GOPOS.ID – Mekanisme mosi tidak percaya, tidak di atur dalam perundang-undangan, sehingga itu dinilai tidak sesuai dengan tata tertib maupun aturan lain yang ada di DPD dan MPR. Apalagi bentuk usulan atau yang diistilahkan ‘pengambilalihan mandat’ oleh sejumlah anggota DPD disebut inkonstitusional.
Hal itu dikatakan Anggota DPD RI Fadel Muhammad yang menyatakan bahwa pencopotan dirinya sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD RI yang diputuskan dalam Rapat Paripurna DPD RI pada Kamis, 18 Agustus 2022 tidak sesuai aturan.
 “Tidak sesuai aturan sehingga saya akan menempuh jalur hukum,” kata Fadel di Jakarta Sabtu, 20 Agustus 2022.
Dia menjelaskan kedudukan dirinya sebagai Wakil Ketua MPR Periode 2019-2024 sah menurut hukum dan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu Advokat Senior dan Penasehat Hukum Dahlan Pido, SH., MH mengatakan, Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti dikatakannya selama ini banyak menggunakan institusi DPD-RI untuk memperjuangkan kepentingan politiknya sendiri.
“Misalnya mendesak ditarik dari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Prof. Dr. Fadel Muhammad untuk periode 2019-2024 dari unsur DPD RI. Padahal Fadel Muhammad di pilih secara sah dalam rapat pleno DPD RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Rabu tanggal 2 Oktober 2019 malam,” ujar Dahlan mengutip dari laman harianterbit.com.
Lanjut dia, keputusan itu mutlak yang dihasilkan dari pemungutan suara (voting) , dan menetapkan Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD-RI, yang direkomendasikan serta mendapat dukungan penuh dari wilayah Timur Indonesia. Dalam perebutan kursi pimpinan MPR RI ini, Fadel bersaing dengan tiga senator lainnya, mereka adalah Yorrys Raweyai, Dedi Iskandar dan GKR Hemas.
“Berdasarkan hasil pemungutan suara, Fadel meraih suara terbanyak, yaitu 59 suara, Yorrys 16 suara, Deddi 5 suara dan GKR Hemas 46 suara, total suara sebanyak 126 dari 136 anggota. Untuk diketahui dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau MD3, Juncto Tatib MPR-RI No. 1 Tahun 2019, yang mengatur Susunan, Kedudukan dan Keanggotaan serta Tata Cara MPR dalam melaksanakan wewenang, tugas, hak dan kewajiban MPR-RI, seperti pada Pasal 29 ayat 2 jelas dan terang disebutkan, bahwa untuk Pimpinan MPR-RI yang diberhentikan, harus memenuhi unsur seperti pada huruf a, menyebutkan diberhentikan sebagai anggota DPR-RI dan DPD-RI, dan di huruf b menyebutkan, tidak dapat melakukan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan,” ulasnya.
Terlihat, kata dia dari Pasal 29 ayat (2) huruf a dan b di atas, kata Dahlan, alasan Ketua DPD-RI untuk meminta menarik Wakil Ketua MPR-RI (Prof. Dr. Fadel Muhammad) sangat premature, Cacat Hukum dan In-Konstitusional.
Menurut Dahlan, contoh akrobat lain dari Ketua DPD-RI / La Nyalla Mahmud Mattalitti adalah, seperti menggunakan institusi DPD-RI dan anggaran APBN menggugat President Threshold (PT) 20 % ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dihapus menjadi 0 persen, ini juga terlihat salah satu kepentingan pribadi agar bisa menjadi Calon Presiden (Capres) di tahun 2024.
“Kalau keluar gedung ini tidak bisa membawa-bawa nama DPD-RI, La Nyalla harus membuat partai politik jika ingin menjadi calon Presiden bukan menggunakan DPD-RI untuk kepentingan politik pribadinya,” pungkasnya. (rls/adm-02/Gopos)