GOPOS.ID – Pemerintah Indonesia menargetkan mengeliminasi hepatitis B dan Hepatitis C pada 2030. Target itu akan ditempuh melalui beberapa intervensi dengan pelibatan partisipasi masyarakat.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, hepatitis telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada 296 juta orang di seluruh dunia hidup dengan hepatitis B kronis (HBV), dan diperkirakan sebanyak 58 juta orang hidup dengan hepatitis C kronis (HCV), dengan tingkat kematian di atas 1 juta.
“Asia Tenggara menyumbang sekitar 410 ribu kematian, dengan 80 persen pasien meninggal karena kanker hati atau sirosis yang disebabkan oleh HBV dan HCV,” kata Pambudi saat konferensi pers Hari Hepatitis Sedunia 2023 di Jakarta, Rabu (27/7/2023).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, di Indonesia diperkirakan ada 18 juta orang terinfeksi HBV dan 2,5 juta orang dengan HCV. Dari angka tersebut, Indonesia saat ini diklasifikasikan sebagai negara dengan tingkat endemisitas HBV menengah hingga tinggi.
Menurut Pambudi, virus Hepadnaviridae merupakan penyebab hepatitis A, B, C, D, dan E yang paling umum di dunia, selain kontaminasi dari zat berbahaya, seperti alkohol dan obat-obatan tertentu.
“Hepatitis tipe B dan C menyebabkan penyakit kronis pada ratusan juta orang dan merupakan bentuk sirosis hati dan kanker yang paling umum,” katanya.
Pambudi menambahkan, hepatitis dapat ditularkan melalui kontak dengan darah dan cairan tubuh. Di Indonesia sebagian besar penularan hepatitis terjadi dari ibu ke anak.
“Proporsi kasus HBV pada balita di Indonesia dilaporkan telah mencapai 4,2 persen dari total populasi pasien per 2013. Kasus-kasus itu sebagian besar disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi,” ungkap Pambudi.
“Kasus yang parah memiliki tanda-tanda klasik hepatitis seperti menguningnya kulit dan mata dengan urin gelap yang juga bisa disertai muntah, kelelahan, mual, dan sakit perut,” imbuh Pambudi.
Kemenkes RI telah melakukan intervensi hepatitis melalui serangkaian program. Seperti mempromosikan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), pemberian vaksin hepatitis B, mencegah penularan dari ibu ke anak, dan melakukan skrining penyakit menular yang menyebar melalui transfusi darah.
“Kita juga perlu memperhatikan penggunaan narkoba suntik,” katanya.
Langkah-langkah yang diambil oleh kementerian untuk menangani penyakit ini juga termasuk pemberian Hepatitis-B0 dalam waktu kurang dari 24 jam, diikuti oleh vaksin B1, B2, dan B3, sesuai dengan jadwal Program Imunisasi Nasional, katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa skrining HBV telah dilakukan untuk semua ibu hamil di 489 kabupaten/kota, dengan jumlah peserta melebihi 3,2 juta.
“Dari aktivitas tersebut, kami menemukan 50.744 ibu hamil yang positif,” katanya.
Langkah selanjutnya adalah pemberian antivirus drug Tenofovir kepada ibu hamil dengan diagnosis HBV, yang telah dilakukan sejak tahun 2022 di 180 fasilitas kesehatan di 34 kabupaten/kota di 17 provinsi.
“Secara bertahap, kami akan menambahkannya sehingga pada tahun 2029, semua kabupaten/kota dapat memberikan obat antivirus Tenofovir kepada ibu hamil,” kata Pambudi.
Intervensi lain termasuk pemberian vaksin Imunoglobulin Hepatitis B untuk bayi dan ibu yang didiagnosis dengan HBV dalam waktu 24 jam setelah melahirkan.(Antara)