Oleh: Hasanuddin Djadin
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Koalisi mengandung arti kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen. Sementara Wikipedia memberi pengertian koalisi adalah sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan, atau aliansi beberapa unsur, yang dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri.
Di tanah air, sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 bergulir, istilah koalisi makin akrab dalam perbincangan masyarakat. Dari forum-forum resmi atau formal hingga forum diskusi warung kopi, kata koalisi senantiasa terselip ketika membahas soal politik. Istilah tersebut menjadi akrab seiring kebijakan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
Kala itu (Pemilu 2004), Presidential Threshold ditetapkan sebesar 15 persen dari jumlah kursi DPR RI atau 20 persen dari jumlah suara sah nasional. Selanjutnya pada Pemilu 2009, Presidential Threshold dinaikkan menjadi 20 persen dari jumlah kursi DPR RI atau 25 persen dari jumlah suara sah nasional. Itu artinya partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki total 115 kursi di DPR RI atau 25 persen suara nasional untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden wakil presiden. (Ketentuan yang sama juga berlaku untuk Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada dengan acuan total jumlah kursi DPRD setiap tingkatan).
Ketentuan Presidential Threshold ini “memaksa” partai politik yang memiliki kursi di DPR untuk berkoalisi. Meski dalam perjalanan sejak Pemilu 2004 ada dua partai politik yang bisa mengajukan pasangan capres-cawapres tanpa koalisi. Yakni Partai Demokrat (hasil Pemilu 2004), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP (hasil Pemilu 2014 dan Pemilu 2019).
Selain ketentuan regulasi, beberapa hal lain ikut pula mendorong parpol mau tidak mau harus berkoalisi dalam pencalonan Pilpres. Seperti penggalangan pemilih, efektivitas kampanye, hingga dukungan logistik dan pendanaan. Tentu semua itu akan sangat berat bila hanya ditanggung satu parpol atau satu pasangan capres-cawapres saja.
Aspek pendanaan, misalnya. Sekadar gambaran, pada Pilpres 2019 Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin melaporkan pengeluaran kampanye senilai Rp601 miliar. Sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melaporkan pengeluaran kampanye senilai Rp211,5 miliar.
Merujuk pada pengertian kerja sama, koalisi idealnya dibangun berdasar tujuan yang sama. Lebih ideal lagi untuk kepentingan umum dan jangka panjang. Sebab partai politik merupakan instrumen penting dalam demokrasi. Partai politik memiliki peran penting dalam melahirkan kader-kader pemimpin, memperjuangkan aspirasi rakyat, serta mengawal pengelolaan pemerintahan yang baik dan amanah.
Sayangnya konteks ideal itu baru sebatas basa-basi dalam diskusi di pelbagai ruang dan waktu. Menjadi basa-basi dalam perbincangan tentang demokrasi. Sekadar basa-basi ketika Pemilu diharapkan menjadi edukasi politik bagi masyarakat.
Koalisi yang diharapkan menjadi jembatan menuju tujuan bersama lebih banyak diwarnai ambisi untuk berkuasa dan menjadi penguasa. Jauh dari kata edukasi. Yang ada hanyalah berebut porsi. Menjual kepentingan rakyat dan masa depan bangsa, padahal tujuan akhirnya hanyalah sekadar memakmurkan keluarga berserta kroni dan kolega.
Ambisi untuk berkuasa telah meruntuhkan naluri dan mematikan empati. Tak peduli lagi hitam putih. Koalisi yang sejatinya dibangun lewat komunikasi dan lobi-lobi berkualitas. Koalisi seyogiyanya menjadi perekat solidaritas. Bukan sekadar komoditas untuk transaksional.(***)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab media gopos.id