Orang dengan masalah kejiwaan (OMDK) atau penyintas skizofrenia sering kali dipandang sebagai sebuah kecatatan. Padahal, OMDK seharusnya mendapat perhatian khusus.
Muhajir Matulu, Gopos.id
Stigma negatif kerap disematkan pada orang-orang dengan masalah kejiwaan (OMDK). Hal itu membuat OMDK hidup terlantar. Mereka berada di pinggir jalan, seorang diri, dan hidup sebatang kara. Padahal, OMDK juga merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Mereka membutuhkan perhatian serta interaksi satu dengan lainnya.
Keadaan menyedihkan yang dialami OMDK ini mengundang keprihatinan Triana Rahmawati, seorang mahasiswi yang menimba ilmu Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Apalagi saat itu Triana melihat banyak OMDK yang ada di seputaran kampusnya. Ia pun tergerak untuk memberikan perhatian bagi OMDK. Aksinya itu diawali pada 2012. Yaitu menghubungkan interaksi sosial antara OMDK dengan masyarakat.
Dalam perjalanan aksi interaksi sosial, Tirana menemukan betapa pentingnya untuk melakukan edukasi ke orang lain, terutama mereka yang mengalami masalah kejiwaan.
“Di situ kita butuhkan informasi yang lengkap dan jelas tentang masalah kejiwaan,” ungkap Triana dalam diskusi virtual Membangun Masa Depan Lebih Sehat Bersama Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards yang diselenggarakan GNFI Academy, 4 September 2023.
Dalam perkembangan lanjut, Triana bersama dua rekannya sesama mahasiswa Sosiologi, Febrianti Dwi Lestatri, dan Wulandarari pada 2014 mendirikan Griya Schizofren. Yaitu sebuah wadah anak-anak muda yang peduli atau mau melakukan aksi kebaikan untuk orang-orang dengan masalah kejiwaan.
Schizofren merupakan akronim dari Sc yang merupakan sosial; Hi yang memiliki arti humanity atau kemanusiaan; Zo memiliki arti Zona; dan Fren atau Friendly yang memiliki arti persahabatan. Griya Schizofren didirikan Triana dengan tujuan memberikan pendampingan bagi OMDK yang dijumpainya. Saling berinteraksi dan melakukan aktivitas harian seperti bermain, bernyanyi, menggambar, melipat kertas, dan salat berjemaah.
Pendirian Griya Schizofren berawal dari gagasan Triana yang menyadari jumlah psikolog maupun dokter spesialis kejiwaan di Indonesia masih terbatas. Sementara masyarakat tidak terbatas. Dengan situasi tersebut sejatinya, masalah kejiwaan menjadi konsen orang-orang yang nonpsikologis dan nonkedokteran. Yaitu masyarakat itu sendiri.
“Aku melihat salah satu masalah adalah stigma yang merugikan mereka. Hal itu karena tidak adanya informasi yang lengkap atau informasi yang didapatkan sebatas-sebatas dari media. Memang disadari media tidak bisa menampilkan semua karena ada sudut pandang yang terbatas,” tutur Triana dalam
Maka ketika Griya Schizofren hadir, banyak orang menghubungi melalui pesan (direct message) untuk bercerita bila dirinya mengalami masalah kejiwaan, atau keluarganya yang mengalami masalah kejiwaan.
“Mereka nanya bagaimana mengabarkan ini ke publik. Dari sisi sosiologis, dari sisi penerimaan masyarakat, sudut pandangnya penerimaan masyarakat,” kata Triana.
Tidak berhenti di situ, langkah edukasi terus dilakukan Triana melalui Griya Schizofren dengan menyasar orang-orang yang sudah terlanjur mengalami masalah kejiwaan. Orang-orang ini berada di panti-panti. Maka Griya Schizofren berkolaborasi dengan Griya PMI Peduli untuk memberikan edukasi. Kolaborasi ini dilakukan karena para OMDK yang berada di Griya PMI Peduli mayoritas hidup sebatang kara.
“Mereka terpisah dari keluarganya tanpa identitas. Dan itu tidak tahu sampai kapan, keluarga mereka susah dicari, mereka juga tak ingat keluarganya, dalam kondisi mereka sakit secara fisik dan jiwa. Nah tanggung jawab sosial masyarakat adalah membantu mereka baik secara operasional maupun interaksi sosial,” urai perempuan kelahiran Palembang, 15 Juli 1992 ini.
