Oleh: Dr. Sahmin Madina, MSi
Dalam situasi saat ini kita patut bertanya dimana posisi Ekoteologi dan agama dalam upaya menyelamatkan bumi kita huni bersama. Ini bentuk pemikiran yang memadukan iman dan kepedulian Ekoteologi dalam satu tarikan nafas hal ini mengangkat kembali pesan-pesan dasar wahyu, bumi, air pohon dan tanggung jawab manusia terhadapnya.
“Agama tidak cukup hanya bicara soal surga, tapi juga tanah yang kita injak setiap hari“
Ekoteologi bukan hal baru dalam literatur islam, namun jarang menjadi pondasi utama sistem akademik. Ini harus menjadi kekuatan utama di kampus-kampus islam.
Penulis memandang bahwa kampus ke Islam yang lahir dari semangat edukasi yang seharusnya menjadi pelopor penyelamatan bumi bukan sekadar pelaksana rutinitas akademik.
Ayat Alqur’an
“Dan jangan kamu berbuat kerusakan dibumj setelah ( diciptakan) dengan baik berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap.
Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan” (QS AL-A’raf:56).
Dari Ayat ini membangun gagasan besar untum menjadikan kampus sebagai pusat pendidikan iman sekaligus tanggung jawab Ekoteologi, indonesia dengan segala kekayaan Ekoteologi tak luput dari ancaman degradasi lingkungan yang mengancam kehidupan kini dan nanti. Namun krisis ekologis bukan semata urusan teknis atau kebijakan ini adalah krisis nilai, spritual dan peradaban, kita terlalu lama memandang bumi dengan lensa Ekoteologi, menjaga agama, lingkungan & iman serta menjaga lingkungan secara general. Agama-agama besar dunia sejatinya telah lama meletakkan dasar etika lingkungan. Dalam Islam, manusia diberi mandat sebagai “khalifah fi al-ardh” atau wakil Tuhan di bumi, yang berarti bertanggung jawab menjaga dan merawat ciptaan, bukan malah merusaknya.
Larangan menciptakan kerusakan di bumi (fasad fi al-ardh) dalam al-Qur’an sejatinya bukan sekadar larangan kriminalitas sosial tapi mencakup perusakan ekosistem dan ketidakseimbangan alam.
Islam juga mengajarkan prinsip “mizan” atau keseimbangan yang menegaskan bahwa alam semesta diciptakan dalam takaran yang presisi dan seimbang.
Kristen mengenalkan konsep “stewardship of creation”, yaitu manusia sebagai pengelola alam, bukan pemilik mutlak.
Demikian pula Hindu dan Budha mengajarkan “ahimsa” atau anti-kekerasan, termasuk terhadap makhluk hidup dan juga alam semesta.
Semua agama. Dengan demikian, pada hakikatnya mengajarkan harmoni antara manusia dan alam. Di dalamnya tertanam etika ekologis transendental, yakni kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Tuhan.
Dalam kerangka ini, gagasan “ecological civilization” dari filsuf China kontemporer, Tu Weiming (2001), menjadi relevan.
Ia menegaskan pentingnya spiritualitas dalam menghadapi krisis ekologi modern.
Bagi keberlanjutan lingkungan hanya mungkin dicapai jika manusia kembali kepada akar nilai-nilai moral yang tertanam dalam tradisi budaya, Ekoteologi dan peran agama.
Di sisi lain, Ekoteologi / lingkungan hidup di Indonesia, juga di banyak negara lainnya, berbasis pendekatan teknokratis dan ekonomi-sentris.
Peran agama mendorong carbon trading, green energh atau sustainable untuk terciptakan lingkungan yang sehat dan ramah untuk umat. Inilah pendekatan yang menyentuh akar permasalahan, yakni gaya hidup konsumtif, keserakahan, dan ketimpangan relasi antara manusia dengan alam.
Sosiolog lingkungan, John Barry, dalam Rethinking Green Politics (1999), mengingatkan bahwa kebijakan lingkungan yang hanya berfokus pada efisiensi teknologi tanpa menata ulang nilai-nilai kehidupan hanya akan menunda kehancuran ekologis.
Oleh karena itu, kampus tak cukup hanya melahirkan teori dan pikira banding namu Dibutuhkan narasi nilai yang menumbuhkan etos baru, yakni ekotologi dan peraqn agama menjadi standar kehidupan sosial yang berkelanjutan sebagai mahkuk sosial, sebagai penjaga nilai dan lingkungan, Gagasan mengenai integrasi antara ekotologi dan peran agama bukanlah agenda yang bersifat konservatif, tapi ini adalah langkah progresif untuk menyatukan etika dan struktur kehidupan sosial, Di satu sisi, agama mampu membentuk kesadaran kolektif dan perubahan perilaku jangka panjang.
Sedangkan pada sisi lain, ekotologi memiliki instrumen jaminan kelangsungan hidup manusia dan alam literasi ekoteologi perlu diperkuat, agar umat memahami bahwa peduli sebuah kesadaran bahwa bumi ini bukan milik kita semata, tapi titipan generasi mendatang yang harus kita jaga bersama. (*)