GOPOS.ID – Pada Juni 2020, sebuah cuitan diunggah Justitia Avila Veda di akun Twitter (sekarang X) miliknya. Perempuan yang akrab disapa Veda itu menyampaikan bila dirinya bersedia mengobrol dan terbuka untuk mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual, atau ada kerabat/temannya yang pernah mengalami kekerasan seksual.
Awalnya, cuitan tersebut diunggah Veda sekadar iseng. Perempuan yang berprofesi pengacara ini sekadar ingin tahu apakah ada orang pernah mengalami kekerasan seksual tetapi bingung atau tak tahu bagaimana mendapatkan keadilan hukum. Tapi ternyata cuitan Veda yang semula iseng malah viral. Kurang dari 24 jam, sudah menerima sekitar 40 aduan di kotak surat elektronik (e-mail). Begitu pula pesan langsung yang diterima di akun Twitter.
Dari cuitannya yang viral, Veda yang dibantu dua rekannya sesama praktisi hukum membuka layanan aduan yang berisifat pro bono (sukarela, red) bagi korban kekerasan seksual berbasis teknologi. Yakni secara online atau dalam jaringan (daring). Langkah itu dilakukan karena pandemi Covid-19 masih melanda Tanah Air. Aktivitas untuk bertatap muka secara langsung sangat terbatas.
Inisiatif Veda untuk membuka layanan advokasi kekerasan seksual online seakan membuka kotak pandora. Berbagai aduan yang diterima menyingkap bila kekerasan kasus seksual, khususnya secara daring (online) sangat tinggi. Seperti penyebaran konten yang dicuri, pemerasan berbasis seks, hingga stalking dan doxing.
“Saya tak menyangka bila dalam dua hari, kami menerima lebih dari 200 direct message,” ujar Veda dalam diskusi virtual Good Movement yang dilaksanakan Good News Form Indonesia (GNFI) Akademi pada 5 September 2023.
Bak gayung bersambut. Langkah Veda memberi pendampingan bagi korban kekerasan seksual berbasis teknologi mendapat dukungan dari pengacara dan paralegal. Banyak pengacara dan paralegal menawarkan diri bergabung menjalankan program sosial pendampingan hukum yang diinisasi Veda. Dari situasi tersebut, Veda pun tercetus membentuk sebuah skema yang terstruktur agar bisa memberikan konsultasi hukum yang lebih akuntabel. Maka dibentuklah Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KKAG) yang saat itu beranggotakan sebanyak 15 pengacara/paralegal. Dalam perkembangan selanjutnya, KKAG kini beranggotakan sebanyak 45 pengacara/paralegal.
“KKAG merupakan kolektif pengacara dan paralegal yang fokus memberikan konsultasi hukum dan pendampingan hukum secara gratis kepada kekerasan kasus gender, dan secara spesifik kepada korban kekerasan seksual,” ujar lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
KKAG memberikan layanan pendampingan hukum dan jasa konsultasi hukum berbasis jaringan internet atau dalam jaringan (daring/online). Pendampingan berbasis teknologi ini dapat diakses pada akun instagram @advokatgender atau dengan mengirim email ke konsultasi@advokatgender.org. Di samping pendampingan hukum, layanan sahabat korban kekerasan seksual juga turut menyediakan layanan pemulihan medis, psikologis, serta sosial.
Di KKAG terdapat empat kelompok penerima manfaat prioritas. Yakni kelompok yang termarginalkan secara ekonomi. Kelompok anak usia di bawah 18 tahun. Kelompok minoritas etnis, dan minoritas gender, serta kelompok dengan kerentanan tertentu seperti disablitias, atau pengungsi.
