GOPOS.ID – Ketengkesan atau stunting merupakan masalah yang memerlukan penanganan serius karena menyangkut penyiapan sumber daya manusia (SDM) untuk masa depan bangsa ini.
Ketengkesan harus diatasi dengan baik agar generasi masa depan Indonesia bisa menjadi generasi yang unggul, berdaya saing, dan berkualitas.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan ketengkesan sebagai gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan gizi buruk, infeksi yang berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Akibatnya, anak rentan terkena penyakit di usia tua dan mengalami tumbuh kembang yang tidak optimal.
Tengkes merupakan permasalahan yang dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, salah satunya masalah ekonomi dan faktor pangan. Kemiskinan merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan tengkes pada balita.
Kemiskinan membuat ibu dan anak kesulitan mendapatkan makanan bergizi dengan harga terjangkau. Kemiskinan juga erat kaitannya dengan kesulitan mendapatkan akses sanitasi yang layak dan air bersih.
Tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 9,54 persen. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga 6-7 persen pada tahun 2024.
Sedangkan Laporan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 yang dirilis Kementerian Kesehatan menyebut bahwa angka tengkes balita Indonesia pada 2022 adalah 21,6 persen, menurun dari 24,4 persen pada 2021. Angka tengkes Nasional mengalami penurunan konstan dalam enam survei yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir.
Dalam hal ini, WHO mengamanahkan, bahwa maksimal angka tengkes adalah 20 persen. Sedangkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menargetkan percepatan prevelensi ketengkesan untuk mencapai target 14 persen pada 2024.
Ada dua pendekatan atau upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan ketengkesan, yakni spesifik dan sensitif. Pendekatan spesifik itu, misalnya memberikan makanan tambahan kepada anak-anak hingga mencegah anak-anak tersebut sakit dan sebagainya.
Sedangkan pendekatan sensitif itu berhubungan dengan faktor-faktor yang ada di lingkungan setempat, misalnya kemiskinan, sanitasi yang baik, kemudian masalah budaya di setempat dan sebagainya. Selain itu intervensi sensitif penunjang, yakni dalam peningkatan ketahanan pangan dan gizi juga dilakukan melalui Program Ketahanan Pangan dan Gizi.
Upaya penanganan ketengkesan tidak hanya membutuhkan komitmen dari pemerintah pusat secara eksklusif, tetapi juga komitmen pemerintah daerah. Seperti halnya penanganan tengkes yang dinilai berhasil dilakukan di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Berdasarkan data SSGI 2022, prevalensi ketengkesan di Surabaya tercatat di level 4,8 persen, terendah di Indonesia. Secara Nasional, rata-rata tengkes masih berada di level 21 persen. Adapun bila berdasarkan bulan penimbangan serentak, prevalensi tengkes di Surabaya pada 2022 hanya tinggal 1,22 persen.
Angka ketengkesan di Surabaya berhasil diturunkan secara signifikan hanya dalam kurun waktu 2 tahun. Pada tahun 2020, tercatat ada 12.788 balita di Kota Pahlawan itu berstatus tengkes. Pada 2021 menurun secara signifikan hingga 28,9 persen (6.722 balita), pada 2022 menurun 4,8 persen (923 balita) dan turun menjadi 712 balita hingga akhir Mei 2023.
Setelah menjadi yang terendah se-Nasional pada 2022, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menargetkan pada tahun 2023 ini, Surabaya bisa “zero stunting”.
Keberhasilan Surabaya tersebut menuai pujian dari Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI Dante S Harbuwono dalam sebuah acara Forum Merdeka Barat (FMB) bertajuk “Langkah Penting Turunkan Stunting” yang digelar secara daring di Jakarta, Senin (26/6/2023).
Diketahui ada sejumlah strategi penanganan ketengkesan di Kota Pahlawan. Strategi itu, salah satunya dengan memetakan berapa banyak data jumlah bayi yang lahir setiap harinya. Dari data tersebut, kemudian dipisahkan per wilayah berapa bayi yang lahir normal dan tengkes.
