Oleh: Dr. Sutejo, M.Hum
Guru adalah profesi yang luar biasa. Tugas guru benar-benar menjadi penerang bagi anak didik. Bukan profesi penuh materi yang segala sesuatunya diukur dengan uang dan kebendaan.
Pada satu acara arisan guru, sangat jarang kita mendengar kreasi apa yang dilakukan oleh para guru, khususnya guru-guru muda.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mencanangkan Bulan Guru Nasional (BGN). Sudahkah semua guru tahu kalau bulan November, mulai tahun ini dijadikan BGN?
Bagi saya, menjadi guru bukan profesi biasa, tetapi profesi yang luar biasa. Karena itu, mari merefleksikan diri, bagaimana merayakan Hari Guru Nasional (HGN) 2024. Sudah sejauh mana kita berbuat untuk pendidikan negeri dan yang terpenting bagaimana ke depan kita akan berbuat membangun “jembatan” pendidikan yang indah.
Mengukir Jiwa
Jika ingin mengoleksi materi dan bersenang ria, jangan memilih profesi guru. Pesan ini, mengingatkan sepasang guru SPG saya yang saya kagumi, Bu Suci dan Pak Patah, yang selalu berpesan dan bercerita saat mengajar. Mendidik, bagi keduanya adalah bercerita, mengulik hikmah dan menyentuh hati secara tidak langsung. Mereka mampu mengulik nilai-nilai di balik budaya luhur di masa lalu.
Seakan Pak Patah ingin bercerita dan terus bercerita. Berikut, saya turunkan satu pengalaman kecil yang dilakukan Pak Patah. Saat itu, di papan tulis, Pak Patah menuliskan pitutur luhur orang Jawa, yang dalam perjalanan waktu saya tahu, hal itu merupakan ajaran kesalehan sosial dari Sunan Drajat. Pak Patah, guru bahasa Jawa, menuliskan kalimat-kalimat luhur itu menggunakan bahasa Jawa, tanpa terjemahan.
Tulisan itu begini: “Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong kang kodanan”. Setelah itu, beliau bercerita dan bertanya-jawab dengan anak-anak calon guru SD.
Beliau bercerita bahwa apa yang disampaikan itu cocok diajarkan bagi calon guru. Tugas guru adalah tugas sosial yang tidak pernah berhenti, harus terus dilakukan sepanjang hayat, tidak saja di ruang kelas, tetapi dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kala itu, jujur, sebagai calon guru SD, belum paham sepenuhnya. Baru setelah puluhan tahun menjadi guru (dosen), benar-benar paham bahwa ajaran Sunan Drajat ini, kiranya penting diresapi oleh para guru. Tugas guru, saya pikir, tidak jauh dari ajaran Sunan Drajat itu.
Pertama, “Mènèhana teken marang wong kang wuta” (Memberikan tongkat kepada orang yang buta). Guru memberikan tongkat kehidupan kepada para murid. Tongkat itu pemandu bagi orang buta. Anak didik ibaratnya “masih buta”, belum tahu sesuatu, maka tugas guru adalah memberinya “tongkat kehidupan”.
Tongkat kehidupan itu berupa ilmu pengetahuan, norma dan aturan, serta pengalaman hidup bermakna. Tugas guru benar-benar menjadi penerang bagi anak didik. Bukan profesi penuh materi yang segala sesuatunya diukur dengan uang dan kebendaan.
Jika melihat realita guru muda mutakhir, barangkali, ajaran Sunan Drajat ini penting direfleksikan ulang sebagai penyentuh jiwa.
Tugas mulia sebagai pemberi “tongkat kehidupan” itu bukan tugas mudah. Kita perlu mengenal di mana “letak kebutaan” anak didik, baru mencarikan “tongkat” dan memberikannya penuh cinta. Alangkah indah ajaran yang disampaikan oleh guru SPG ini.
Kedua, “Mènèhana mangan marang wong kang luwé” (Memberikan makan kepada orang yang kelaparan). Ibarat murid sebagai si lapar, tugas guru memberikan makanan bergizi, sesuai yang dibutuhkan.
Tugas utama murid adalah menyadari bahwa dirinya “kelaparan”. Lapar akan ilmu pengetahuan, lapar pengalaman, lapar akan nilai, lapar akan tujuan hidup. Di sini, seorang guru hadir, menyajikan “makanan” yang dibutuhkan anak didik. Bukan saja memberi makanan, tetapi mampu menjadi pelayan terbaik dan menyenangkannya.
Lebih 30 tahun lalu, ajaran itu diberikan guru saya, tetapi baru “nyes” saya nikmati sekarang: benar-benar dibutuhkan anak didik. Meski, di era hiperteknologi, bagi saya, cerita tentang ajaran sosial kehidupan sangat penting dibagikan kepada peserta didik disertai inovasi kreatif sang guru.
Ketiga, “Mènèhana busana marang wong kang wuda” (Memberikan pakaian kepada orang yang telanjang). Ibarat anak didik seperti manusia belum memiliki baju, maka tugas seorang guru memberinya baju. Baju kehidupan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan peserta didik.
