GOPOS.ID, GORONTALO – Wali Kota Gorontalo, Marten Taha, ikut mengajukan gugatan terhadap Pasal 201 ayat (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan disampaikan Marten Taha bersama 6 kepala dan wakil kepala daerah. Yakni Gubernur Maluku, Murad Ismail; Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elias Tanto Dardak; Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto; Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim; Wali Kota Padang, Henri Septa; serta Wali Kota Tarakan, Khairul.
Gugatan terhadap Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada dilayangkan Marten Taha bersama 6 kepala/wakil kepala daerah karena dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Sebab ketentuan Pasal 201 ayat (5) akan memotong masa jabatan para kepala/wakil kepala daerah mulai dari 2 bulan hingga 6 bulan.
Untuk masa jabatan Wali Kota Gorontalo, sedianya baru akan berakhir pada 2 Juni 2023. Namun dengan adanya ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada maka masa jabatan Marten Taha sebagai Wali Kota Gorontalo dinyatakan akan berakhir pada Desember 2023. Hal itu mengakibatkan masa jabatan Marten Taha sebagai Wali Kota Gorontalo tidak full 5 tahun atau mengalami pengurangan 5 bulan lamanya.
“Dalam batas penalaran wajar, pemotongan masa jabatan atau cut off kepala daerah sebagai konsekuensi masa transisi menuju pemungutan suara serentak nasional sepatutnya hanya dilakukan kepada kepala daerah hasil pemilihan 2020 sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Pilkada,” ujar kuasa pemohon, Donal Fariz, dalam sidang perdana pengujian Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Rabu (15/11/2023).
Donal Fariz menekankan, bagi para pemohon yang merupakan produk pemilihan tahun 2018 dan dilantik tahun 2019 sudah semestinya dalam menjalani masa jabatan secara penuh sepanjang tidak melewati jadwal Pemungutan Suara Serentak 2024. Ketidakpastian hukum yang diciptakan oleh ketentuan pasal a quo serta merta menyamaratakan akhir masa jabatan Kepala Daerah Tahun 2023, meskipun jabatan kepala daerah hasil pemilihan pada bulan Juni 2018 dimulai tahun 2019 telah mengakibatkan pula pertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
“Karena pemohon tidak secara penuh menunaikan amanat dari pemilih dan konstituen pada pemohon selama lima tahun sesuai dengan SK pengangkatan para pemohon sebagai kepala daerah,” tutur Donal Fariz membacakan permohonan gugatan.
Selain itu Donal Fariz juga menyampaikan argumen akhir dari masa jabatan para pemohon tidak mengganggu tahapan penyelenggaran Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024. Termasuk pengisian penjabat kepala daerah untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya telah selesai.
Berikut Petitum para pemohon yang disampaikan Dona Fariz.
Dalam provisi.
- Mengabulkan Permohonan provisi Para Pemohon untuk seluruhnya.
- Menjadikan permohonan a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon sebagai prioritas pemeriksaan di Mahkamah untuk memberikan perlindungan hak konstitusional Pemohon dan meminimalisasi kerugian konstisional Para Pemohon akan terjadi.
- Memerintahkan pemerintah dan/atau Kementerian Dalam Negeri untuk menunda pemberhentian Para Pemohon pada akhir tahun 2023 dan menunda pengusulan, pembahasan, dan pelantikan penjabat terhadap kepala rakyat dipimpin oleh Para Pemohon sampai dengan Mahkamah menjatuhkan putusan.
Dalam pokok perkara.
- Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.
- Menyatakan ketentuan di dalam Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang 10 Tahun 2016, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 bertentangan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang dilantik tahun 2019 memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024’.
- Memerintahkan putusan Mahkamah Konstitusi ini untuk dimuat di dalam Berita Negara.
Persidangan gugatan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada dipimpin Ketua Majelis Hakim, Suhartoyo, bersama Hakim Anggota, Saldi Isra, dan Daniel Yusmic P Foekh.(hasan/gopos)