GOPOS.ID, GORONTALO – Penyebaran paham radikalisme dan terorisme di tanah air tak bisa dipandang sebelah mata. Sejumlah orang yang diduga terkait jaringan terorisme yang diamankan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror pada tahun ini menunjukkan terorisme masih menghantui negeri ini.
Menyikapi situasi tersebut, Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda (GP) Ansor Provinsi Gorontalo menangkal penyebaran paham radikalisme dan aksi terorisme di bumi Serambi Madinah. Langkah tersebut dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) pencegahan radikalisme dan terorisme, Sabtu (30/10/2021). FGD dilaksanakan melibatkan Satgas Wilayah Densus 88 Antiteror Gorontalo, Polda Gorontalo, Korem 133/Nani Wartabone, BIN Daerah Gorontalo, Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Wilayah Gorontalo, Kesbangpol, serta dinas terkait.
Ketua PW GP Ansor Provinsi Gorontalo, Risan Pakaya, mengemukakan kegiatan ini merupakan bentuk peningkatan kewaspadaan terhadap pertumbuhan radikalisme-terorisme di seantero Indonesia. Sebab Pekerjaan dalam pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan ekstremisme yang berujung pada terorisme menjadi kewajiban bersama. Tidak hanya tugas kepolisian atau militer..
“Pancasila sebagai dasar negara harus menjadi inspirasi kita dalam berkehidupan dan bernegara. Sebab itulah, moderasi beragama sebagai salah satu penangkal keterlibatan seseorang dalam jaringan radikalisme-terorisme menjadi topik diskusi. Di akhir diskusi kita akan membahas perkembangan dan strategi pencegahan dan penanggulangan radikalisme-terorisme,” tutur Risan.
Risan mengajak kepada peserta FGD terus melakukan yang terbaik untuk negeri ini dalam mengawal Pancasila, demokrasi, toleransi, kerukunan umat antar beragama dan saling dewasa dalam melihat perbedaan.
“Perbedaan adalah keniscayaan. Tapi jangan sampai melahirkan perpecahan. Hal-hal khilafiyah/perbedaan tidak perlu lagi digembor-gemborkan. Seperti ingin mengganti sistem demokrasi dengan Khilafah Islamiyah yang multi-tafsir di kalangan ulama-ulama dunia. Kita sudah selesai dengan Pancasila,” urainya.
Di sisi lain, perkembangan teknologi tidak menutup kemungkinan munculnya narasi-narasi anti Pancasila, anti demokrasi, anti maulid nabi, anti kearifan lokal dan lain sebagainya.
“Kita perlu menyadari bahwa media sosial ada positif dan negatifnya. Salah satu negatifnya dijadikan tempat penyebaran paham-paham yang tidak sesuai dengan karakter keindonesiaan. Kita wajib melakukan kerja kontra narasi/ideologi setiap harinya sesuai kemampuan yang dimiliki masing-masing,” tutupnya. (hasan/gopos)