GOPOS.ID, GORONTALO – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo mengalokasikan anggaran paling besar untuk sektor pendidikan. Nilainya tak sekadar memenuhi ketentuan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tetapi mencapai 33,1 persen.
Pada APBD 2019, total anggaran pendidikan yang dialokasikan Pemprov Gorontalo senilai Rp647 miliar. Besarnya anggaran memberi pesan bahwa pemerintah provinsi benar-benar serius untuk mengintervensi sektor pendidikan dan aktivitas lain yang bersentuhan dengan fungsi-fungsi pendidikan.
“Masalah pendidikan sebagian dikelola oleh dinas kami, sebagian ada di OPD dan instansi lain dalam bentuk dana hibah. Semuanya dimaksudkan untuk bisa mendorong dan membantu peningkatan SDM di Gorontalo,” jelas Kepala Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Dikbudpora) Provinsi Gorontalo Ramlah Habibie, Senin (24/12/2019).
Kinerja sektor pendidikan di Gorontalo dapat dilihat dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pada 2019, nilai BOS yang dialokasikan lebih kurang Rp148 miliar. Peruntukkan membiayai BOS reguler SMA/SMK Diksus Negeri, BOS Afirmasi, BOS Kinerja, peningkatan akses layanan SMA, SMA Afarmasi peningkatan akses layanan SLB dan museum.
“Bapak Gubernur melarang ada sekolah negeri yang memungut biaya dari siswa entah itu uang pembangunan, uang buku dan sebagainya. Sebagai gantinya, operasionalisasi sekolah dibantu melalui dana BOS,” kata Ramlah.
Baca juga: Mengenang 100 Hari Wafatnya Eyang Habibie
Pendidikan jenjang D3, S1, S2 dan S3 tidak luput dari perhatian pemerintah. Putra-putri Gorontalo yang sedang kuliah dalam dan luar daerah diberi beasiswa. Sebanyak 869 orang ditanggung biaya pendidikannya dalam berbagai bentuk dengan anggaran lebih kurang Rp6,47 miliar.
Sejak beberapa tahun terakhir pemprov juga menjalin kerjasama dengan universitas-universitas dengan kualitas pendidikan yang spesifik. Sebut saja Akademi Teknologi Mesin Industri (ATMI) Solo. Sekolah vokasi industri itu kini mendidik tujuh putra-putri Gorontalo dengan biaya ditanggung pemerintah.
Ada juga Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) dan Universitas Presiden. Total mahasiswa untuk tiga perguruan tinggi itu berjumlah 21 orang. Ada juga program bantuan studi dan akhir studi tingkat D3, S1, S2 dan S3 yang jumlahnya mencapai 790 orang
Belum lagi dengan investasi SDM di bidang kedokteran dengan menyekolahkan 29 dokter S1 dan S2 di Universitas Sam Ratulangi Manado. Termasuk dokter spesialis untuk menunjang operasionalisasi rumah sakit umum provinsi.
“Untuk mendukung ketersediaan dokter di RS Ainun kita juga sedang menyekolahkan 10 orang calon dokter spesialis di berbagi universitas luar daerah. Jadi selama studi mereka dibiayai, begitu selesai mereka mengabdi untuk daerah,” ujar Ramlah membeberkan.
Intervensi sektor pendidikan tidak sampai di situ. Pemerintah provinsi ikut membantu operasionalisasi SD dan SLTP yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Tahun 2019 ini ada Rp171 miliar dihibahkan untuk pemerintah daerah.
Baca juga: Stok Beras Aman Hingga Awal Tahun 2020
Politeknik Gorontalo sebagai salah satu perguruan tinggi milik provinsi juga mendapat kucuran anggaran operasional sebesar Rp4,8 miliar. Bantuan studi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam bentuk tugas belajar dan izin belajar juga diberikan yang merogoh kocek daerah sebesar Rp230 juta.
Terkait pendidikan di Gorontalo, kesejahteraan guru, khususnya Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT), Pemprov Gorontalo menjadi yang paling serius. Jika di daerah lain masih ada GTT dan PTT yang bergaji ratusan ribu, maka di provinsi rata-rata bergaji setara UMP.Nilainya bervariasi antara Rp2,2 hingga Rp2,4 juta bergantung jumlah hari, jam mengajar dan indikator kinerja lainnya.
Pelimpahan kewenangan pengelolaan SMA/SMK ke provinsi membuat pemerintah harus menanggulangi pembiayaan GTT dan PTT yang jumlahnya mencapai 2.035 orang. 1.645 orang GTT dan selebihnya adalah PTT.
Pada akhir dari semua intervensi itu, harus diakui sektor pendidikan menjadi bagian yang paling sulit untuk diukur. Hasil intervensi tidak serta merta terlihat. Ia semacam investasi jangka panjang yang masih serba abstrak. Penentu keberhasilan tidak selalu soal besaran biaya dan banyak orang yang diintervensi tetapi kembali kepada setiap individu yang menjalaninya.
Apapun itu, sektor pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi sudah mencakup permasalahan dari hulu ke hilir. Dari guru ke murid. Dari SD hingga perguruan tinggi. Dari ahli ilmu sosial hingga ahli teknologi. Dari dokter muda hingga dokter sub spesialis. Dari polisi hingga tentara.
Jika keseriusan itu terus konsisten dijalankan, bukan tidak mungkin 10-20 tahun lagi Gorontalo akan melahirkan Bacharuddin Jusuf Habibie baru, atau juragan properti semisal Ciputra, atau kaliber sastra seperti Hans Bague Jassin. Semuanya berdarah Gorontalo.(adv-02/gopos)