Sekarang, saya menyadari benar bahwa baju dimaksud adalah nilai dan karakter. Dalam proses pendidikan dilakukan para guru penting dikenakan “baju kehidupan” kepada anak didik. Penting disadari bagi guru mutakhir, yang rata-rata didominasi generasi milenial, untuk mengulik ulang ajaran luhur masa lampau sebagai pilar nilai dan karakter, sehingga menyentuh dan bermakna bagi peserta didik.
Dalam konteks pendidikan abad ke-21, tentu lebih rumit dibandingkan tiga puluhan tahun lalu. Sebab era mutakhir penuh guncangan, serba tidak terduga. Era hiperteknologi ini serba mudah, maka tugas guru adalah menyadarkan betapa pentingnya literasi kehidupan, literasi sosial, literasi teknologi, dan literasi digital bagi anak didik. Literasi adalah baju kehidupan abadi.
Keempat, “Mènèhana ngiyup marang wong kang kodanan” (Memberikan payung kepada orang yang kehujanan). Tugas guru selanjutnya adalah menjadi tempat berteduh kala hujan turun. Metafora hujan tentu sangat luas, bisa ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Guru mutakhir penting menyadari, mereka adalah tempat berteduh bagi anak didik.
Di konteks mutakhir bisa dimaknai, hujan sebagai derasnya informasi tidak terbatas. Kemajuan teknologi informasi memberikan hujan tidak terhingga, bahkan menimbulkan banjir informasi yang melanda ingatan peserta didik tanpa bisa dikontrol dengan pikiran sadarnya.
Akhirnya
Ajaran di atas dikenal dengan “catur piwulang” (empat ajaran). Empat ajaran Sunan Drajat dengan demikian perlu dimiliki dan diperankan oleh guru. Penafsiran baru atas ajaran luhur masa lalu penting dikonstruksi ulang secara kreatif dalam pendidikan yang dilakukan.
Ajaran lain dari Sunan Drajat, yang pernah disampaikan guru SPG saya, dan, –menurut saya–, penting dimiliki para guru agar menjadi guru yang “kaffah” adalah sebagai berikut.
Pertama, pentingnya guru bisa menyenangkan anak didik. Membangun resep “tyasing sasoma” (Kita selalu membuat senang hati orang lain). Guru diharapkan dapat menyenangkan peserta didik, dalam arti mendidik dengan menyenangkan, menyentuh hati, menggerakkan, dan menghidupkan jiwa.
Kedua, pentingnya guru memiliki jiwa waspada dan mampu menanamkan kewaspadaan dalam kehidupan yang seakan serba mudah dan menyenangkan. “Jeroning suka kudu éling lan waspada” (Di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada). Ajaran ini dapat diaktualisasikan dengan kesadaran baru bahwa jangan sampai zaman hiperteknologi sekarang ini melenakan kita. Sebaliknya, pendidikan yang dilakukan guru dapat mengajarkan kewaspadaan. Guru wajib menjadi teladan konkret dalam literasi kehidupan bagi peserta didik.
Ketiga, pentingnya guru mampu menanamkan kesadaran agar anak berani menghadapi rintangan dalam mencapai cita-cita kehidupan. “Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah” (Dalam perjalanan mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan). Gen Z, misalnya, yang dibelai oleh budaya instan, terkadang lemah motivasi gerak, bisa disentuh dan disadarkan dengan ajaran luhur demikian.
Keempat, guru wajib menjadi benteng moral, menjauhkan anak didik dari banjir nafsu akibat teknologi digital. “Mèpèr Hardaning Pancadriya” (Kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu). Realita negatif, bagaimana remaja menjadi korban dan sebagian menjadi pelaku penyimpangan nafsu, guru harus memiliki perhatian lebih dalam untuk mengajarkan akan pentingnya ajaran “mèpèr hardaning pancadriya”.
Kelima, guru perlu memiliki ilmu kesadaran dan spiritualitas serta mampu mengajarkan kepada peserta didik. Ingat, Sunan Drajat juga pernah berpesan tentang ajaran “Heneng-Hening-Henung” (Dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan, dalam keadaan hening itu kita akan mencapai cita-cita luhur).
Akhirnya, mari di peringatan HGN dan BGN 2024, dengan menjadikan momentum besar ini untuk terus menggali nilai-nilai luhur masa lalu yang dapat dimanfaatkan sebagai media penanaman karakter luhur generasi bangsa. Kreativitas guru dibutuhkan untuk mampu memungut nilai dari sejarah masa lalu, direkonstruksi, dan dikreasikan menjadi materi dan metode penanaman nilai dan karakter yang sangat dibutuhkan di era hiperteknologi dan penuh disrupsi dewasa ini.
Tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” yang dicanangkan di perayaan HGN tahun ini dapat dimulai dengan penggalian nilai sosial ajaran Sunan Drajat di ruang-ruang pembelajaran.
*) Dosen di lingkungan LLDIKTI VII Jawa Timur, tinggal di Ponorogo.