Menurut Triana, edukasi bagi orang dengan masalah kejiwaan yang dilaksanakan Griya Schizofren memberikan banyak pelajaran penting. Salah satunya membantu mencegah orang-orang mengalami masalah kejiwaan.
“Kita di situ ada pembelajaran secara tidak langsung. Orang dengan masalah kejiwaan adalah guru terbaik untuk kita. Dengan cara mereka memberitahu keadaan mereka, kondisi mereka, dan itu membuat orang-orang dengan masalah kejiwaan diterima apa adanya. Masyarakat belajar dari kondisi tersebut,” jelas Triana.
Membangun Kolaborasi
Stigma negatif yang muncul terhadap orang dengan masalah kejiwaan umumnya dipicu oleh informasi yang tak lengkap. Hanya ungkapan dari mulut ke mulut yang kebenarannya belum tervalidasi lengkap. Sementara ketika melakukan interaksi sosial, ternyata orang dengan masalah kejiwaan tak se-menyeramkan sebagaimana yang diceritakan banyak orang.
“Ternyata mereka tak melukai kita. Nah di situ maka terbangun kepercayaan antara orang dengan masalah kejiwaan dengan masyarakat. Muncul pertukaran kepercayaan,” ungkap Triana.
Menurut Triana, pendampingan terhadap OMDK oleh Griya Schizofren dilakukan dengan membangun kolaborasi yang melibatkan dokter spesialis kejiwaan maupun psikolog. Para dokter spesialis kejiwaan dan psikolog yang terlibat disebut dengan volunteer ahli. Selanjutnya kolaborasi dengan masyarakat yang disebut dengan volunteer interaksi.
“Dari kolaborasi itu kita berupaya menghadirkan kesejahteraan sosial bagi mereka (OMDK). Seperti ketika Agustus, kita buat acara Agustusan. Lebaran kita kirim hampers. Jadi hak-hak mereka sebagai masyarakat dikembalikan dulu untuk kesejahteraan sosial. Setidaknya mereka tidak terlepas dari bangsa, agama, dan negara,” urai Triana.
Sejalan dengan upaya menghadirkan kesejahteraan sosial, Griya Schizofren bersama volunteer berkolaborasi untuk menghadirkan pekerjaan bagi mereka yang ramah dengan kondisi OMDK. Kondisi yang berbeda dengan orang di sekitar mereka.
“Akhirnya kita melahirkan consulting. Nah consulting ini ada orang-orang yang dilibatkan di dalamnya sebagai fasilitator, dan analis,” kata Triana.
“Bagi orang-orang yang pendidikannya tidak bisa mencapai analis, maka diajarkan desain grafis. Menjadi souvenir sekaligus menjadi jembatan bagi orang lain untuk mengatakan mereka punya karya,” imbuh Triana.
Modul Pendampingan OMDK
Perjalanan Triana melakukan pendampingan bagi OMDK melalui Griya Schizofren diwarnai berbagai sejumlah tantangan. Salah satunya ketika Triana mengalami masa-masa sulit pada 2017. Ia sempat down dan berencana menyudahi aktivitas pendampingan sosial bagi OMDK.
Beruntung di tengah kesulitan yang dihadapi, sebuah harapan kembali bersinar. Aksi Triana melalui Griya Schizofren mendapat apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award 2017. Dukungan Astra tersebut menjadi sebuah energi baru bagi Triana dan volunteer di Griya Schizofren untuk bergerak maju.
“Banyak yang mau berkolaborasi. Ini sejalan dengan harapan kita melibatkan banyak masyarakat untuk menyelesaikan ini bersama-sama. Masalah OMDK ini tidak akan pernah selesai dari seorang Tria,” kata Triana.
Dalam perjalanan ke depan, Triana menyimpan sejumlah harapan. Antara lain ia ingin pendampingan yang lebih spesifik bagi OMDK melalui keluarga. Terutama mereka yang tidak banyak mengakses atau mendapatkan bantuan dari masyarakat.
“Mereka tidak terhubung dengan organisasi atau di panti, mereka tidak mendapatkan informasi. Kita ingin masuk ke pendampingan keluarga untuk membantu hak-hak mereka secara sosial,” ujar Triana.
Tak kalah menariknya, Triana ingin merilis modul pendampingan sederhana untuk orang-orang yang mengalami masalah kejiwaan. Lewat modul pendampingan itu, Triana berharap masyarakat memiliki tanggung jawab sosial untuk peduli dan memberikan perhatian dari sisi sosial bagi orang-orang yang mengalami masalah kejiwaan.(***)