Oleh: Muhammad Arif Bina
Setelah viral, Citayam Fashion Week kini mulai menjamur dan diadaptasi di beberapa daerah di Indonesia tidak terkecuali di Gorontalo. Kegiatan semacam ini di Gorontalo dinamai Gorontalo Fashion Street. Meskipun sama-sama masih memamerkan aksi peragaan busana di atas zebra cross, kegiatan yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan sejumlah komunitas serta organisasi kepemudaan di Gorontalo ini terpaksa memilih konsep yang berbeda yakni dengan hanya menghadirkan dan membolehkan muslim style saja. Iya, terpaksa. Keterpaksaan ini nampak dari argumentasi panitia sebagaimana tertuang dalam reportase Kronologi.id. Konsep muslim style dipilih usai mendapat banyak kritik dari kalangan masyarakat terlebih dari salah satu Anggota Legislatif di Gorontalo.
Kritik tersebut umumnya lahir dari kekhawatiran publik Gorontalo yang notabene mayoritas muslim. Gelaran Gorontalo Fashion Street oleh mereka dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi moralitas masyarakat, bahkan sekalipun pihak panitia sudah membijaki dengan memunculkan konsep muslim style tidak sedikit dari mereka yang keberatan dengan gelaran GFS tersebut. Lebih jauh, mereka yang keberatan ini cenderung menggunakan dalil-dalil agama sebagai argumentasi untuk sebisa mungkin kegiatan tersebut tidak terselenggara. Penggunaan konsep muslim style yang dipilih panitia untuk mengakomodir keresahan publik sebenarnya sudah bermasalah lebih-lebih kalau sampai membatalkan kegiatan tersebut. Syukur, kegiatan tetap terselenggara dan panitia tidak sampai membatalkannya.
Baca juga: Gorontalo Fashion Street di Limboto Mengusung Tema Muslim Style
Mengapa Muslim Style Bermasalah?
Pemilihan muslim style sebagai konsep dan tema besar dari Gorontalo Fashion Street, meskipun menemukan momennya pada satu muharram kemarin, tidak bisa dipungkiri keputusan tersebut tetap bermasalah. Selain karena keterpaksaan panitia yang dilakukan sebagai upaya untuk meredam kekhawatiran publik, pemilihan konsep itu juga terkesan memaksakan islam untuk menjadi standar moralitas publik di Gorontalo. Dengan demikian, penggunaan konsep tersebut oleh panitia telah mengabaikan fakta bahwa Gorontalo tidak hanya dihuni oleh masyarakat muslim.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan moralitas islam, karena sebagaimana agama-agama lain, islam turut mengajarkan pesan-pesan moral kepada para pemeluknya. Ajaran moralitas yang bersandar pada keyakinan agama ini adalah bentuk moralitas privat yang tidak bisa kita paksakan untuk diadopsi dan dipraktekan oleh orang lain diluar dari agama yang kita yakini. Misalnya, islam mengajarkan pemeluknya tentang menutup aurat itu adalah baik. Tapi apakah hal ini diyakini sama oleh orang atau pemeluk agama lain selain islam? Haruskah kita memaksakan pemeluk agama lain untuk menutup aurat sebagaimana ketentuan moral yang diajarkan islam?. Sederhananya, ajaran moral dari satu agama bisa dipraktekkan dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat oleh individu yang meyakini kebenaran ajaran agama tersebut tapi bukan untuk dipaksakan agar diterima apalagi dipraktekkan oleh orang lain di luar dari agamanya.
Konsep muslim style adalah moralitas privat yang dipaksakan menjadi moralitas publik pada gelaran Gorontalo Fashion Street kemarin. Akibatnya, kegiatan ini hanya mengakomodir anak muda kreatif yang sudah tentu beragama islam. Pada titik yang sama hal itu justru mendiskriminasi dan cenderung tidak memberikan ruang dan hak yang sama pada anak muda kreatif di luar dari agama islam untuk berkarya serta menunjukkan kebolehannya dalam hal peragaan busana, sekalipun diberikan kesempatan mereka dipaksa untuk mengikuti ketentuan standar moralitas publik yang sudah ditentukan oleh panitia.
Pada titik ini, secara tidak langsung panitia pelaksana GFS telah melakukan tekanan sosial dan pendisiplinan untuk bisa melakukan dominasi moral dan etis sebagai respon atas kepanikan moral publik Gorontalo dalam menyikapi gelaran Gorontalo Fashion Street. Kepanikan moral ini seringkali termediasi menggunakan doktrin islam tentang ‘amr ma’ruf-nahi munkar’. Singkatnya, saat banyak yang mengkhawatirkan gelaran GFS akan menimbulkan hal-hal yang munkar, panitia meminimalisir kekhawatiran itu dengan memunculkan konsep muslim style yang dianggap sebagai hal yang ma’ruf. Padahal, kepanikan moral publik yang diamini oleh panitia belum tentu benar dan akan terjadi sedangkan keputusan panita melahirkan konsep muslim style sudah tentu tindakan yang sangat diskriminatif.
Ke depan gelaran seperti ini harusnya disikapi dengan bijak tanpa mengkait-kaitkannya dengan tafsir agama yang sempit, terlebih kalau kegiatan semacam ini dilaksanakan secara terbuka dan dan melibatkan kahalayak umum. Argumentasi tentang Gorontalo sebagai Serambi Madinah, harusnya menjadi tempat hidup yang nyaman dan memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada seluruh warganya untuk bertumbuh dan berkembang terlepas dari apapun suku, ras dan agamanya. Sebab, seperti itulah nabi membangun Madinah Al-Muanwaarah. Begitu.
*) Penulis adalah Kabid Organisasi DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Gorontalo