Penulis: Alamsyah Palenga
Tadi saya bertemu dengan Jokowi dalam sebuah momen imajiner. Karena momennya imajiner, maka diskusinya pun imajiner.
Ya, dia Presiden Joko Widodo sang presiden, pemilik gelar insinyur dan mantan seorang pengusaha mebel, yang pernah sangat berhasil menjadi walikota Solo dua periode, Gubernur Jakarta satu periode dan saat ini memasuki tahun akhir jabatannya sebagai presiden Indonesia di masa jabatan yang kedua.
Kalau beliau seorang insinyur kehutanan maka saya seorang insinyur teknik.
Ada satu hal yang tidak bisa ditawar dari Jokowi, yakni pembangunan infrastruktur. Dia menilai tidak ada negara berpenghasilan tinggi jika infrastrukturnya tertinggal.
Masalahnya saat kali pertama Jokowi duduk di kursi kepresidenan, yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia sedang mengalami defisit infrastruktur selama bertahun – tahun sejak Krisis Ekonomi 1998. Kesenjangan infrastruktur terlalu besar karena kekurangan investasi.
Indonesia tidak mempunyai kemampuan membiayai infrastuktur. Saat itu, dari total APBN 2019 T, alokasi anggaran untuk infrastruktur hanya 577 T selama lima tahun, padahal untuk bisa mengejar ketinggalan, kita butuh kurang lebih 5500 T dalam kurun waktu yang sama.
Lantas sang presiden melakukan serangkaian langkah sistematis dan terukur khas seorang insinyur.Â
Alhasil dari total biaya infrastruktur di periode pertama 2015 – 2019, hanya 41% saja yang menggunakan APBN. Sisanya adalah BUMN dan swasta.
Bahkan di periode kedua, dari total kebutuhan Rp 6.445 triliun, porsi pemerintah menurun ke 37% saja. Sementara BUMN 21% dan porsi swasta 42%.
Kini jika dikumulatifkan hingga Desember 2022, pemerintahan pakde (begitu panggilan lain beliau), Jokowi berhasil menyelesaikan 152 proyek strategis nasional dan sudah beroperasi penuh.Â
Halaman ini tentu tidak akan cukup untuk menuliskan berbagai capaian Jokowi. Beliau pemimpin yang memiliki corak berfikir yang sangat mendasar sekaligus sangat visioner.
Pembangunan infrastruktur bagi Jokowi bukan semata-mata soal pemerataan ekonomi namun juga soal persatuan.
“Pembangunan infrastruktur kita mesti berprinsip Indonesia-sentris, mas Al”, begitu kata beliau ke saya.
“Misi membangun dari pinggiran, bermakna memberi prioritas tinggi pada daerah, harus terlaksana”, lanjutnya.
Sayang politik dalam negeri kita tidak mau jujur melihat tantangan masa depan Indonesia sebagai sebuah hal yang perlu dikerjakan bersama.Â
Belum apa-apa, politik hanya melihat bagaimana caranya berkuasa paska Jokowi. Tidak perduli seberapa penting infrastruktur itu, kalau sudah politik semuanya tidak penting.
Terus semangat pakde, pencintamu bertebaran di seantero negeri.