Dalam perwujudannya, karakter bela negara bertransformasi menjadi upaya bela negara yang, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.
Secara hakiki, dengan demikian bela negara merupakan manifestasi dari kesadaran segenap bangsa dan warga negara Indonesia melalui jiwanya, kewajibannya, dan kehormatannya untuk menghadapi segala macam Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan (AGHT) yang ketika diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku, maka jiwa, kewajiban, dan kehormatan tersebut menjelma menjadi “Upaya Bela Negara” atau yang oleh Instruksi Presiden (lnpres) No. 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela Negara Tahun 2018-2019 (Inpres 7/2018) dipertegas sebagai “Aksi Nasional Bela Negara”.
Dengan begitu, upaya bela negara juga dapat dikatakan sebagai upaya mewujudkan kesadaran warga negara. Ketika kesadaran tersebut telah terwujud, maka akan terbentuk suatu aksi yang mensinergikan perwujudan kesadaran segenap elemen masyarakat dan bangsa untuk mewujudkan rasa syukur atas anugerah kemerdekaan dan persatuan bangsa dan negara, demi mewujudkan negara yang berdaulat adil dan Makmur
Salah satu relasi konstitusional antara warga negara dan negaranya ialah dalam wujud upaya bela negara. Secara imperatif, Pasal 27 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Relasi konstitusional ini didasari upaya bela negara bukan hanya merupakan hak, kewajiban, dan tanggung jawab dari seluruh komponen bangsa, melainkan juga bentuk penghormatan yang diberikan negara kepada warga negaranya. Atas dasar itulah, bela negara memiliki urgensi yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Spektrum dan tantangan bela negara telah mengalami perluasan mencakup berbagai aspek secara multidimensional. Ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan saat ini pun, tidak hanya bersifat militer atau hard power semata, melainkan telah berwujud hibrida dengan menggabungkan kedua aspek baik militer maupun nirmiliter.
Ancaman Ideologis
Setelah 18 tahun Orde reformasi sudah berjalan, faktanya pembaruan (reformasi) politik dan hukum bukannya menunjukkan tendensi positif dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Malahan sebaliknya muncul tendensi negatif yang menunjukkan terjadinya dekadensi moral (sosial budaya), ideologis, politik, dan hukum di kalangan masyarakat luas (tataran infrastruktur), khususnya generasi muda. Hal ini bisa diamati dengan semakin masifnya pelibatan generasi muda di berbagai kasus narkoba, korupsi, terorisme, kriminalitas, dan tindak pidana kekerasan lainnya.
Sementara di tataran suprastruktur pemerintah, terjadi praktik politik dan budaya demokrasi yang semakin memprihatinkan. Dalam bahasa Presiden Jokowi disebutkan bahwa “demokrasi kita sudah kebablasan dan praktek demokrasi kita membuka peluang artikulasi politik yang ekstrim menyimpang dan bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penyimpangan praktek itu terwujud antara lain dalam bentuk politisasi masalah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.
Menurut hemat penulis, perlunya kita memetakan secara ideologis kecenderungan pola pikir dan sikap masyarakat saat ini, dari ancaman yang semakin intensif terjadi. Misal, ancaman neo-liberalisme sebagai anti tesa bagi deideologisasi Pancasila di kalangan masyarakat. Pesatnya kemajuan Ilmu pengetahuan dan tenologi (modernisasi), selain dapat berdampak positif, dikuatirkan berimplikasi negatif bagi kalangan generasi muda. Indikasi maraknya dekadensi moral (kasus korupsi, penyalahgunaan narkoba, pornografi) sebagai akibat (side effect) dari kemajuan teknologi informatika di kalangan beberapa oknum pejabat dan penyelenggara negara saat ini, ternyata secara psikologis dapat berakibat fatal bagi alam pikir dan sikap generasi muda.
Tantangan ideologisnya adalah penafsiran sistemik terhadap praktek kepemerintahan dan kemasyarakatan dikuatirkan semakin melenceng dari jiwa/roh Pancasila. Bahkan yang paling menguatirkan adalah bilamana upaya sebagian kelompok masyarakat yang terus mewacanakan “amandemen UUD 1945” tidak lagi berpijak pada dasar negara Pancasila. Sebagai calon pemimpin generasi muda bangsa di masa depan, ASN muda dikuatirkan akan terjebak dalam pengaruh ideologi neo-liberalisme tersebut.
Aparatur Sipil Negara sebagai Agen Problem Solving Bela Negara
Segala bentuk pelayanan aparatur sipil negara sesuai kapasitasnya terhadap masyarakat merupakan bentuk bela negara. Seiring berjalannya waktu, eskalasi ancaman yang berdimensi ideologis di atas, yang pada kenyataannya semakin massif dan sistemik pengaruhnya terhadap kondisi masyarakat saat ini. Maka bisa diperhatikan, bahwa penyelenggara negara menempati posisi yang fundamental dalam sebuah negara dan organisasi.
Sikap kewaspadaan nasional penyelenggara negara dapat menentukan kelangsungan negara, lembaga, dan organisasi dari suatu potensi ancaman. Pun demikian pula dengan pemahamannya terhadap dinamika perubahan, kepemimpinan pejabat dan penyelenggara negara merupakan hal yang pertama memicu adanya perubahan dalam suatu organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan dan menuju kondisi di masa depan yang diinginkan.
