Dr. Funco Tanipu, ST., M.A
GOPOS.ID, GORONTALO – Setiap pahlawan selalu memiliki jejak sejarah soal keberanian dan keluhuran. Disebut pahlawan karena kecintaannya pada bangsa dan negara. Jika bukan karena cinta, tentu dia tidak akan menumpahkan darah dan air mata untuk bangsa dan negara.
Di hari-hari belakangan ini, sangat sulit kita menemukan jejak kepahlawanan di masa lalu. Kita hanya bisa menemukan itu pada nama jalan, lembaran dan kepingan uang, monumen, tugu, nama bangunan, dan gambar-gambar di ruang kelas sekolah. Selain itu, jejak kepahlawanan hanya kita bisa ikuti jika memasuki tanggal 10 November setiap tahun. Setelah itu menguap, hilang, dan tak berbekas.
Pahlawan Imajinatif
Di antara anak-anak dan juga kaum muda kita, banyak yang mulai mengidap amnesia kepahlawanan. Banyak di antara mereka yang mulai sulit mengenal, menyukai apalagi menghayati semangat kepahlawanan yang lalu. Mereka berada dalam memori kekinian yang dipenuhi idola baru dengan bungkus yang lebih aduhai. Bagi mereka, tokoh-tokoh pahlawan produksi Marvel seperti Iron Man, Kapten Amerika, Thor, Spider-Man, X-Men, Hulk, Fantastic Four, dan banyak tokoh komik lainnya. Bahkan, beberapa tokoh imajinatif Marvel itu dikelompokkan sebagai Super Hero Avengers. Nama-nama terbaru yakni ; Black Panther sebagai Raja Wakanda, Vision, Nebula dan banyak tokoh lainnya dalam Infinity Wars. Barisan “pahlawan super” ini berhadap-hadapan dengan Thanos, tokoh yang dikenal sebagai penghancur peradaban bumi.
Anak-anak muda yang tidak terwariskan oleh sejarah kepahlawanan yang benar-benar dari bangsa kita sendiri, malahan dijejali oleh semangat kepahlawanan imajinatif. Mereka lebih bangga menceritakan kisah kepahlawanan versi Marvel dan DC Comics. Selain dari tokoh Marvel diatas, DC Comics juga melahirkan tokoh superhero seperti Superman, Batman, Wonder Woman, Flash, Green Lantern dan the Justice League of America dan lainnya.
Wabah kepahlawanan imajinatif ini adalah bagian dari ketidakstabilan kebudayaan dan identitas Indonesia dalam pusaran globalisasi. Mewabahnya geliat kepahlawanan imajinatif ini bisa disebut sebagai hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh hibridasi.
Pada subkultur anak muda, hibriditas ini sangat tampak pada minat konsumsi pada pahlawan super yang dikreasi secara imajinatif seperti oleh DC Comics dan Marvel. Pada titik ini, gaya menjadi aparatus identitas anak muda yang terpenting, dan karena itu menjadi arena hibridasi yang utama. Perbedaan yang riil dan imajinatif bukan lagi sesuatu yang hakiki, namun yang utama adalah soal gaya, tren dan identitas kekinian.
Pahlawan “Salon Politik”
Bagi yang berusia diatas 30 an, memori kepahlawanan pun mulai terkelupas. Memori mereka dijejali oleh gerombolan manusia baru yang tidak memiliki jejak kepahlawanan, dan bahkan lebih banyak jejak kebejatan, namun kini menjadi idola baru dan bahkan diagung-agungkan. Modal rupiah untuk membeli “space” di media dan membiayai “salon” politik telah berhasil membuat banyak warga kita ikut mengidap amnesia kepahlawanan yang hakiki. Banyak diantara warga kita yang lebih menyenangi kisah turun ke got dan marah-marah di hadapan kamera dibanding mengingat serta menghayati memori pahlawan masa lalu yang tewas digantung, ditebas, diasingkan, dan dipenjara. Media berhasil mengupas dan menggantikan pahlawan yang berdarah-darah itu dengan alumnus salon “media” dan “politik”.
Bangsa ini bisa jadi akan kehilangan arah jika amnesia kepahlawanan ini menjadi kolektif. Pengorbanan dan kecintaan pada bangsa dan negara akan kehilangan ruh. Jika ini berlangsung lama dan menjadi kolektif, maka bisa dipastikan bangsa ini di masa depan akan tekuk lutut pada sejarah-sejarah yang instan, dan berlogika pendek (ekonomi-politik).
Pahlawan ; Bukan “Aku”, Tapi “Kita”
Saat ini, lebih banyak yang mengagumi pahlawan hasil kreasi “salon politik” dibanding pahlawan yang sebenarnya. Sebab, pahlawan hasil kreasi “salon” adalah “pahlawan” yang minta dihargai jika bekerja, dan itu harus merujuk pada dirinya. Padahal, tindakan kepahlawanan adalah berkerja untuk sesama tanpa minta dihargai. Di dalam tindak kepahlawanan tak ada aku. Yang ada kita.
Mereka yang ditakdirkan menjadi Pahlawan adalah yang telah melakukan pengorbanan atas nama cinta, baik itu ke tanah air dan Tuhannya. Tidak ada lagi “aku” dalam diri mereka. Mereka telah membuktikan pengorbanan itu baik dengan air mata, harta dan darah. Kita hanyalah penikmat hasil pengorbanan mereka. Semoga kita dapat diberikan kesempatan untuk bersyukur atas pengorbanan mereka, dan hingga akhirnya kita pula dapat berkorban seperti mereka.
Al Fatihah untuk seluruh Pahlawan yang tercatat dan tidak tercatat.