Memberi pendampingan hukum bagi korban kekerasan seksual memiliki beragam tantangan. Apalagi dalam pemulihan korban kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada masalah hukum, tetapi juga berkaitan dengan rehabilitasi mental. Oleh karena itu Veda bersama rekan-rekan pengacara yang tergabung dalam KKAG mengembangkan layanan pendampingan hukum secara holistik kepada korban kekerasan seksual. Yaitu layanan pendampingan hukum yang dipadukan dengan pemulihan medis, pemulihan kesehatan mental, pemulihan psikososial, pemulihan finansial, dan pemulihan reputasional. Layanan ini dikembangkan KKAG dengan bekerja sama psikolog dan dokter.
“Justru menjadi prioritas bagaimana menangani kasus ketika bantuan paling awal berupa pemulihan mental/pemulihan medis. Sebab bila itu tidak dilaksanakan maka orang tidak punya dorongan untuk mencari keadilan hukum,” terang Veda.
Veda menekankan pendampingan bagi korban kekerasan seksual merupakan kerja sama lintas disiplin ilmu. Pendampingan bagi korban kekerasan seksual tidak hanya berkaitan dengan trauma yang dialami, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Dalam kekerasan seksual sangat mungkin terjadi penularan IMS (Infeksi Menular Seksual), termasuk kehamilan yang tak diinginkan.
“Ini berkaitan dengan aspek medis karena ada situasi baru yang mereka hadapi. Berkaitan dengan tubuhnya, psikisnya. Makanya ini adalah kerja bersama, lintas sektor dan disiplin ilmu,” tutur Veda.
Memperluas Akses Terhadap Keadilan Hukum
Sejak berdiri pada 2020 hingga pertengahan 2023 sudah ada 465 aduan yang diterima KKAG. Dari jumlah tersebut sudah ada lima kasus yang diputuskan oleh Pengadilan. Di samping vonis pidana bagi pelaku, korban maupun keluarga korban juga menerima restitusi (kompensasi yang dibayarkan oleh pelaku).
Kepedulian untuk memberikan pendampingan secara holistik bagi korban kekerasan seksual membuat Veda dianugerahi penghargaan SATU Indonesia Awards 2022 bidang kesehatan. Penghargaan ini semakin memompa semangat Veda untuk mendorong dan memperluas akses terhadap keadilan hukum, khususnya bantuan hukum bagi korban kekerasan seksual. Terutama di wilayah atau daerah-daerah di luar Pulau yang masih terbatas dalam memperoleh access to justice.
“Harapan ke depan adanya akses bantuan hukum yang inklusif kepada semua korban, karena setiap korban atau kasus kekerasan seksual punya ke-khas-an masing-masing. Mereka memerlukan aproach yang berbeda-beda,” kata Veda.
Veda mengakui bila langkahnya bersama KKAG dalam memberikan layanan pendampingan hukum bagi korban kekerasan seskual memiliki banyak tantangan. Tantangan utama yang dihadapi adalah belum semua daerah siap memberikan respon yang cepat untuk merespon kasus kekerasan seksual secara proper. Hal ini berkaitan dengan kondisi ketersediaan infrastruktur, aparatur penegak hukum, serta kondisi geografi dan demografi.
Tantangan lainnya masih adanya regulasi yang dinilai menjadi penghambat bagi korban untuk bisa mengakses keadilan hukum. Untuk itu menurut Veda, KKAG sedang membangun tim riset yang harapannya ke depan bisa melakukan pengujian terhadap peraturan yang menjadi penghambat bagi korban memperoleh keadilan.
“Ketersebaran adanya layanan psikologi atau layanan medis yang ramah terhadap korban, terhadap berbagai situasi, dinamika, identitas gender, juga menjadi sebuah tantangan yang dihadapi dalam memberikan layanan pendampingan korban kasus kekerasan seksual,” urai Veda.
Veda memiliki harapan layanan pendampingan korban kekerasan seksual berbasis teknologi KKAG bisa menjangkau seluruh klien di Indonesia. Harapan ini datang karena kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah Indonesia memiliki karakteristik masing-masing.(hasan/gopos)