Oleh: Nonny Basalama
Budaya timur atau lebih populer dengan istilah ‘eastern culture’ sangat di kenal dan identik dengan karakteristik karakteristik tertentu yang melekat pada budaya ciri khas masyarakat timur termasuk budaya yang tinggi order hirarkinya, budaya patriarki, budaya saling berbalas (reciprocal), dan budaya berkomunikasi tidak langsung (indirect way of communication).
Hal hal ini berbeda dengan karakteristik ‘budaya barat’ (western culture) termasuk bangsa yang di kenal rendah order hirarkinya, merangkul paham kesetaraan gender (gender equality), dan mencerminkan gaya komunikasi langsung (direct way of communication).
Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang menurut berbagai literatur terkait di masukkan pada kategori masyarakat yang berbudaya timur dengan cerminan beberapa ciri antara lain yang di gambarkan di atas termasuk mengintegrasikan budaya tidak langsung dalam interaksi keseharian berbahasanya. Walaupun secara implisit nilai budaya komunikasi ‘tidak langsung’ ini mengandung nilai nilai luhur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai tolerasi pada orang lain; menjaga hubungan baik dan berusaha mencegah timbulnya rasa tersinggung dari pihak lawan bicara, namun di sisi lainnya ternyata gaya komunikasi tidak langsung ini dapat menimbulkan kesalah pahaman berkomunikasi.
Tulisan ini akan fokus untuk mengulas praktek gaya bahasa komunikasi tidak langsung versus gaya komunikasi langsung dan konsekuensinya dalam interaksi berbahasa.
Timbulnya kesalah pahaman berkomunikasi, biasanya terjadi pada orang yang memiliki gaya bahasa yang berlawanan yaitu gaya komunikasi tidak langsung berhadapan dengan gaya komunikasi langsung. Contoh di bawah ini akan memaparkan interaksi berbahasa orang Indonesia dengan gaya berbahasa tidak langsung ( indirect way of communication) dengan temannya yang orang Amerika (yang di kenal memiliki gaya komunikasi langsung (direct way of communication).
Ketika di undang ke pesta ulang tahun oleh orang Amerika tersebut, orang Indonesia yang memang yang tidak berniat menghadirinya, akan mempraktekkan gaya komunikasi ‘tidak langsungnya’ yaitu dengan memberi alasan yang di pilihnya masuk akal dan dapat di maklumi oleh lawan bicaranya. Misalnya, ia mengatakan bahwa ia ingin sekali menghadiri pesta ini, sayangnya ada pekerjaan kantor yang harus dia selesaikan karena dateline nya pas terjadi di malam pesta itu. Padahal dalam kenyataannya tidak ada pekerjaan dateline yang harus di selesaikan.
Di pemahaman konteks budaya berkomunikasinya ini, orang Indonesia ini akan berpikir bahwa alasan yang ia pilih ini sudah benar dan tepat, karena ia tidak ingin temannya ini tersinggung kalau ia akan mengatakan hal yang sebenarnya. Yaitu misalnya dengan mengatakan langsung bahwa ia tidak berkeinginan untuk menghadiri pesta temannya, atau karena ia tidak suka pesta, atau alasan lainnya yaitu ia ingin tetap tinggal di rumah sambil menonton acara televisi kesayangannya, atau alasan alasan personal lainnya.
Bagi orang Indonesia, ia lebih memilih menyimpan alasan alasan yang sebenarnya di atas tadi, karena keterbukaan ini bisa berdampak fatal terhadap perasaan temannya. Sepertinya ia tidak memiliki tenggang rasa terhadap temannya dengan mengutamakan alasan alasan yang mengambarkan kebutuhan ataupun keinginan personalnya. Itulah mengapa alasan pekerjaan kantor dengan tenggat waktu di atas, adalah alasan yang di anggapnya paling aman dan neutral untuk di pilih. Sesuai dengan konteks budaya komunikasi tidak langsung, hal inilah yang paling tepat untuk di lakukan dengan menjaga nilai nilai harmony pertemanan. Bukan hal yang buruk untuk berbohong dengan alasan di atas, karena ia ingin menjaga perasaan temannya sehingga ia memainkan gaya bahasa menolak dengan tidak langsung ini.
Tanpa curiga, si orang Amerika yang menganut gaya komunikasi langsung ini, akan percaya dan bisa menerima alasan temannya ini. Bisa saja orang Amerika ini akan merasa kecewa bahwa temannya ini tidak bisa ikut merayakan hari spesialnya. Tetapi hal ini tidak akan merusak nilai pertemanan ataupun terjadi miskomunikasi sebab kenyataan ada dateline yang harus di kerjakan temannya itu merupakan hal real yang harus di hadapai karena konsekuensi kerjanya. Kecewa tapi bisa menerima.
