Keterbatasan fisik tak menjadi penghalang untuk berprestasi. Hal tersebut ditunjukkan Abdul Rahman H.R Nusi, seorang penyandang disabilitas yang pernah mewakili Provinsi Gorontalo pada Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012 di Riau.
Putra Tangahu, Tibawa
Di sebuah rumah di Desa Talumoputi, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Abdul Rahman duduk sembari melepas penat. Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya di sebuah bengkel mebel, yang tak jauh dari tempat tinggal.
Sudah dua tahun lamanya, Abdul Rahman menjalani pekerjaannya tersebut. Sejak ia memilih hijrah dari Bone Bolango menuju ke Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Memutuskan untuk tinggal di kampung istrinya. Sebelumnya, Abdul Rahman tinggal di kampung halamannya di Desa Batu Hijau, Kecamatan Bone Pantai, Kabupaten Bone Bolango.
“Saya yang menawarkan diri buat bekerja di mebel itu, dan bekerja apa saja,” jelas Abdul Rahman saat ditemui gopos.id.
Sedianya banyak pekerjaan yang ingin dilakoni Abdul Rahman. Akan tetapi keinginannya terkendala oleh kondisi kaki yang tak kuat menopang aktivitas. Kondisi itu dialaminya sejak dirinya masih kecil.
Pada awalnya, pria kelahiran 5 Mei 1980 itu, lahir dalam kondisi normal dan sehat. Pada usia 6 bulan, Abdul Rahman mengalami demam. Oleh orang tuanya ia pun dibawa berobat. Setelah sembuh, keanehan terjadi pada kaki Abdul Rahman. Kakinya mengecil, sehingga ia tak bisa berdiri.
Dari pemeriksaan medis, Abdul Rahman divonis terserang Polio. Tak mau pasrah dengan keadaan, orang tua Abdul Rahman lalu berupaya pengobatan. Baik secara medis maupun tradisional. Upaya itu membuat Abdul Rahman akhirnya bisa berjalan meski hanya menggunakan lutut.
Seiring bergulir waktu, pada 2012 nama Abdul Rahman sempat bersinar. Pria yang akrab disapa Aldo tersebut dipercaya tergabung dalam kontingen Provinsi Gorontalo untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau. Aldo mengikuti cabang olahraga renang dengan jarak 50 meter.
Baca juga: Perjalanan Kiki Rahman Merintis “Kopi Mama” yang Hits di Kalangan Kaum Milenial
Dalam kejuaraan, Aldo berhasil mencatatkan waktu renang dengan jarak 50 meter selama 11 detik. Mendekati 10 detik. Hanya saja capaian itu belum mampu membawa Aldo meraih medali.
Sesuai ketentuan, penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda harus melawan pula penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda. Akan tetapi selesai pertandingan, ternyata lawan-lawan Aldo tak semuanya menggunakan kursi roda.
“Saya melihat mereka (mampu) berdiri, hanya saya saja yang tidak bisa,” jelasnya.
Walaupun secara pribadi belum berhasil menyumbang medali, kontingen Gorontalo mampu memenangkan 2 medali emas, 3 perak, perunggu 1 dari cabang renang.
“Itu adalah kejuaraan saya yang pertama dan terakhir,” kenang Aldo.
Sekembalinya dari PON, Aldo sempat mendapat tawaran menjadi pelatih disabilitas SLB Bone Pantai.
“Alhamdulillah 1 orang yang berhasil yang saya latih mendapat juara 1 dalam O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa Nasional) tingkat provinsi,” kata pria berusia 40 tahun itu.
Pada 2018, Aldo memutuskan pindah ke Desa Talumoputi, Kecamatan Tibawa bersama istrinya. Walaupun memiliki keterbatasan fisik, pria berusia 41 tahun itu tak pernah mengeluh dan menyerah. Ia tetap bersemangat mengais rezeki demi kehidupan dan tanggung jawab keluarga.
“Asal bisa kerja apa sajalah, ngamplas atau apa saja,” ungkapnya.
Di bengkel mebel, Aldo mengerjakan berbagai perabot. Seperti lemari, daun jendela, dan perabot lainnya.
“Tapi kelemahan saya yakni mengangkat, namun sang pemilik mengerti akan saya,” tandas anak kedua pasangan Harun R Nusi dan Sartin Hamzah itu.
Pendapatan yang dari bengkel mebel selanjutnya dikembangkan Aldo dan istrinya. Yakni berjualan di rumah untuk membantu ekonomi keluarga.
“Bukan kurang tapi belum cukup, pokoknya tergantung orderan,” kata pria berkulit sawo matang itu.
Situasi pandemi ikut berpengaruh terhadap ekonomi keluarga Aldo. Beruntung warga sekitar senantiasa peduli terhadap kondisi kehidupan Aldo dengan memberikan bantuan beras.
“Saya tidak minta, sayapun tidak bisa menolak rezeki yang ada,” katanya
Serba kekurangan sering dirasakan oleh Aldo dan keluarganya. Pernah dalam sehari Aldo bersama keluarga hanya makan singkong. Namun di balik kekurangannya, Aldo memiliki kelebihan. Di antaranya sering mengumandangkan azan di Mesjid. Kebiasaanya ini dimulai sejak dirinya masih bujang.
“Di Bone Pantai, kalau tidak ada yang azan saya duluan ke masjid. Bahkan saat sampai di sini juga,” urainya.
Terakhir Aldo bercerita mengenai keinginan serta cita-cita yang selama ini diharapkan terkait keterbatasan serta kendala yang dialaminya. Di setiap sujud dalam salat Aldo selalu berdoa semoga bisa mendapatkan kendaraan yang layak yang bisa digunakan beraktivitas serta bekerja setiap hari.
“Itu harapan saya selama ini,” tandasnya.(***)