GOPOS.ID, GORONTALO – Tak sampai sebulan, dua kali banjir besar menerjang beberapa wilayah di Provinsi Gorontalo. Di Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo, banjir terjadi pada hari Kamis 11 Juni 2020.
Jumlah korban yang tercatat di Bone Bolango 8.867 jiwa dan Kota Gorontalo sebanyak 15.083 jiwa. Total korban secara keseluruhan sebanyak 23.950 jiwa.
Banjir susulan kembali terjadi pada tanggal 3 Juli 2020 di wilayah yang sama serta berdampak di sejumlah tempat di Kabupaten Boalemo.
Akhir tahun 2018 silam, banjir bandang pernah menerjang Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara. Saat itu, banjir diakibatkan oleh meluapnya sungai Alo-Pohu. Banjir, seperti menjadi ritual tahunan bagi Provinsi Gorontalo.
Banjir kali ini akibat intesitas hujan yang cukup tinggi hingga menyebabkan meluapnya sungai Bone, serta rusaknya wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Gorontalo. Namun Japesda mencatat persoalan utama banjir tahunan di Gorontalo adalah laju kerusakan hutan atau deforestasi.
Kehadiran konsesi perusahaan ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan, ikut memberikan sumbangsih besar terhadap deforestasi di Gorontalo. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2016, terdapat 24 izin pertambangan bahan mineral, yang terdiri dari 21 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 3 izin Kontrak Karya (KK).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 325/Menhut-II/2010, luas hutan di Provinsi Gorontalo adalah 824.668 hektare, dan tutupan lahan dengan tingkat deforestasi 17 persen. Sementara data dari Forest Watch Indonesia, luas hutan di Gorontalo pada tahun 2016 adalah 714.031 hektare. Dengan demikian selang 6 tahun terjadi pengurangan luasan sebesar 110.367 hektare atau 13 persen akibat deforestasi.
Baca juga: Biaya Perawatan 22 Pasien Covid di Gorontalo Capai Rp1,1 Miliar
Selain itu, data dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017-2018, pada kategori deforestasi Hutan Lindung (HL): luas hutan lindung yang hilang seluas 1009,1 hektar dan Gorontalo berada pada peringkat ke-13 di Indonesia (Deforestasi Indonesia Tahun 2017-2018, KLHK 2019).
Selain itu, dari 490.996.29 hektar lahan di Wilayah Sungai Limboto-Bolango-Bone (beberapa sungai besar yang sering meluap sehingga mengakibatkan banjir), 50.513.29 atau 10 persen di antaranya dalam kondisi baik. Artinya, ada sekitar 90 persen lahan (dalam dan luar kawasan hutan) di wilayah itu yang rusak atau dalam kondisi kritis.
Selain kerusakan di area hulu, sungai-sungai yang di Provinsi Gorontalo juga dalam kondisi tidak baik. Data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Bone Bolango, dari 520 daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Provinsi Gorontalo. Hanya 27 DAS yang masih masih dipertahankan (kondisi baik). Sementara, 493 atau 94 persen DAS lainnya, sedang dipulihkan; dengan kata lain, kondisinya kritis. (BPDASHL, 2019)
Atas persoalan tersebut, JAPESDA (Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah, pihak swasta/perusahaan dan masyarakat pada umumnya, sebagai berikut:
1. Segera evaluasi konsesi perizinan bagi perusahaan ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit, dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
2. Pemerintah harus melakukan perbaikan kawasan hutan dan lahan yang telah rusak parah, serta melakukan evaluasi keberhasilan dan kegagalannya.
3. Pemerintah harus menindak tegas pelaku dan korporasi perusak kawasan hutan dan lahan, seperti perusahaan yang mengubah fungsi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan, pertanian, serta peruntukkan lainnya.
4. Mendesak pemerintah untuk memperhatikan nasib warga yang menjadi korban banjir di tengah pandemik Covid 19, dengan melakukan distribusi pangan yang adil di semua wilayah yang terdampak banjir di Provinsi Gorontalo.
5. Menghimbau kepada warga yang berada di lokasi rawan banjir untuk tetap terus waspada terhadap banjir susulan, dan tetap terus menjaga kesehatan. (rls/gopos)