Penulis – Funco Tanipu/Dosen UNG/ Sosiolog Gorontalo
SELAMA pandemi, pengelolaan mobilitas menjadi hal yang diutamakan pemerintah sebagai “buying time” dalam pengurangan jumlah kasus.
Dari grafik Google Mobility terlihat jika akibat dari kebijakan PPKM Darurat di Jawa dan Bali telah mengurangi mobilitas hampir 50 %. Hal itu berbeda dengan kondisi di daerah-daerah yang tidak memberlakukan PPKM Darurat seperti Gorontalo.
Tetapi, serangan varian Delta tidak mesti membuat kita di Gorontalo panik. Sebab, perkembangan jumlah kasus di Gorontalo masih bisa disebut terkendali.
Dari data website Covid-19.go.id terlihat jika jumlah kasus di Gorontalo “masih sebatas” 0.2 % dari total Indonesia. Lebih dari 90 % diantara 0.2 % tersebut tercatat sembuh. Dari 0.2 % yang terkonfirmasi positif itupun, lebih dari 98 % tanpa gejala. Adapun yang meninggal karena Covid-19, hanya 1 % yang memiliki penyakit bawaan dari total yang meninggal.
Selain itu, ada pula data tentang kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang dikeluarkan Satgas Covid-19, bahwa Gorontalo termasuk memiliki kepatuhan tertinggi sebesar 100 %.
Begitu pula terkait data mobilitas, ada tren yang stabil dari Mei hingga Juli. Bahkan yang menurun berada di sektor transit stations seperti pelabuhan, terminal dan bandara yang terus menurun akibat kebijakan penggunaan PCR Swab untuk pelaku perjalanan udara dan antigen untuk darat dan laut.
Karena itu, jika membaca perilaku mobilitas warga dan kepatuhan terhadap protokol serta perkembangan kasus di Gorontalo, maka bisa dikatakan jika Gorontalo berada dalam wilayah yang masih bisa dikendalikan.
Maka, jika pelaksanaan pengetatan diterapkan seperti dalam keadaan darurat seperti yang dilakukan di Jawa-Bali, dampaknya akan lebih parah.
(1). Akan ada perlawanan warga terhadap protokol, sebab pandemi yang sudah berlangsung selama setahun telah membuat capek secara psikologis dan telah menurunkan kondisi ekonomi warga.,
(2). Kepatuhan terhadap protokol yang tinggi hingga mencapai 100 % adalah upaya partisipatif warga, bukan karena faktor lain. Hal ini harus dihargai, sebab jarang partisipasi sebesar apa yang ada di Gorontalo. Jangan sampai “upaya” memaksa membuat partisipasi malah menurun.
(3). Jangan sampai pemerintah terkesan “panik” dalam merumuskan kebijakan, yang harusnya kebijakan tidak darurat, malah terkesan darurat.
Sebagai penutup, dalam perumusan kebijakan penanggulangan pandemi harus berdasarkan evidence-based policy, jangan hanya berdasarkan persepsi atas kepanikan setelah terpengaruh media yang intens memberitakan Covid-19. Karena jika salah merumuskan, maka situasi yang baik malah akan jadi darurat hanya karena kepanikan pengambil kebijakan.
Kita tentu bisa mengambil inspirasi perumusan kebijakan dari Ibn’ Sina ; kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran awal dari kesembuhan.
Semoga kita sekalian diselamatkan dari pandemi ini, seperti apa yang menjadi doa pokok yang selama ini pernah kita dengar di kalangan Nahdlatul Ulama ;
“Lii khomsatun uthfi bihaa harrol wabaai haatimah al-Musthofa wal murtadho wabna huma wa Fathimah”(*)