GOPOS.ID, MARISA – Sebanyak 42 hektar lahan yang diklaim milik warga di kawasan terdampak pembangunan Bandara Pohuwato belum dibayarkan.
Pembatalan proses pembayaran ganti rugi pembebasan lahan kepada 23 pemilik lahan itu karena sudah masuk klaim pemerintah untuk kawasan proyek pembangunan bandara Pohuwato.
Wakil Ketua I DPRD Pohuwato Idris Kadji pun memberikan peringatan ke pemerintah daerah tentang persoalan pembayaran ganti rugi lahan milik masyarakat setempat. Menurutnya, kalau tidak dibayarkan maka akan menghambat pembangunan bandara itu sendiri.
“Saya merasa kecewa ketika lahan masyarakat yang masuk di kawasan pembangunan bandara tidak terbayarkan, padahal ada beberapa lahan masyarakat lain yang masuk di kawasan itu terbayar ganti rugi,” ujar Idris saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di ruang rapat DPRD Pohuwato, Selasa (15/8/2023).
Menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu, 23 pemilik lahan memiliki surat SPPHT namun dibatalkan oleh Kepala Desa yang menjabat sebelumnya karena, menurutnya, sudah mendapat tekanan pemerintah.
“Kepala desa sebelumnya sudah diundang, saya tanya kenapa berani membatalkan surat SPPHT ini, namun jawabannya karena di tekan oleh pemerintah,” ungkap Idris.
Padahal sebelumnya telah dijanjikan oleh pemerintah dari Tahun 2018, bahwa lahan masyarakat yang masuk di kawasan akan dibayar ganti rugi.
“Kasihan masyarakat padahal lahan itu sudah dibuka dan dimanfaatkan masyarakat sejak tahun 2006, kenapa dari tahun-tahun sebelumnya tidak ditegur kalau lahan mereka masuk dalam kawasan. Apalagi di lahan itu sudah ada tanaman tahunan yang sudah di panen, pemerintah membabat tanaman dengan alasan itu masuk kawasan Bandara,” tutur Idris.
Jika persoalan pembayaran ganti rugi belum diselesaikan oleh pemerintah, kata Idris, maka jangan harap bandara tersebut bisa jadi dibangun dengan aman dan lancar.
“Kalau pemerintah belum membayar ganti rugi lahan milik masyarakat tolong dipagari saja, saya yang perintahkan walaupun jabatan saya sebagai Wakil Ketua DPRD,” tutup Idris.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Pohuwato Hikman Katohidar menjelaskan, sebenarnya pembayaran pemilik lahan yang dibatalkan itu sebanyak 29 orang, tetapi yang melapor hanya 23 orang.
“Kami membatalkan pembayaran ganti rugi kepada 29 orang pemilik lahan, karena masuk dalam kawasan apapun itu kita tidak bisa bayar, saya takut masuk penjara. Jadi kalau mau diselesaikan berarti harus ada pernyataan 29 orang lokasi itu bukan kawasan, perubahan status itu butuh waktu lama, apalagi ke 29 orang harus dinilai oleh appraisal,” ungkap Hikman.
Menurut Hikman, perubahan status dari zona hijau ke zona putih sangat sulit. Artinya, lanjutnya, menjadikan kawasan pembangunan Bandara butuh proses begitu lama dan saat ini kawasan pembangunan bandara sudah di zona putih.
“Kepala desanya yang membatalkan SKPT di tahun 2021, pembatalan dalam surat itu karena sudah masuk kawasan. Seharusnya yang memberikan penjelasan ini adalah PPKH atau KPH kenapa dia dikatakan kawasan, padahal surat sudah dikeluarkan oleh kepala desa,” tutup Hikman. (Yusuf/Gopos)