GOPOS.ID, GORONTALO – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan menjadi pertaruhan besar bagi politisi. Terutama bagi mereka yang berniat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (aleg) sekaligus membidik kursi kepala daerah. Keputusan untuk mencalonkan diri harus dibuat sejak dini. Apakah akan bertarung pada pemilihan legislatif (Pileg) atau ikut dalam bursa pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Keputusan dini untuk memilih jalur pencalonan harus segera dibuat karena para politisi tak lagi memiliki banyak waktu untuk bersikap wait and see alias melihat perkembangan. Berbeda dengan pada Pemilu 2019 ataupun pemilu-pemilu sebelumnya. Para politisi yang hendak mencalonkan diri sebagai caleg sekaligus membidik kepala daerah, punya banyak waktu untuk melakukan kajian dan pertimbangan. Bahkan punya kesempatan untuk mengumpulkan “modal”. Dalam artian, ketika terpilih dan duduk sebagai anggota legislatif, sang politisi tersebut masih memiliki waktu sekian bulan hingga tahun untuk menyiapkan diri menghadapi Pilkada.
Berbeda pada Pemilu 2024. Meski pelaksanaan Pileg dan Pilkada memiliki tenggat atau jarak waktu beberapa bulan, jauh hari para politisi yang hendak meramaikan Pemilu 2024 sudah harus memilih. Apakah fokus mencalonkan sebagai calon anggota legislatif (caleg) atau calon kepala daerah (cakada).
Sebagaimana diketahui, tahapan pendaftaran calon anggota legislatif yang meliputi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) Provinsi dan kabupaten/kota, akan berlangsung pada 1-14 Mei 2023. Tahapan pemilihan berlangsung pada 14 Februari 2024, dan rekapitulasi hasil perhitungan pemilihan berlangsung hingga 20 Maret 2024.
Sementara untuk tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pendaftaran bakal calon direncanakan dimulai pada Juli 2024. Selanjutnya pemilihan pada 27 November 2024.
Memang bisa saja seorang politisi membidik dua jalur sekaligus, yakni pileg lalu kemudian pilkada. Namun tentu hal tersebut membutuhkan sumber daya yang cukup besar. Mulai dari sisi fisik hingga aspek finansial. Termasuk kesiapan segera mengundurkan diri usai dilantik ketika terpilih sebagai anggota legislatif.
Sebagai ilustrasi, seorang politisi yang membidik kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo lalu Pemilihan Gubernur (Pilgub) Gorontalo. Setelah ditetapkan sebagai caleg terpilih, yang bersangkutan mencalonkan sebagai kandidat pilgub Gorontalo. Pada situasi ini, caleg tersebut memiliki dua opsi. Opsi pertama, mengundurkan diri sebagai caleg terpilih dan kemudian digantikan oleh caleg dengan perolehan suara terbanyak kedua. Opsi kedua, belum mengundurkan diri dan tetap mengikuti tahapan pencalonan Pilkada sampai dilantik sebagai sebagai aleg terpilih. Sekadar informasi pelantikan para caleg DPRD Provinsi Gorontalo terpilih pada 2024 dilaksanakan pada September 2024.
Bila caleg terpilih tersebut mengambil opsi kedua, maka setelah dilantik yang bersangkutan sudah harus segera mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Alasannya, surat atau dokumen pemberhentian sebagai anggota DPRD sudah harus diterima paling lambat H-30 atau sebulan sebelum hari H pencoblosan. Itu artinya paling lambat 27 Oktober sudah harus ada Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tentang pemberhentian yang bersangkutan dari jabatan sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo.
Situasi ini cukup riskan. Sebab bila pemenuhan SK pemberhentian tidak memenuhi H-30 sebelum pencoblosan, maka pencalonan kandidat tersebut akan dicoret dan dinyatakan diskualifikasi. Kandidat dinyatakan tidak memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menguatkan ketentuan tersebut. Anggota legislatif wajib mundur dari jabatannya sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah. (Hasan/gopos)