Data balita tengkes di Surabaya ini juga dapat diketahui per wilayah sampai di tingkat RT/RW, termasuk berapa banyak data warga miskin dan pengangguran di wilayah tersebut. Setelah data diketahui, kemudian dipisahkan dan dibuat penanggungjawabnya.
Pola gotong-royong digunakan dalam penanganan masalah itu, dengan melibatkan Kader Surabaya Hebat (KSH). Saat ini ada 45.000 KSH yang turun untuk melakukan pendampingan. Melalui aplikasi “Sayang Warga”, para KSH dibantu RT/RW, dan warga bisa mendata dan melaporkan kondisi balita di sekitarnya.
Pemantauan terhadap perkembangan balita tengkes juga dilakukan secara intensif, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Artinya sejak dalam kandungan, kesehatan janin sudah diperhatikan.
Pemkot Surabaya memberikan bantuan makanan tambahan kepada para ibu hamil berisiko tinggi dan balita tengkes. Selain itu juga memberikan bantuan makanan tambahan rutin ke puluhan ribu pelajar PAUD untuk menjaga tumbuh kembangnya.
Surabaya juga berinovasi dalam hal pemenuhan gizi tengkes dengan memasifkan penanaman tanaman pangan alternatif. Ada 1.169 hektare lahan aset Pemkot Surabaya yang ditanami ketela pohon, ketela rambat, jagung, hingga sorgum. Juga ada lahan yang dijadikan tempat budi daya ikan, dan yang mengelola lahan tersebut adalah warga setempat.
Pencegahan dan penanganan ketengkesan di Surabaya bukan hanya dilakukan saat balita tersebut lahir, melainkan pencegahan dimulai ketika anak perempuan sudah memasuki siklus menstruasi. Bahkan di Surabaya sudah ada aplikasi yang dapat mengontrol waktu kapan seorang siswi atau anak perempuan diberikan zat besi di sekolah-sekolah.
Hal itu penting untuk mengetahui adanya risiko kekurangan energi kronis atau kekurangan gizi, sehingga ada antisipasi. Di situlah Pemkot Surabaya melalui puskesmas melakukan intervensi, bisa berupa tambahan gizi dan sebagainya.
Pemkot Surabaya juga mewajibkan setiap calon pengantin (catin) mengikuti program kelas catin. Dalam program ini, catin akan diberikan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan tentang kehidupan rumah tangga.
Pemahaman yang diberikan meliputi segala aspek, terutama dari segi kesehatan, baik saat hamil, melahirkan, hingga mengurus anak.
Tidak hanya itu, pemkot juga mendirikan Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH) sebagai upaya pencegahan ketengkesan yang di 153 kelurahan di Kota Surabaya. SOTH berfungsi membangun komitmen dalam berkomunikasi antara orang tua dengan anak, yakni memberikan program intensif kepada orang tua balita yang sebagian besar adalah generasi milenial.
SOTH juga telah dilengkapi dengan kurikulum pendidikan, silabus, pemetaan instruktur, rencana kegiatan pembelajaran, perangkat monitoring, jurnal, absensi peserta, absensi pengelola, buku tamu, hingga mars SOTH.
Untuk penanganan ketengkesan di Kota Surabaya tidak semuanya menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), tetapi penanganan dilakukan secara pentahelix, dengan cara gotong-royong melibatkan semua pemangku kepentingan, hingga perguruan tinggi.
Bahkan di Surabaya ada orang tua asuh bagi balita tengkes. Untuk kategori orang tua asuh yang ada di Surabaya terbagi menjadi tiga kelompok, yakni orang tua asuh terhadap balita tengkes, pendidikan sekolah atau pemberi beasiswa, dan bantuan makanan untuk warga miskin, khususnya lansia.
Keterlibatan masyarakat ini yang menjadi kunci keberhasilan penanganan ketengkesan di Surabaya. Apa yang telah dilakukan Surabaya diharapkan menjadi semangat dan contoh bagi daerah lain untuk segera mengentaskan persoalan ketengkesan menuju Indonesia bebas kekerdilan.(Antara)