Oleh: Muhammad Rachmad Tahir, SH., MH
MEMASUKI era digital 4.0 yang saat ini tengah di sosialisasikan oleh pemerintah maupun para pihak yang memanfaatkan momentum tersebut semakin digembar-gemborkan.
Di amini oleh beberapa pemikir Indonesia yang menganggap bahwa Teknologi saat ini merupakan kebutuhan berbagai pihak. Tak hanya para investor teknologi, perusahaan manufaktur, serta para pegiat usaha UMKM dan juga star-up.
Karena zaman semakin maju akibat penemuan berbagai macam teknologi sehingga terjadilah yang namanya Globalisasi menurut Antonio Giddens dalam buku nya yang berjudul “Runway World”.
Dalam buku ” Runway World” ia menjelaskan bagaimana suatu negara tak berjarak lagi akibat laju Globalisasi. Seperti pada pemanfaatan telekomunikasi, jika dahulu sebelum penemuan telekomunikasi kita ingin berembuk atau bertemu maka kita harus menentukan jadwal dan tempat pertemuannya.
Lain halnya saat ini hanya dengan bermodalkan Handphone tak peduli waktu dan tempat, komunikasi bisa berlangsung.
Akibat dari perkembangan teknologi itu khususnya telekomunikasi ternyata juga mempengaruhi gaya atau teknik para otak kriminal saat ini. Oleh karenanya pada tahun 2008 di muatlah undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik.
Masih banter di telinga kita tentang kasus penyadapan yang dilakukan pemerintah Australia terhadap presiden ke 6 kita yakni Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Yang dibeberkan oleh Edward Snowden seorang kriminal level dunia maya (hecker).
Kita kembali membahas tentang pasal 31 UU nomor 11 tahun 2008.
Dalam pasal tersebut memuat tentang Intersepsi atau penyadapan menurut Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU No. 11 Tahun 2008 “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain” dan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan”.
Berdasarkan penjelasan pasal 31 UU ITE, diketahui bahwa segala macam bentuk pemantauan (surveillance), gangguan (intrusi), pendokumentasian (merekam) yang dilakukan tanpa ijin merupakan tindakan yang dilarang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa bukan berarti pemilik perangkat elektronik memiliki hak untuk melakukan penyadapan kepada orang lain tanpa ijin dengan alasan perangkat elektronik yang dimilikinya maka hak untuk melakukan perekaman berada padanya. Dalam konteks perekaman/penyadapan objek yang disadap adalah orang lain, sehingga di dalamnya ada hak hukum orang lain.
Sementara itu, tindakan merekam tidak termasuk dalam tindakan penyadapan. Hal tersebut didukung oleh pengamat hukum yang menyatakan bahwa merekam secara diam-diam menggunakan kamera tersembunyi, alat perekam video dan suara tidak dikategorikan sebagai bagian intersepsi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (2) UU ITE. Namun hal tersebut dibenarkan dengan dasar tidak ada transmisi informasi elektronik yang diintersepsi.
Dengan mengacu pada rumusan normatif di atas, maka secara konsep penyadapan/perekaman oleh pembuat undang-undang dikumpulkan menjadi satu dan ditentukan sebagai tindakan yang dilarang jika dilakukan tanpa ijin. Artinya juga bahwa tindakan penyadapan/perekaman diperbolehkan jika mendapat ijin, misalnya bagi aparat penegak hukum dan bagi orang perseorangan jika diberi ijin oleh orang yang direkamnya. Jika penyadapan/perekaman dilakukan tanpa ijin, maka terdapat sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam pasal 47 UU-ITE.
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) ataupun ayat (2) UU ITE akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800 juta. Pengecualian atas pelarangan penyadapan atau intersepsi yaitu intersepsi yang dilakukan untuk penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Salah satu institusi penegak hukum yang berwenang menurut undang-undang untuk melakukan penyadapan yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap suatu kasus kejahatan.
Pada sebuah artikel di laman Institute for Crimical Justice Reform, menjelaskan mengenai ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 31 Undang-Undang ITE No. 11 Tahun 2008 yaitu bahwa penegak hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum, penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan permintaan dalam rangka penegakan hukum, dan kewenangan penyadapan dan permintaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus ditetapkan berdasarkan Undang-undang.
Oleh karenanya berdasarkan hal tersebut, maka tindak penyadapan dalam Pasal 31 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memiliki kriteria tertentu dimana tidak semua jenis penyadapan dilarang atau tidak diperbolehkan. Selain pihak yang berwenang dalam rangka penegakan hukum, dilarang melakukan penyadapan. Jika penyadapan tersebut dilakukan dengan melanggar hukum maka akan dikenai sanksi sesuai peraturan yang berlaku. (**)
Penulis adalah Dosen Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo