GOPOS.ID, KOTA GORONTALO – Lukman Kasim, Kepala Dinas Pendidikan Kota Gorontalo hadir dengan pandangannya mengenai eksistensi Ijazah Paket C yang akhir-akhir ini menjadi polemik ditengah terpilihnya calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tahun 2024. Menurutnya, polemik itu biasa terjadi selain disebabkan oleh adanya intrik politik tertentu, juga karena masih banyak diantara masyarakat kita yang memiliki pandangan sinis terhadap para lulusasn Paket C, bahkan mereka beranggapan ijizah Paket C mudah untuk diperoleh karena dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang kurang kafabel.
Lebih jauh Lukman menjelaskan bahwa paradigma masyarakat seperti itu lahir justru karena adanya pengalaman masa lalu bahwa para lulusan Paket C di duga mendapatkan ijazah dengan cara-cara yang mudah. Padahal menurut Lukman, pandangan yang demikian belum tentu benar juga, sebab sejak berdirinya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan lembaga lain sejenis yang menghasilkan lulusan Paket A, B, C dan menjadi bagian dari jalur pendidikan nonformal, sejauh ini telah dikelola dengan mengikuti standar-standar yang terukur dan berpijak pada ketentuan peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan.
Di bagian lain, Doktor jebolan UNHAS ini juga mengakui bahwa sejauh ini masih ada diatara PKBM bukan saja di Kota Gorontalo tetapi juga PKBM di wilayah Provinsi Gorontalo yang belum bisa menyesuaikan dengan standar yang ditetapkan, seperti pemenuhan Tutor, Sarana Prasarana pendukung dan utilitas lainnya. Kondisi ini terjadi karena sebelum berdirinya PKBM, pada mulanya masih berbentuk Kelompok Belajar yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Eksisten Kelompok Belajar ini pada awalnya belum memperhatikan pemenuhan persyaratan seperti kualifikasi tutor, standar sarana prasana pendidikan dan kebutuhan utilitas lainnya seperti listrik, air dan sebagainya. Namun demikian hadirnya Kelompok Belajar ini di antara sekitar tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 tidak sepenuhnya dapat disalahkan sebab peraturan perundangan juga mengakuinya sebagai lembaga penyelenggara pendidikan nonformal seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991.
Kepala Dinas yang terkesan low profil ini mencoba memberi gambaran, bahwa di wilayah pelosok pedesaan, pegunungan dan wilayah pesisir pantai bisa dijumpai Kelompok-kelompok Belajar yang hanya menempati gubuk rewot, balai desa, sanggar tani/nelayan, dan rumah-rumah penduduk yang jauh dari syarat kelayakan. Kondisi ini tidak mengherankan karena kebijakan pendidikan saat itu masih seperti itu adanya, terang Lukman. Menurutnya, selain keterbatasan anggaran yang belum sepenuhnya dapat menjangkau peningkatan kualitas akses layanan pendidikan, maka perhatian pemerintah saat itu lebih tertuju kepada upaya menekan angka putus sekolah dengan membangun kesadaran masyarakat untuk dapat menjangkau layanan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada.
Ketika disentil mengenai syarat pendirian PKBM, maka dengan nada santai Lukman menjelaskan bahwa lahirnya PKBM bermula dari Kelompok Belajar sebagaimana yang di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1991. Kemudian di sekitar tahun 1998, Direktorat Jenderal Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Luar Sekolah menelorkan sebuah kebijakan rintisan lembaga pendidikan nonformal dengan mendorong semua Kelompok Belajar yang berkembang di masyarakat dikembangkan menjadi pusat kegiatan belajar masyarakat yang sekarang dikenal dengan nama PKBM. Oleh karena itu tegas Lukman, rujukan awal pembentukan PKBM mengacu kepada PP No, 73 Tahun 1991 dan kebijakan rintisan lembaga pendidikan nonformal. Untuk kondisi saat ini, proses pendirian PKBM merujuk pada PP No. 17 Tahun 2010 dan Permendikbud No. 81 Tahun 2013, yang persyaratannya sangat mudah dijangkau oleh masyarakat yang ingin berperanserta dalam pendidikan, terang Lukman.