Namun ketika orang Amerika ini belakangan menemukan kenyataan ternyata alasan temannya itu tidak seperti kenyataannya, maka dampaknya bisa beragam. Konsekuensinya bisa terjadi kesalah pahaman berkomunikasi. Orang Amerika ini akan merasa tersinggung dan mencap temannya sudah berbohong, dan ini sangat menyakitinya. Tidak akan terlintas di pemahamannya bahwa ini di lakukan temannya ini karena semata mata ingin menjaga perasaaannya, yaitu untuk menjaga keselarasan nilai harmoni dan pertemanan di antara mereka. Bagi orang Amerika hal ini tidak akan pernah bisa di terimanya, karena budaya dengan gaya komunikasi tidak langsung ini bukanlah budaya yang di praktekkannya dalam berinteraksi dengan lawan bicaranya.
Perasaan kecewa dan tersinggung sebagai akibat dari gaya berkomunikasi tidak langsung temannya ini, akan lebih tinggi terasa lagi kalau sang orang Amerika ini sama sekali tidak memiliki previous knowledge atau pengetahuan sebelumnya tentang gaya berkomunikasi tidak langsung dari bangsa Indonesia. Kenyataan yang terpapar di depannya yaitu temannya sudah berbohong kepadanya dan ini akan menimbulkan konsekuesi tertentu. Bisa saja pertemanan kedua orang yang berbeda bangsa ini akan terganggu, tidak harmonis lagi, atau malahan bisa putus hubungan persahabatan di antara keduanya.
Selanjutnya apa yang terjadi ketika kasus di atas terjadi pada orang Indonesia yang berulang tahun? Akan terjadi respon yang berbeda dengan yang di atas, namun menariknya dapat menimbulkan konsekuensi yang sama. Bagi orang Amerika, kalau memang ia tidak berniat pergi di undangan temannya karena ia sudah terlanjur memiliki rencana sebelumnya, maka dengan gaya berkomunikasi langsungnya ia akan mengutarakan alasannya ini secara langsung kepada temannya, orang Indonesia yang mengundangnya ini. Ia tidak akan mencari alasan yang di buat tetapi secara langsung akan mengatakan misalnya, “sorry saya tidak bisa hadir di pestamu karena saya sudah terlanjur duluan ada jadwal keluar dengan paman saya di malam itu”. Bagi orang Amerika ini adalah gaya kepraktisan berbahasanya dan dengan langsung ia akan memberikan alasan ini.
Namun bagaimana tanggapan orang Indonesia ini atas pernyataan langsung temannya ini? Lebih lebih kalau orang Indonesia ini tidak memiliki previous knowledge (pemahaman sebelumnya) tentang budaya berbahasa langsung ini. Kemungkinan besar akan muncul rasa yang bukan hanya kecewa, tetapi lebih kepada tersinggung dan merasa di sepelekan. Mengapa ini bisa terjadi? Sebab di pemahaman orang Indonesia ini, temannya orang Amerika ini hanya lebih mementingkan jadwalnya keluar dengan keluarganya (yang di konteks budaya Indonesia yang bisa ada tertanam nilai nilai seperti lebih mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi). Orang Indonesia akan menganggap bahwa jadwal jalan bersama anggota keluarga di atas itu merupakan rutinitas keluarga, yaitu kepentingan personal dan rutinitas yang bisa saja di tunda dan di ganti di waktu yang lain.
Sebaliknya di pemahaman orang Amerika ini, ia merasa sah sah saja untuk mengatakan alasannya karena memang itu yang sebenarnya, daripada memilih alasan dateline kerja di atas. Bagi orang Amerika, mengatakan hal langsung ini justru merupakan solusi yang aman dan neutral daripada memilih cara orang Indonesia di atas yaitu mengangkat alasan kerja dan dateline di atas. Di pemahaman orang amerika ini, justru tidak etis baginya mengemukakan alasan yang di buat oleh orang Indonesia seperti yang di contohkan di atas, karena bukan itu yang terjadi sesungguhnya. Dalam konteks budaya berpikirnya, orang Amerika ini justru akan merasa sangat bersalah dan nilai harga dirinya akan terlecehkan kalau ia memilih alasan alasan yang di kemukakan oleh orang Indonesia di atas.
Bertemunya dua gaya bahasa yang berbeda dalam interaksi keseharian termasuk contoh yang di paparkan di atas dapat menimbulkan kesalah pahaman berbahasa. Dan hal ini akan berdampak pada konsekuesi yang di timbulkan.
Hubungan yang sudah terjalin bisa saja menjadi renggang, atau lebih parah lagi bisa putus hubungan persahabatan ini karena dua gaya bahasa yang berbeda ini yang di pengaruhi oleh cara pandang terhadap sesuatu dari angle atau sudut pandang yang berbeda. Itulah sebabnya semakin banyak kita mencoba mempelajari dan memahami akan adanya perbedaan budaya antar satu masyarakat maupun satu bangsa dengan bangsa lainnya, maka hal ini akan lebih meminimalisir timbulnya kesalah pahaman yang terjadi, sehingga menghindarkan timbulnya kekacauan yang lebih besar. (*)
Penulis adalah dosen di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo.