kesehatan, Agung Setiadi Nugroho (ASN) untuk mendorong adanya berbagai kebijakan kesehatan mental di Provinsi Gorontalo. Menurutnya penyimpangan sosial seperti pelecehan seksual di ranah pendidikan, tawuran antar pelajar, bullying, LGBTQ, hingga kasus bunuh diri yang marak terjadi di Gorontalo menjadi salah satu indikator bahwa kesehatan mental dan jiwa masyarakat Gorontalo sedang tidak baik-baik saja.
“Kalau pemerintah kita mau sedikit menelaah, sebenarnya penyimpangan sosial yang belakangan terjadi adalah implikasi dari minimnya jaminan akses layanan kesehatan mental di Gorontalo yang terintegrasi dan non diskriminatif. Walaupun saat ini sudah ada call center, menurut saya itu tidak cukup untuk memetakan dan menyelesaikan masalah mental dan jiwa yang ada di masyarakat,” ungkapnya.
Pemuda yang sedang melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada ini berharap pemerintah melakukan skrining kesehatan jiwa atau mental yang terintegrasi yang juga disertai kerjasama multisektoral dikalangan pemangku kebijakan. Ia menegaskan semestinya para pemangku kebijakan tidak melihat berbagai penyimpangan yang terjadi sebagai masalah individu yang dapat terselesaikan begitu saja, tetapi juga butuh peran dari pemerintah selaku pemangku dan pembuat kebijakan
“Harapannya juga pemerintah dan para pembuat kebijakan tidak melihat penyimpangan sosial sebagai masalah pribadi yang kemudian selesai begitu saja, karena itu agak keliru. Penyimpangan yang terjadi tidak boleh dipandang hanya sekadar implikasi dari faktor ekonomi, faktor pola asuh orang tua, faktor pergaulan anak, dan sebagainya, tidak sependek itu. Ada peran pemerintah disana untuk menciptakan individu yang sehat secara jiwa, sehat secara fisik, dan pada akhirnya sehat secara sosial. Itu juga amanat Undang-Undang Kesehatan yang harus dijalankan oleh pemerintah. Salah satu caranya dengan menjamin akses terhadap layanan kesehatan mental dan jiwa yang terintegrasi dan non-diskriminasi. Ini sudah waktunya, pemerintah serius melihat masalah mental dan jiwa,” jelasnya.
Menurut Agung, kesehatan mental dan jiwa sangat penting untuk menciptakan interaksi sosial masyarakat yang baik dan sesuai dengan tatanan norma yang berlaku. Ia menegaskan kesehatan mental dan jiwa berkaitan erat dengan regulasi emosi, cara berpikir yang rasional, pengambilan keputusan, belas kasih pada diri sendiri, dan aktualisasi diri oleh tiap-tiap individu. Menurutnya, di zaman yang serba canggih ini pola interaksi masyarakat sangat berubah apalagi ditambah oleh efek negatif media sosial. Dampaknya, tidak sedikit masyarakat yang mengalami kesulitan dalam menilai salah-benar nya suatu tindakan. Disisi lain, ia beranggapan bahwa pendekatan agama dalam pencegahan bunuh diri atau penyimpangan sosial di kalangan siswa cukup sulit dilakukan.
“Yang cukup disayangkan adalah adanya pernyataan pemakluman dari salah satu anggota DPRD Provinsi yang justru membenarkan tindakan vandalisme di GORR beberapa waktu lalu. Hal ini penting karena pernyataan itu disebarkan melalui media sosial, dengan media sosial tidak sedikit orang yang akhirnya kesulitan membedakan perilaku benar-salah. Ketika suatu penyimpangan justru dimaklumkan oleh tokoh sepenting Aleg DPRD, maka pastia da kemungkinan sebagian orang atau pengikut media sosial beliau yang menganggap bahwa tindakan itu dibenarkan, padahal secara aturan hukum dan norma di masyarakat itu jelas-jelas salah. Kedua, jika kita menggunakan pendekatan agama dalam pengentasan bunuh diri atau penyimpangan sosial, maka perhari ini menurut saya sangat sulit dilakukan. Selain karena falsafah adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah kian jauh dari interaksi sosial-masyarakat khususnya generasi muda saat ini, juga karena individu yang dinaungi oleh lembaga, institusi, atau organisasi keagamaan justru menjadi pelaku penyimpangan atau paling tidak menjadi ‘sarang’ terjadinya penyimpangan itu. Contohnya persetubuhan di salah satu MAN yang viral baru-baru ini, atau mungkin individu yang dikenal agamis tapi melakukan aksi bunuh diri. Ya, meskipun harus dibedakan antara sikap individu dan sikap lembaga, tapi harus dipahami bahwa tidak semua masyarakat bisa menilai sekritis itu. Pun ketika sudah merambat ke media massa maka terjadinya ‘degradasi keagamaan’ atau kurangnya kepercayaan pada seruan-seruan agama sangat mungkin terjadi,” tutupnya.
Diketahui melalui akun Instagram dan Tiktok pribadinya @agungsetiadinugroho, pemuda berusia 25 tahun itu seringkali membagikan perspektifnya sekaligus melakukan edukasi terkait isu-isu hukum dan kesehatan yang ramai di masyarakat. Pasca menulis terkait Tradisi Mongubingo dari perspektif bioetika medis, kini Agung menggelorakan tagar #BilangJoPaAgung sebagai bentuk advokasi berbagai kebijakan di bidang kesehatan khususnya di daerah. Terbaru, ia juga mendorong agar skrining kesehatan mental dilakukan di sekolah-sekolah dan fasilitas Rumah Sakit Jiwa dibangun di Provinsi Gorontalo yang nantinya berfungsi sebagai faskes rujukan dan ruang aman bagi korban luka psikis. (Adm01/goposid)