Devira Hida
Ketua umum HMI Komisariat Justitia
Kebebasan Pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Ia mempunyai fungsi yang sangat esensial, yaitu sebagai peralatan publik untuk mengontrol negara. Oleh karena itu, perlindungan bagi giat-giat jurnalistik menjadi keharusan untuk menjamin hak asasi manusia dalam negara demokrasi.
Perlindungan hukum terhadaap pers tersebut, diejawantahkan dalam bentuk Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Undang-undang ini menjamin kemerdekaan pers untuk mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat [2]).
Lebih jauh, dalam pasal 8 Undang-Undang Pers menjamin hak jurnalis dalam menjalankan profesinya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan tersebut untuk menjamin agar pers dapat menjalankan perannya bebas dari tekanan, halangan, dan campur tangan dari pihak manapun.
Berdasarkan hal itu, maka upaya menghalang-halangi kegiatan pers merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum dan semangat penengakan hak asasi manusia. Apalagi kalau tindakan tersebut dilakukan oleh negara, hal itulah yang terjadi di Gorontalo baru-baru ini.
Pengrusakan alat kerja berupa handphone yang dilakukan oleh oknum polisi, yang konon katanya berpangkat Kombes, terhadap seorang jurnalis RTV kemarin, menjadi jadi contoh bagaimana penengakan hukum di Gorontalo masih mengedepankan pendekatan yang represif, ketimbang berbasis pada hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.
Pengrusakan handphone tersebut, biar bagaimanapun masuk dalam kategori “menghalangi”. Padahal jelas, dalam menjalankan peranya, jurnalis tidak boleh dihalang-halangi. Ia mempunyai hak untuk mengumpulkan informasi dan itu dilindungi hukum. Apalagi yang hendak diliput adalah peristiwa publik, misalnya demostrasi yang dilakukan aktivis kemarin. Itu peristiwa publik. Publik punya hak atas informasi itu, sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 huruf (F).
Masalahnya yang menghalangi kegiatan pers tersebut adalah polisi, institusi yang harusnya menjadi garda terdepan dalam menegakan hukum untuk melindungi hak warga negara. Alih-alih melindungi, yg ada justru persekusi. Ini mencerminkan bahwa polisi tidak benar-benar mengerti apa itu HAM, apa itu demokrasi, dan apa tujuan dari hukum, sehingga yang terjadi adalah ugal-ugalan, padahal mereka adalah penegak hukum yang harusnya mengerti itu semua.
Jelas bahwa peristiwa itu menjadi jejak buruk bagi penanganan demostrasi di Gorontalo. Di sisi lain, peristiwa ini juga adalah peristiwa pelanggaran hukum, maka sebagai bentuk perlindungan bagi kebebasan pers, maka sudah seharusnya tindakan oknum kepolisian tersebut diproses secara hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, di atur bahwa: setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi hak Pers dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Lima ratus juta rupiah. Selain UU pers, tindakan ini bisa juga dijerat dengan KUHP dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil dan Politik.
Ini harus ditempuh secara serius, agar tindakan serupa tidak lagi terulang. Harus ada efek jera pada setiap orang, termasuk aparat penegak hukum. Ini sebagai bentuk penghormatan kita terhadap kerja-kerja junalisme agar hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat bisa dijamin.Â