Dahlan Pido, SH., MH.
(Advokat Senior & Penasehat Hukum)
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI / La Nyalla Mahmud Mattalitti selama ini banyak menggunakan institusi DPD-RI untuk memperjuangkan kepentingan politiknya sendiri, misalnya mendesak ditarik dari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR-RI (Prof. Dr. Fadel Muhammad) untuk periode 2019-2024 dari unsur DPD RI dalam rapat pleno DPD RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu, tanggal 2 Oktober 2019 malam.
Keputusan itu mutlak yang dihasilkan dari pemungutan suara (voting) , dan menetapkan Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD-RI, yang direkomendasikan serta mendapat dukungan penuh dari wilayah Timur Indonesia. Dalam perebutan kursi pimpinan MPR RI ini, Fadel bersaing dengan 3 (tiga) senator lainnya, mereka adalah Yorrys Raweyai, Dedi Iskandar dan GKR Hemas. Berdasarkan hasil pemungutan suara, Fadel meraih suara terbanyak, yaitu 59 suara, Yorrys 16 suara, Deddi 5 suara dan GKR Hemas 46 suara, total suara sebanyak 126 dari 136 anggota.
Padahal dalam Undang-undang (UU) No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawartan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau MD3 Jo Tatib MPR-RI No. 1 Tahun 2019, yang mengatur Susunan, Kedudukan dan Keanggotaan serta Tata Cara MPR dalam melaksanakan wewenang, tugas, hak dan kewajiban MPR-RI. Pada Pasal 29 ayat (2) jelas dan terang disebutkan, bahwa untuk Pimpinan MPR-RI yang diberhentikan, harus memenuhi unsur seperti pada huruf (a), menyebutkan diberhentikan sebagai anggota DPR-RI, dan di huruf (b) menyebutkan, tidak dapat melakukan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan. Terlihat dari Pasal 29 ayat (2) huruf a dan b di atas, alasan Ketua DPD-RI untuk meminta menarik Wakil Ketua MPR-RI (Prof. Dr. Fadel Muhammad) sangat premature, Cacat Hukum dan In-Konstitusional.
Contoh akrobat lain dari Ketua DPD-RI / La Nyalla Mahmud Mattalitti adalah, menggunakan institusi DPD dan anggaran APBN menggugat President Threshold (PT) 20 % ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dihapus menjadi 0 persen, ini juga terlihat salah satu kepentingan pribadi agar bisa menjadi Calon Presiden (Capres) di tahun 2024. Kalau keluar gedung ini tidak bisa membawa-bawa nama DPD-RI, La Nyallah harus membuat partai politik jika ingin menjadi calon Presiden bukan menggunakan DPD-RI untuk kepentingan politik pribadi.
Sekian, salam penulis.