GOPOS.ID, GORONTALO – Masalah pekerja anak di Gorontalo butuh perhatian serius. Meski secara statistik jumlah pekerja usia 10-17 tahun di Provinsi Gorontalo pada tahun ini menurun, presentasi yang berada di angka 4,28 persen terbilang cukup tinggi.
Masalah pekerja anak sedianya sudah sering kali disuarakan oleh Anggota Legislatif (Aleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Gorontalo, Supangkat Ramadan Nusi. Bahkan legislator Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meminta pemerintah bersikap tegas. Namun hingga saat ini belum terlihat langkah serius Pemerintah dalam menyelesaikan masalah pekerja anak.
“Angka pekerja anak di Gorontalo tahun 2019 terbilang tinggi pada persentase 4,57 persen. Tahun 2020 itu mengalami peningkatan signifikan 5,46 persen, dan tahun 2021 mengalami penurunan 4,28 persen,” ujar Supangkat Ramadan kepada gopos.id, Rabu (29/6/2022).
“Saya sudah sering menyoroti pekerja anak. Ini sudah termasuk eksploitasi anak. Saya menaruh curiga mereka terkoordinir. Ini saya kritisi dan itu berulang-ulang, tapi tidak pernah ada tindakan dari pemerintah,” imbuh politisi muda yang duduk di DPRD Kota Gorontalo itu.
Supangkat Ramadan mengatakan, anak-anak harus diberi kebebasan, bukan dipekerjakan. Ia melihat anak di bawah umur kerap kali menjajakan dagangan di wilayah Kota Gorontalo sampai larut malam. Anak-anak tersebut bukan hanya dari Kota Gorontalo saja, sebagian besar dari daerah tetangga seperti Kabupaten Gorontalo. Mempekerjakan anak jelas melanggar Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Informasi yang saya peroleh anak-anak ini ditargetkan untuk menjual 100 bungkus kripik setiap hari. Saya melihat ini sudah masuk eksploitasi anak, dan itu ada pidananya. Saya berharap pemerintah dan aparat penegak hukum tolong seriusi persoalan ini. Kasihan masa depan anak-anak itu,” ujar Supangkat Ramadan.(Sari/gopos)