Menempis adanya tudingan mengenai penggunaan blangko ijazah Paket C yang di duga palsu sebagaimana yang menimpa seorang caleg dari partai tertentu di Kabupaten Boalemo dengan inisial FD, maka Lukman mencoba memberi klarifikasi bahwa tudingan yang terkait dengan penggunaan blangko ijazah palsu sama sekali tidak mengandung unsur kebenaran, mengingat permintaan blangko ijazah ke pihak Kementrian Pendidikan senantiasa memperhatikan jumlah peserta ujian sebagaimana yang terdaftar dalam Dapodik. Meniurut Lukman, Dinas Pendidikan Kota Gorontalo telah memeriksa secara seksama dan teliti tidak ada unsur yang mengarah kepada pemalsuan blangko ijazah seperti ijazah yang dimiliki oleh Caleg FD.
Selain itu Lukman menambahkan, sejak diberlakukannya aplikasi Data Pokok Pendidikan (DAPODIK), ruang untuk melakukan pemalsuan kepesertaan warga belajar di semua satuan pendidikan, telah tertutup rapat karena sistem Dapodik tidak dapat diintervensi apalagi di utak-atik oleh tangan-tangan kotor manusia. Sambil merogok rokok dari kantongnya, Lukman menjelaskan bahwa kepesertaan dari seorang caleg dengan inisial FD resmi terdaftar pada Dapodik tahun 2018 di PKBM Bukit Tenilo dengan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) 3786837064. dan berhasil lulus pada tahun 2021 dengan nomor ijazah DN/PC/0047144.
Disisi lain Lukman juga menjelaskan bahwa terkait dengan penanggalan ijazah dari caleg yang bersangkutan yang dinilai oleh beberapa pihak tidak sesuai ketentuan yang berlaku, maka dengan santai Dr. Lukman memberikan klarifikasi bahwa ada kelaziman pada saat informasi peraturan yang berkenaan dengan penulisan ijazah terlambat diterima oleh semua PKBM di wilayah hukum provinsi, maka Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo dapat mengambil kebijakan mengenai penanggalan ijazah. Sehingga itu kondisi ini berlaku bagi semua lulusan PKBM, tidak hanya di Kota Gorontalo melainkan berlaku pula bagi seluruh lulusan PKBM pada tahun 2021 di seluruh Wilayah Provinsi Gorontalo. Dengan demikian menurut Dr. Lukman, bila ingin mempersoalkan perihal ini, maka seharusnya jangan dialamatkan pada seseorang sebagaimana yang dialami oleh Caleg FD, melainkan harus ditujukan pada semua lulusan PKBM di Provinsi Gorontalo yang jumlahnya ratusan bahkan mungkin mencapai seribuan orang. Menurut Dr. Lukman, penanggalan ijazah yang dilakukan pada tanggal pengumuman kelulusan sama sekali tidak bermasalah dan bahkan tidak mendapat teguran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada saat itu. Dari penjelasan ini dapat difahami bahwa Ijazah dari Caleg berinisial FD resmi dan sah demi hukum.
Saat ditanya mengenai kebenaran Caleg yang bersangkutan mengikuti proses pembelajaran, Kepala Dinas ini memberikan klarifikasi bahwa Caleg yang bersangkutan (FD) mengikuti kegiatan belajar secara mandiri karena pendekatan belajar seperti itu dimungkinkan bagi peserta didik yang sibuk bekerja dan terkendala oleh faktor geografis sehingga mengalami kesulitan mengakses kegiatan belajar secara langsung di PKBM. Namun demikian menurut Dr. Lukman bahwa yang bersangkutan sesuai penjelasan dari para tutor dan pengelola PKBM yang bersangkutan beberapa kali mendatangi PKBM dengan jadwal yang tidak terstruktur dan sekaligus menjemput modul pelajaran dari para tutor.
