GOPOS.ID, GORONTALO – Di saat para petani makin sulit merayakan panen, Pesta Panen Padi “Maa Ledungga” hadir kembali sebagai refleksi. Tahun 2025, gagal panen masih mengintai, perampasan tanah masih meneror, dan persoalan menjadi lebih kompleks lantaran adanya perubahan iklim.
Petani, lagi-lagi jadi salah satu entitas yang paling dirundung larat. Meski begitu, selain petani, sejatinya ada banyak entitas makhluk hidup yang terpapar kemelaratan atas nama pembangunan, pertimbangan ekonomi dan politik. Atas segala persoalan itu, kata suaka menjadi alat ucap yang menggambarkan situasi belakangan ini. Suaka, akhirnya dipilih menjadi temautama Pesta Panen Padi “Maa Ledungga” tahun 2025.
Maa Ledungga adalah seruan dalam bahasa Gorontalo yang dapat diterjemahkan menjadi ‘sudah datang’ atau ‘telah tiba’, merujuk pada datangnya musim panen padi yang selalu ditunggu para petani.
Sementara pameran Maa Ledungga adalah pameran seni rupa yang diselenggarakan dalam rangka Pesta Panen Padi Maa Ledungga. Pameran ini merupakan kegiatan tahunan yang memiliki makna penting dalam aspek sejarah, kebudayaan, agama, dan sosio-ekonomi. Pameran rencananya akan dilaksanakan pada akhir bulan April hingga awal bulan Mei tahun 2025, dan akan diikuti oleh sekitar 30-an seniman, baik seniman lokal maupun seniman undangan dari luar Gorontalo.
Tempat pameran dibagi menjadi tiga lokasi: gilingan padi Ka Mi’u, gilingan padi Ka Jami, dan di Huntu Art District ,di Desa Huntu Selatan, Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Salah seorang tim kuratorial Maa Ledungga, I Wayan Seriyoga Parta, menerangkan gelaran Maa ledungga keempat kali ini menyoal persoalan yang lebih luas, yakni suaka. Suaka adalah istilah yang mendefinisikan dua pokok persoalan penting, mulai dari alam atau lingkungan hidup, hingga persoalan sosial dan kemanusiaan.
Pemikiran ini, kata Yoga–sapaannya, bermula dari berbagai kekacauan yang semakin menjadi-jadi akibat ulah manusia sendiri, yang mengumandangkankeakuannya serta obsesinya dalam menaklukan alam. Sebagai mahluk yang konon dikatakan “sempurna”, manusia merasa memiliki otoritas penuh dalam mengolah dan memanfaatkan segenap potensi alam untuk sebesar-besarnya demi kepentingannya sendiri.
Alam dieksploitasi hingga terjadi berbagai kehancuran. Kehendak berkuasa menjadikan manusia semakin angkuh dan menjadikan makhluk lain sebagai musuh atau semata objek yang bebas digunakan. Di sisi lain karena perbedaan paham, atau penindasan akibat konsekuensi kelas dan posisi sosial, konflik dan peperangan pun terus berlangsung bahkan ketika manusia sudah semakin “pintar dan beradab”.
“Tema suaka mencoba menawarkan respons atas berbagai persoalan tersebut. Siapa sebenarnya yang membutuhkan suaka? Apakah binatang non-manusia, tumbuhan dan makhluk lain selain manusia? Apakah manusia yang menjadi korban keserakahan manusia lainnya yang kehilangan hak, ruang dan hajat hidupnya? Ataukah kehendak yang terus ingin lebih, serakah dan haus akan kekuasaanlah yang harus di-suaka?” kata Yoga.
Melalui tawaran ini, para seniman, perupa, kelompok rupa, kolektif, diajak merespons tema dengan karakter karya dan kecenderungan estetikanya masing-masing. Harapannya akan lahir berbagai bentuk interpretasi yang beragam berdasarkan internalisasi dan penghayatannya masing-masing. (Sari/rls/gopos).