GOPOS.ID, BONE BOLANGO – Pembawaannya tenang meski dalam situasi genting, tetap bersikap lembut meski di terpa fitnah sana sini. Dihari terakhir jabatanya dia membeberkan rahasianya, mengapa tetap bisa lembut laku ditengah kerasnya iklim politik di Gorontalo. Katanya ini lahir dari didikan seorang perempuan bernama Khajarah Van Gobel yang telah melahirkannya.
Jumat, 3 November 2023, Bupati Bone Bolango Hamim Pou menceritakan dengan menahan tangis betapa besar peran seorang ibu untuk mengantarkan kesuksesan yang telah diraihnya. Sosok ibu melatih dirinya untuk tetap lembut dalam segala hal, terlebih ketika dirinya menjadi seorang pemimpin.
Sejak kecil Hamim dibesarkan oleh ibunya yang menjadi orang tua tunggal dan merangkap Kepala Keluarga dengan penuh kelembutan, kasih sayang, kesabaran dan kerja keras. Ibunya seorang guru di desa sangat terpencil di Desa Mongiilo, Kecamatan Bulango Ulu dengan penuh perjuangan menyebrang 13 kali atau naik kuda menuju sekolah tersebut yang tak jarang pula bertemu dengan binatang buas. Bagi Hamim perjuangan ibunya itu, sebagai bentuk pengabdian dan rasa sayang untuk anaknya.
Perjuangan ibunya itu bahkan harus mengorbankan kesehatan hingga ibunya tersebut harus terkena usus buntu pada tahun 1979 silam. Ibunya pun harus di operasi dan mengharuskan untuk tidak bekerja terlalu keras. Situasi inilah mengharuskan Hamim bersama saudara untuk mengambil alih beberapa tugas ibunya.
Berjualan Kue hingga Kondektur Mobil Untuk Biaya Sekolah
Sejak kelas 3 Sekolah Dasar, Hamim mulai membantu meringankan tugas sang ibu. Mencuci dan menyetrika baju sendiri dilakoninya. Bahkan pada usia yang masih terbilang kecil itu, ia sudah harus mengayomi adiknya Almarhum Helmi Pou.
Untuk tambahan biaya sekolahnya pun, Hamim harus berjualan kue yang dibuat oleh ibunya dan es di sekolah. Tak jarang pula jualannya tersebut tidak laku di sekolah dan terpaksa harus dilanjutkan usai pulang sekolah dengan berkeliling dari satu desa ke desa lain hingga laris.
Perjuangan Hamim untuk membiayai sekolahnya tidak berhenti sampai disitu. Dirinya bahkan harus berjualan pasir yang kala itu dihargai 250 perak 1 gerobak. Memasuki SMP, ia menjadi kondektur mobil dan berjualan tebu yang dikumpulkannya dari berbagai kampung. Bahkan pada usia SMP ini pun Hamim harus tertangkap dan ditegur oleh Polisi karena menjadi calo dengan menjual tiket sepakbola kala itu antara Garuda PSSI versus Gorontalo Selection di Stadion 23 Januari.
Diusia SMA, Hamim mulai berjualan ikan di Pasar Gogagoman. Perjuangannya untuk meniti pendidikan berbuah manis. Ia lulus dari SMA Negeri 1 Gorontalo dengan Nilai EBTANAS Murni (NEM) tertinggi dan membawanya bisa menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Samratulangi Manado melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDP).
Berjualan Bakso, Karir Awal Wartawan dan Niat Naikkan Haji Ibu
Perjuangan Hamim untuk pendidikannya masih terus berlanjut. Kala lulus dari SMA Negeri 1 Gorontalo dan niat ingin kuliah, ia tidak mendapat restu dari ibunya. Katanya, sang ibu masih ingin menyekolahkan sang kakak, Hasyim Pou. Mendengar respon itu, ia langsung pergi ke Masjid untuk menunaikan sholah sembari berdoa kepada Allah SWT untuk diluluskan pada jalur PMDP. Doanya terkabul dan kabar baik itu pun langsung disampaikan kepada sang ibu.
Rintangan baru pun muncul sebab sang ibu tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai sekolah Hamim. Sang ibu pun berusaha meminta pertolongan kepada keluarga lainnya namun tidak mendapat respon dan support. Tidak tinggal diam, sang ibu masih terus berusaha untuk mencari pertolongan. Akhirnya pinjaman uang didapatkan dari salah satu koperasi. Hamim pun bisa melanjutkan studinya.
Mengenyam bangku kuliah, usaha Hamim untuk membiayai pendidikannya sendiri tanpa memberatkan orang tua masih terus berlanjut. Kala itu ia harus berjualan bakso di daerah rantau selama 3 semester. Suport sang ibu untuk dirinya saat kuliah tidak pernah berhenti. Dirinya selalu mendapat kiriman beras, gula pasir, the, hingga uang kala itu sebesar 7.500 rupiah dari sang ibu yang dibarengi dengan sebuah nasehat untuk tetap menjaga diri di tanah rantau.
Masuk semester 4 perkuliahan, nasib hidup Hamim mulai berubah. Dirinya memberanikan diri untuk mengikuti job training jurnalistik di Manado Pos dan terpilih menjadi bagian dari wartawan pada media itu. Dirinya pun mulai menerima gaji yang kala itu sebesar 50 ribu rupiah. Dedikasi sang ibu pun tidak dilupakan, bahkan dirinya berganti mengirimkan uang kepada sang ibu sebesar 25 ribu rupiah perbulan yang diniatkan untuk ibadah haji sang ibu.
Ridho Ibu Antar Hamim Jadi Bupati
Nasibnya telah berubah. Pendidikannya telah selesai. Hamim pun mencoba keberuntungannya dengan mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI pada tahun 2009. Namun niatnya itu kembali mendapatkan halangan. Sang ibu mulai sakit keras, tak jarang dirinya selalu pergi pulang Tapa – Molibagu Bolaang Mongondow Selatan untuk menyanggupi keinginan ibunya untuk berkunjung ke rumah nenek ditengah usahanya kala itu yang sedang berkampanye.
Namun Hamim lebih memilih merawat sang ibu dan harus menunda keingginannya menjadi senator di Senayan. Kesempatan ini menurut Hamim adalah hal yang sangat luar biasa. Bahkan katanya dalam keadaan sakit keras sang ibu masih meminta dibuatkan taman pengajian di rumah sang nenek dan permintaan itupun ditunaikan.
Bukan hanya itu, sang ibu pun terus mendoakan Hamim untuk menjadi seorang Gubernur setiap dirinya pulang kerja menjadi seorang jurnalis. Lebih dari itu, jelang lima hari wafatnya sang ibu, Hamim masih mendapatkan ampunan dari segala dosanya kepada ibu baik yang telah berlalu, pada waktu itu dan yang akan datang.
Setahun usai wafatnya sang ibu, Hamim terpilih menjadi seorang Wakil Bupati mendampingi Almarhum Haris Nadjamudin kala itu. Sang kakak pun berbisik ditelinganya dengan berkata apa yang telah dicapainya itu berkat doa sang ibu. (Indra/Gopos)