Di tengah konstelasi demografis yang kurang kondusif, penyelenggara negara sebagai penjuru kehadiran negara di tengah rakyat perlu mengantisipasi bentuk-bentuk pelayanan yang tidak berdasarkan pada resep tunggal. Pengabdian kepada rakyat harus kreatif, mengena secara psikologis, personal, dan tentunya nyata. Demikian pula penyelenggara negara harus mampu menciptakan peluang bagi masyarakat yang dilayaninya untuk dapat berkontribusi dan berperan aktif dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik bagi mereka sendiri. Syaratnya, penyelenggara negara harus memahami susunan demografis wilayah kerja mereka yang beragam dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa semua suara, harapan, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat diakomodasi, terlepas dari usia, ras, jenis kelamin, suku, dan agama.
Perspektif ASN Terhadap Nilai-Nilai Bela Negara
Konsepsi Bela Negara yang dianut oleh Indonesia secara mendasar mengacu kepada konstitusi NKRI (UUD 1945). Dalam konstitusi ini disebutkan bahwa semangat dan upaya Bela Negara merupakan hal yang vital (hak dan kewajiban) bagi semua warga negara Indonesia (Pasal 27 ayat 3 UUD 1945). Konsepsi Bela Negara ini secara substansial mengandung 5 (lima) nilai dasar, yaitu Cinta Tanah Air, Sadar Berbangsa dan Bernegara, Yakin Pancasila sebagai Ideoologi Negara, Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara, dan Memiliki Kemampuan Awal Bela Negara.
Pertama, cinta tanah air bukan hanya berarti secara letterlijk dipahami untuk mencintai tanah dan air semata. Akan tetapi, secara gambaran besar, hal tersebut dimaknai sebagai kecintaan terhadap keutuhan wilayah, termasuk segala isinya. Mulai dari orang-orang hingga berbagai jenis kekayaan alam yang ada di dalam wilayah tersebut.
Mengingat, seseorang yang telah jatuh cinta, tentu tidak ingin apa yang dicintainya terganggu, apalagi sampai terancam musnah. Aparatur sipil negara dengan segenap wewenang yang telah diamanatkan akan memandu manusia Indonesia dari kondisi saat ini menuju kondisi masa depan yang diinginkan. Mengarungi berbagai ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan menuju Indonesia jaya.
Kedua, sadar berbangsa dan bernegara. Semua aspek yang dicintai di atas perlu wadah yaitu bangsa dan negara yang terwujud melalui kemerdekaan. Sehingga, kesadaran berbangsa bernegara adalah wujud dari kesadaran akan kemerdekaan. Indonesia merdeka dengan APBN Nol. Karena kala itu, bukan APBN yang menjadi tolok ukur, apalagi tujuan untuk merdeka. Saat itu, “Merdeka!!” adalah ulterior motive. “Merdeka!!” menjadi jawaban tunggal, panasea, bagi segenap rindu, dendam, susah, dan harap bangsa Indonesia. Kebangsaan Indonesia berangkat dari fakta-fakta sosio-kultural-politis-historis yang lebur dalam suatu kondisi yang membuat semua orangnya berada dalam nasib, kelas, dan harapan yang sama. Tak peduli ia menak, jelata, cendekia, atau jahiliah semua toh adalah jajahan, siapa pun itu, dari ciri biologis dan kultural apa pun. Semua itu akhirnya terpecahkan dengan satu jawaban: “MERDEKA!!”
Ketiga, yakin setia pada Pancasila. Kemerdekaan tidak akan dapat dicapai tanpa persatuan. Persatuanlah yang melanggengkan kemerdekaan sepanjang masa. Persatuan tercermin dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. itu pulalah yang merupakan warisan dari para founding fathers negara ini.
Keempat, rela berkorban. Menerapkan semua nilai dasar tersebut tidak bisa secara professional mereit system. Banyak hal yg tidak akan mendapat rate of return dalam waktu dekat apalagi dalam bentuk material. Namun yang pasti, kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara akan bermanfaat bagi rakyat banyak, hingga anak cucuk, dalam jangka Panjang. Karena Indonesia memang tidak dirancang untuk balik modal dalam hitungan tahun, tetapi untuk eksis setidaknya seribu windu lamanya.
Kelima, memiliki kemampuan awal bela negara. Keempat nilai sebelumnya merupakan bentuk sikap bela negara. Untuk mengaplikasikan sikap bela negara, kita harus memiliki kemampuan awal bela negara. Merujuk kepada amanat Bela Negara dalam UUD NRI 1945 Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk di dalam Pasal 27 Ayat (3), serta Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara, sifat aplikatif ini merujuk kepada daya implementasi aksi bela negara. Tujuannya agar dapat memenuhi amanat Pasal 68 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana segenap warga negara dengan beragam kelebihan dan kekurangannya tetap dapat ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelibatan segenap warga negara, dari berbagai profesi, serta dengan beragam kelebihan dan kekurangannya menjadi poin penting dalam nilai dasar bela negara yang terakhir ini. Mengingat dalam proses pembangunan nasional, Indonesia akan selalu dihadapkan pada berbagai AGHT, baik yang datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dalam seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada dasarnya, upaya pembelaan negara adalah menciptakan Ketahanan Nasional yang kokoh, kuat, dan handal mencakup segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional demi terwujudnya cita-cita bangsa. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran, sikap, dan tekad segenap warga negara untuk mengkontribusikan kemampuan terbaiknya masing-masing secara selaras, mantap, sistematis, terstruktur, terstandarisasi dan massif.*
Penulis: Mohamad Said Al-hamid – Peserta Pelatihan Dasar CPNS Mahkamah Agung RI 2024 Kerjasama Pusdiklat Menpim Mahkamah Agung RI dan Balai Diklat Keagamaan Makassar