GOPOS.ID, GORONTALO – Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo melahirkan dua opsi penyelesaian sengketa lahan eks kawasan transmigrasi di Desa Owata, Kecamatan Bulango Ulu, untuk areal Waduk Bulango Ulu, Bone Bolango, Kamis (23/11/2023).
Opsi pertama, pemenuhan dokumen alas hak atas tanah areal eks kawasan transmigran di Desa Owata yang masuk dalam penentuan lokasi (penlok) Waduk Bulango Ulu. Dokumen tersebut dalam bentuk Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Surat Keterangan Pembagian Tanah (SKBT).
“Kami berharap Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi dan Kantor Pertanahan Bone Bolango dapat proaktif berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Bone Bolango khususnya berkaitan dengan penerbitan SKBT,” ujar Ketua Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo, AW Talib, membacakan kesimpulan rapat.
Opsi kedua, penyelesaian melalui jalur hukum di Pengadilan dengan mekanisme konsinyasi. Terkait opsi ini, Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo berharap masyarakat pemilik lahan bisa menyiapkan dokumen dan bukti-bukti untuk menguatkan argumentasi di Pengadilan.
“Silakan bagi pemilik lahan yang ingin menempuh jalur Pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum atas lahan yang dimilikinya,” ucap AW Talib didampingi Wakil Ketua Komisi I, Siti Nurain Sompie, dan Anggota Komisi I, Adhan Dambea, Yuriko Kamaru, Arifin Ali, dan Hidayat Bouty.
Legalitas Kepemilikan Lahan
Sebelumnya dalam rapat dengar pendapat mengemuka masalah penghambat belum terbayarnya 292 bidang lahan eks transmigrasi di Desa Owata yang menjadi areal Waduk Bulango Ulu. Antara lain legalitas kepemilikan lahan yang menjadi dasar untuk dilakukan pembayaran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2014 tentang Pengurusan Hak Atas Tanah Transmigran, maka pemerintah daerah memberikan SKBT. SKBT diberikan paling lama 6 bulan setelah transmigran menempati lokasi transmigrasi. Namun hingga saat ini belum ada penyerahan SBKT bagi para warga transmigran yang menempati areal transmigrasi di Desa Owata. Baik untuk transmigran asal luar daerah, maupun transmigran lokal.
Masih berkaitan dengan legalitas, terdapat perbedaan pula perbedaan objek antara Satuan Tugas (Satgas) Pengadaan Tanah dengan Dinas Terkait. Khususnya mengenai detail mengenai batas-batas kepemilikan atau pembagian lahan
Kepala Kantor Pertanahan Nasional Bone Bolango, Mega Putri Sari, menjelaskan pihaknya sudah menerima Surat Keputusan (SK) Bupati Bone Bolango terkait lahan eks transmigrasi di Desa Owata. Namun tindak lanjut SK tersebut masih karena terkendala pada kejelasan data kepemilikan lahan.
“Tidak ada detail seperti nama, dan batas-batas pembagian lahan. Oleh karena itu kita terus berkoordinasi dengan Pemda Bone Bolango untuk pemenuhan kejelasan detail tersebut,” ungkap Mega Putri Sari.
Mega Putri Sari menambahkan, areal lahan eks transmigrasi yang tertuang dalam SK Bupati Bone Bolango turut pula mendapat komplain warga. Sebab ada warga yang termasuk di areal lahan transmigrasi tersebut menolak lahannya masuk dalam penetapan areal transmigrasi.
“Mereka menolak karena telah menempati areal tersebut jauh sebelum dibangun transmigrasi,” imbuh Mega Putri Sari.
Lebih lanjut Mega Putri Sari menjelaskan, sampai dengan saat ini sudah ada 1.723 bidang tanah yang dibebaskan. Selanjutnya ada 100 bidang tanah yang sedang diproses untuk pembayarannya.
“Jumlah tersebut mencapai 62,7 persen dari total tanah yang harus dibebaskan untuk program strategis nasional Waduk Bulango Ulu,” ungkap Mega Putri Sari.
Sementara itu perwakilan masyarakat Desa Owata, Azhari, berharap penyelesaian pembayaran lahan milik mereka bisa segera diselesaikan. Sebab mereka telah berkali-kali meminta kejelasan baik kepada pemerintah Kabupaten Bone Bolango, maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo.
“Kami ini di-pimpong dan sampai sekarang tak jelas mengenai pembayaran lahan kami,” ujar Azhari dalam rapat dengar pendapat.
Azhari mengungkapkan, areal transmigrasi Desa Owata, Bone Bolango dibangun pada 2003 dan ditempati oleh warga transmigran pada 2005. Warga transmigrasi yang menempati lokasi tersebut separuh warga lokal dan separuhnya berasal dari Jawa, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Alhamdulillah sebagian masyarakat transmigrasi sudah hidup sejahtera. Bahkan ada anak-anak warga transmigran yang kuliah dan bekerja di instansi pemerintahan. Maka ketika kami meninggalkan lahan dan tak dibayar itu berarti kami dimiskinkan lagi,” tutur Azhari.(hasan/gopos)