Pandemi virus Corona (Covid-19) memberi dampak terhadap berbagai hal. Tak terkecuali pendapatan masyarakat kecil. Penjual kopi gendong di antaranya. Namun tuntutan untuk bertahan hidup memaksa mereka mau tidak mau harus tetap beraktivitas walaupun ancaman pandemi begitu ganas.
Muhammad Arif Bina, Yogyakarta
Malam itu, daerah Yogyakarta baru saja diguyur hujan. Sementara jarum jam di arloji menunjukan pukul 22.00 WIB. Meski begitu, kawasan titik nol kilometer Kota Yogyakarta masih ramai.
Beberapa orang terlihat baru saja memarkirkan motornya kemudian duduk lesehan di beberapa tempat angkringan di kawasan Titik nol KM Yogyakarta. Menikmati malam di kota yang konon setiap sudut penuh dengan suasana romantis.
Layaknya kota besar pada umumnya, kita bisa melihat banyak orang dengan berbagai macam tujuan yang berseliweran di kawasan titik nol KM Yogyakarta.
Di tengah keramaian itu, pandangan saya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang berharap rezeki dari sekian banyak orang berseliweran malam itu. Bermodal harapan, tekad dan peralatan seadanya wanita yang diketahui bernama Lastri itu menjajakan kopi. Kopi yang dijajakanya itu digendong menggunakan keranjang, dan kemudian ditawarkan kepada setiap pengunjung yang ada di kawasan Nol KM.
Sejak suaminya meninggal dan hidup menjanda, Lastri menggantungkan hidupnya dari hasil penjualan kopi gendong. Wanita asal Wonogiri ini mengatakan sudah melakoni pekerjaan ini 4 tahun belakangan.
Saat pandemi belum bisa dikendalikan seperti ini, dirinya mengaku tetap berjualan. Sekadar bertahan hidup meskipun penghasilan dari berjualan kopi gendong seperti ini tidak sebanyak hari-hari biasanya sebelum pandemi.
Lastri mengaku, dalam sehari dirinya berjualan dimulai sejak pukul 17.00 hingga pukul 23.00 WIB, ia bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebanyak Rp150-200 ribu.
“Kalau pendapatan sekarang dengan waktu kerja yang sama dapat Rp. 70.000 atau Rp. 100.000 itu sudah cukup bagi saya mas. Biasanya diakhir tahun seperti ini juga pendapatan meningkat karena kawasan ini mulai dipadati oleh wisatawan. Bahkan bisa-bisa saya jualan sampai jam 2 dini hari,” ungkap Lastri dengan logat Jawa khas Wonogiri, Jumat (26/11/2020).
Meski hidup menjada seorang diri karena anaknya sudah berumah tangga, Lastri mengaku pendapatannya masih kurang untuk biaya sewa kos. Kesehariannya Lastri tinggal di tmpat kost sebagai tempatnya bernaung selama di Yogyakarta. Beruntung sesekali dirinya kerap dibantu oleh anaknya dalam persoalan ekonomi.
“Tapi itu tidak menentu mas, kalau anak saya punya kelebihan rezeki, saya dibantu. Tapi diakan juga punya anak, jadi kadang saya harus memutar otak untuk mendapat pemasukan tambahan,” ungkap wanita 60 tahun itu saat berbincang dengan gopos.id.
Setali tiga uang dengan Lastri, Budi yang juga melakoni profesi yang sama juga menjadi imbas keganasan pandemi yang sampai dengan saat ini belum terknedali. Pendapatan hariannya diakui juga menurun. Bapak dua anak ini juga mengaku keteteran untuk menyiasati persoalan ekonominya semenjak dilanda pandemi.
“Dengan penghasilan yang relatif sedikit dan dua anak saya yang masih sekolah saya juga keteteran, mas. Apalagi selama pandemi ini kan sistem belajarnya dialihkan ke sistem daring. Jadi kuota internet juga menjadi kebutuhan pokok kedua setelah makanan agar anak-anak saya tetap bisa sekolah,” kata Budi.
Beruntung, selain menjajakan kopi, untuk bertahan hidup di kota ini, Budi juga menjalankan pekerjaan sampingan. Yaitu pendorong gerobak para pedagang kaki lima yang di sepanjang Jl. Malioboro. Dari pekerjaan itu, Budi biasa dibayar Rp10 ribu setiap sekali memasukkan dan mengeluarkan gerobak dari tempat parkirnya.
“Kalau dari pekerjaan sampingan ini saya dibayar per minggu. dalam satu minggu itu biasa ada 5-6 gerobak yang menggunakan jasa saya,” kata pria 29 tahun itu.
Baik Lastri maupun Budi, keduanya mengaku memilih untuk tetap melakoni pekerjaan mereka meskipun resiko tertular Covid-19 tinggi karena tuntutan untuk bertahan hidup. Kejadian yang melanda Budi dan Lastri mungkin hanya sebagian kecil yang dirasakan oleh masyarakat kecil. Masih banyak orang dengan nasib yang sama bahkan jauh lebih memprihatinkan dibanding keduanya dan memaksa untuk tetap bekerja di masa pademi sekedar untuk menyambung hidup sebab bantuan pemerintah dirasa kurang cukup untuk memenuhi keutuhan keluarga.
Untuk mendapat sesuap nasi agar bisa menyambung hidup merka harus tetap bekerja di luar rumah meskipun bahaya terpapar Covid-19 terus mengintai di setiap langkah dan kerja keras mereka. Mereka memilih tetap bertahan hidup di tengah pandemi, ketimbang mati lantaran kelaparan.(***)