Ketika disentil mengenai perbedaan sistem pembelajaran yang berlaku di PKBM dengan pendidikan formal, maka Dr. Lukman mencoba memberikan pemahaman bahwa sistem pembelajaran yang berlaku di PKBM tidak sebagaimana halnya yang berlaku pada pendidikan formal seperti SD, SMP dan SMA/SMA, melainkan sistem pembelajaran PKBM disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar. Menurutnya, kondisi warga belajar yang sedang bekerja dengan beragam jenis pekerjaan, potensi geografis, masalah ekonomi yang melatari kehidupan warga belajar, senantiasa menjadi pertimbangan terhadap pilihan pendekatan pembelajaran di PKBM. Lukman dengan lugas mengilustrasikan, beberapa kasus yang dapat ditemukan antara lain banyak diantara PKBM yang menerapkan model Home Schoolling dimana peserta didik belajar secara mandiri di rumah dengan modul atau materi pelajaran yang diterima dari para tutor dan pamong. Kondisi seperti ini sering ditemukan pada mereka yang sibuk bekerja sehingga tidak dapat meninggalkan pekerjaan secara rutin, misalnya para artis/aktor film, pekerja buruh kasar, nelayan, petani, mereka yang tinggal di wilayah pelosok dan pegunungan, karyawan perusahaan, dan lain sebagainya. Disisi lain Lukman juga mengatakan tidak sedikit pula PKBM yang menerapkan pendekatan pembelajaran secara tutorial dengan menghadirikan warga belajar yang tinggal lebih dekat dengan lokasi PKBM dengan sistem penjadwalan yang berbeda dengan mereka yang tidak dapat meninggalkan pekerjaan karena faktor pekerjaan dan juga faktor kendala geografis.
Kegiatan belajar secara mandiri maupun tatap muka melalui pendekatan tutorial secara klasikal tidak berlangsung secara terstruktur, melainkan semua tergantung pada kesiapan belajar dengan segala kondisi yang melatarinya. Oleh karena itu menurut Lukman, tuntutan atas terpenuhinya syarat administratif seperti absensi kehadiran bukan menjadi sesuatu penghalang sepanjang warga belajar dapat memenuhi kegiatan-kegiatan tertentu seperti pelaksanaan evaluasi belajar dan kegiatan kesetaraan lainnya yang dilaksanakan oleh para tutor PKBM. Bahkan menurut Lukman, pada saat terhadinya pandemi Covid-19 awal tahun 2020 sampai dengan akhir tahun 2021, semua satuan pendidikan di seluruh Indonesia dilarang melaksanakan kegiatan pembelajaran secara tatap muka. Kebijakan saat itu juga berimbas pada kegiatan pembelajaran di semua PKBM, sehingga tuntutan atas terpenuhinya absensi kehadiran peserta didik/warga belajar menjadi sesuatu yang tidak terlalu dianggap penting sepanjang warga belajar mampu belajar secara mandiri di rumah dan terdapat cukup waktu bagi warga belajar PKBM menerima materi pelajaran secara daring.
Ketika ditanya soal sikap beliau dalam menghadapi berbagai tudingan miring yang dialamatkan kepada PKBM lebih khusus PKBM Bukit Tenilo yang berada di bawah naunagan Dinas Pendidikan Kota Gorontalo, maka dengan tegas Lukman mengatakan hendaknya pihak-pihak tertentu berusaha menahan diri dan hati-hati dalam membangun opini agar masyarakat jangan terjebak dengan informasi dan berita yang belum tentu mengandung kebenaran. Disisi lain Lukman selaku Kepala Dinas Pendidikan Kota menegaskan bahwa posisi kami sangat jauh dari urusan bela membela dan sama sekali tidak memiliki kepentingan tertentu, apalagi kepentingan politik, tegas Lukman. Penjelasan ini semata-mata ingin membangun kesadaran bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak sesuai perundang-undangan yang berlaku. Tidak ada seorangpun dapat menghalangi, kecuali orang itu telah dirasuki oleh budaya “Tutuhiya” yang merupakan warisan budaya negatif yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Gorontalo, tandas Lukman. (*)