GOPOS.ID, GORONTALO – Pendidikan politik harus diberikan secara masif dalam rangka mewujudkan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang demokratis dan berkualitas. Salah satu bentuk pendidikan politik adalah pelaksanaan kampanye.
Demikian salah satu catatan penting yang mengemuka dalam pelaksanaan rapat evaluasi Pengawasan Pencalonan, Kampanye Pemilu Tahun 2019 dan Menyongsong Pilkada tahun 2020 yang dilaksanakan Bawaslu Provinsi Gorontalo di Hotel Grand Q, Kota Gorontalo, Sabtu-Ahad (7-8/9/2019).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Salahudin Pakaya,M.H, mengemukakan kampanye adalah bagian dari pelaksanaan pendidikan politik. Akan tetapi dalam pelaksanaan kampanye masih dijumpai beberapa permasalahan krusial. Antara lain, berkaitan dengan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dan jadwal kampanye.
“STTP masih dimaknai adalah izin, sehingga hal itu menjadikan pelaksanaan kampanye dilarang tanpa STTP. Sementara dalam regulasi menyebutkan tiga hari setelah penetapan, peserta Pemilu sudah bisa berkampanye,” ujar Salahudin Pakaya saat memberikan materi.
Oleh karena itu, Salahudin menekankan agar KPU dan Bawaslu lebih mempertajam dan memperkuat pada permasalahan tersebut. Termasuk pada larangan kampanye.
“Ada tiga poin penting berkaitan larangan kampanye. Yaitu penggunaan fasilitas negara, intimidasi, serta pemberian uang dan materi lainnya,” ungkap mantan Ketua KPU Provinsi Gorontalo itu.
Baca juga: Wagub Hadiri Malam Keakraban Anggota DPRD Provinsi Gorontalo
Berkaitan dengan kampanye sebagai bagian pendidikan politik, Salahudin Pakaya menekankan agar kampanye di media perlu diperpanjang. Regulasi saat ini yang menetapkan hanya 14 hari dinilai kurang efektif dalam memberikan pendidikan politik bagi pemilih.
“Secara pribadi saya mengusulkan perlu ditambah sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan Perundang-undangan,” ujar kandidat Doktor Ilmu Hukum, Universitas Muslim Indonesia, Makassar itu.
Sementara itu, pemateri lainnya Darwin Botituhe turut menyoroti masalah regulasi Pemilu. Terutama berkaitan adanya norma baru dalam pengaturan teknis. Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo itu mencontohkan ketentuan mengenai mantan terpidana.
“Dalam Undang-undang telah jelas mantan terpidana bisa mencalonkan asalkan mengumumkan ke publik. Akan tetapi dalam Peraturan KPU membatasi mantan terpidana korupsi. Nah ini yang menimbulkan disharmonisasi antara KPU dan Bawaslu,” tutur Darwin Botutihe.
Baca juga: Wagub Hadiri Malam Keakraban Anggota DPRD Provinsi Gorontalo
Mantan Anggota Bawaslu Provinsi Gorontalo itu menekankan menyongsong Pilkada 2020, jangan ada norma baru yang membuat disharmonisasi antara KPU dan Bawaslu. Termasuk pengaturan yang lahir seirama dengan kejadian.
“Ada sebuah kesimpulan dalam pandangan kami yaitu perlu pengaturan secara hirarki, tepat waktunya dan sesuai dengank kebutuhan, sehingga terwujud ketaatan hukum dalam pelaksanaan Pemilu yang sesuai dengan asas Pemilu dan asas penyelenggara,” tutur Darwin Botutihe.
Sebelumnya, pimpinan Bawaslu Provinsi Gorontalo, Rauf Ali, mengatakan rapat evaluasi ini dilaksanakan dengan harapan menghasilkan informasi yang lebih detail. Terutama berkaitan dengan pengawasan pencalonan, kampanye pemilu 2019 serta Pilkada 2020.(hasan/gopos)