GOPOS.ID, GORONTALO – Kasus sidang Bantuan Sosial (Bansos) Bone Bolango tahun 2011 dan 2012 yang melibatkan Mantan Bupati Hamim Pou terus bergulir di Pengadilan Tipikor Gorontalo, Jumat (4/7/2025).
Kali ini terdakwa Hamim Pou menghadirkan dua ahli, masing-masing Ahli Keuangan Negara, Erwinta Marius dan Ahli Kebijakan Publik, Sastro M Wantu.
Menurut, Erwinta Marius, tidak ada unsur kerugian negara jika bantuan sosial telah sampai kepada penerima secara utuh, tanpa potongan dan telah dimanfaatkan sesuai peruntukannya.
“Sepanjang bantuan sampai ke penerima, maka tidak ada korupsi,” tegas Erwinta yang merupakan Mantan pengawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Erwinta menjelaskan, seluruh proses bantuan yang tertuang dalam Perda tentang APBD adalah sah secara hukum.
“Pedoman utama dalam penganggaran adalah Perda APBD, bukan Surat Keputusan (SK) Bupati atau Permendagri. SK Bupati hanya mengatur teknis bantuan untuk kegiatan keagamaan, kemahasiswaan, kepemudaan dan adat istiadat. Sementara bantuan masjid yang dipersoalkan jaksa diproses melalui Perda APBD,” lanjutnya.
Terkait dakwaan jaksa soal pelanggaran Permendagri, Erwinta menjelaskan, peraturan tersebut baru mulai dipedomani secara luas mulai tahun 2013. Sementara APBD tahun 2011 dan 2012, yang menjadi objek perkara, belum menjadikan Permendagri sebagai acuan utama.
“Selama anggarannya tersedia di APBD dan telah dimanfaatkan sesuai tujuan, maka itu sah,” lanjut Erwinta.
Dalam sidang terungkap, hasil penghitungan kerugian negara yang dijadikan dasar dakwaan oleh jaksa tidak ditandatangani oleh Kepala Perwakilan BPKP, dianggap tidak salah secara administratif.
“Kepala kantor adalah penanggung jawab tertinggi. Kalau tidak ditandatangani oleh yang bersangkutan, maka tidak sah,” jelasnya.
Kesaksian Erwinta Marius memperkuat posisi pembelaan Hamim Pou bahwa kebijakan bansos pada tahun 2011–2012 tidak merugikan keuangan negara dan telah dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Sementara, Ahli kebijakan publik Sastro Wantu dari Universitas Negeri Gorontalo menegaskan, kebijakan publik tidak dapat dipidanakan.
“Kebijakan publik tidak bisa dipidana,” tegas Sastro dalam keterangannya sebagai saksi ahli yang dihadirkan tim pengacara terdakwa.
Menurutnya, seorang kepala daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, termasuk pemberian bantuan sosial, sepanjang tidak memiliki niat jahat atau motif memperkaya diri sendiri dan pihak lain.
“Selama tidak ada niat memperkaya diri sendiri atau merugikan keuangan negara, kebijakan seperti beasiswa dan bantuan masjid justru dianjurkan. Itu bentuk keberpihakan kepada rakyat,” ucapnya.
Sastro menjelaskan, tindakan kriminalisasi atas bantuan sosial seperti pembangunan masjid dapat menimbulkan sensitivitas di tengah masyarakat Gorontalo yang mayoritas beragama Islam dan memegang kuat nilai-nilai adat.
“Bantuan masjid adalah sesuatu yang baik dan diterima masyarakat. Jika ini dipersoalkan secara hukum, bisa menimbulkan gejolak sosial. Kita harus hati-hati,” ingat Sastro.
Sastro juga memberi peringatan sistemik: bila niat baik pejabat publik terus diseret ke meja hijau, akan lahir ketakutan dalam birokrasi untuk membuat kebijakan yang progresif dan berpihak pada rakyat.
Pernyataan tegas Sastro Wantu ini dinilai sebagai salah satu elemen paling menentukan dalam membela Hamim Pou dari dakwaan jaksa.
Dalam perkara ini, jaksa menuduh Hamim menyalahgunakan bansos pada tahun 2011–2012. Namun fakta persidangan menunjukkan seluruh bantuan diterima utuh oleh mahasiswa dan takmirul masjid, tanpa ada keuntungan pribadi atau kerugian negara yang nyata. Bahkan, laporan BPK menyatakan tidak ditemukan kerugian negara.
Sidang ini dihadiri banyak pengunjung dari masyarakat, aktivis dan tokoh agama. Di luar ruang sidang, simpati terhadap Hamim Pou terus menguat, terutama karena pembelaan yang jernih dan menyentuh, serta reputasi panjangnya dalam membangun Bone Bolango selama dua periode kepemimpinan.
Putusan atas perkara ini dijadwalkan akan dibacakan dalam beberapa pekan ke depan. Banyak kalangan kini menaruh harapan agar pengadilan benar-benar berdiri di atas hukum dan hati nurani, dan tidak terjebak dalam kriminalisasi kebijakan publik.
“Jika semua kepala daerah takut membuat kebijakan, maka roda pemerintahan akan lumpuh. Kita butuh keberanian yang jujur, bukan penghukuman atas niat baik,” pungkas Sastro.(adm03gopos)