Sepi. Begitulah kira-kira pemandangan aktivitas di kantor Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulawesi Utara (Sekarang PT Bank Sulawesi Utara-Gorontalo atau BSG)–cabang Tutuyan ketika mantan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Sehan Salim Landjar berniat memindahkan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Pemkab Boltim ke Bank BNI.
Itu terjadi sekitar tahun 2014 silam. Waktu itu, kira-kira kas daerah yang dikelola Bank Sulut cabang Tutuyan jumlahnya berkisar Rp600 miliar.
Sebut saja Pak Tun. Yang waktu itu menjabat Kepala Bank Sulut Cabang Tutuyan. Pak Tun langsung tancap gas dari Manado ke Tutuyan (ibukota Boltim) begitu mendengar kabar “magis” itu. Padahal waktu itu Pak Tun sedang rapat bersama direksi di Manado, tapi langsung diskors gara-gara kabar horor itu.
Secepat kilat, tak sampai satu jam, Pak Tun sudah tiba di Kantor Bupati Boltim. Bayangkan, bagaimana gentingnya situasi itu.
Itulah penggalan cerita dari kolega saya. Yang pernah bertugas di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Boltim.
Situasi seperti itulah, yang menurut saya, sedang terjadi di internal BSG saat ini. Memang kelihatannya adem ayem. Tapi sudah muncul isu santer soal rencana Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) Rabu pekan lalu akan dianulir.
Anda sudah tahu: bahwa pemda di Gorontalo mengancam akan menarik modalnya dari BSG.
Anda juga sudah baca: Pemkab Boalemo sudah menyepakati RKUD akan dipindahkan ke Bank BRI cabang Limboto. Begitu juga rencana Pemkab Gorontalo ke Bank Mandiri, dan Pemkot Gorontalo ke Bank BNI. Dan beberapa Pemda lainnya sedang dalam persiapan.
Saya sudah membaca data kepemilihan saham Pemda Gorontalo di website milik BSG. Total sahamnya berkisar 18,65 persen.
Tapi, bukan soal nilai saham itu yang membuat BSG ketar-ketir. Nilai sahamnya terbilang kecil jika dibandingkan dengan kas daerah yang saat ini sedang mereka kelola–meski itu tidak serta merta bisa dikomparasi.
Tapi ini soal RKUD!
Soal kelolaan dana jumbo yang berpotensi “hilang”. Baik itu dana yang bersumber dari kas pemerintah daerah maupun dari deposito milik Pemda.
Saya tidak tahu persis berapa jumlah pasti dana APBD se-Gorontalo. Tapi di Pemprov Gorontalo saja, APBD 2025 yang ditetapkan pada bulan September 2024 lalu, sebesar Rp8,10 triliun. Itu belum termasuk enam daerah Kabupaten/Kota lainnya di Gorontalo.
Dana daerah itu yang selama ini digunakan/disalurkan BSG dalam bentuk kredit kepada ASN dan UMKM.
Jelas sudah, kehilangan potensi dana kelolaan milik daerah ini akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan. Dalam hal ini tidak hanya bicara profit, tapi nilai kapitalisasi perusahaan –dimana BSG sebagai perusahaan Tbk– berpotensi akan jatuh.
Peristiwa ini juga bakal membuat BSG berpotensi kehilangan investor besar. Karena anda sudah tahu: salah satu investor besar di BSG adalah Mega Corpora Grup, milik Chairul Tanjung. Yang sahamnya berkisar 24,82 persen.
Sebaliknya. Bagaimana jika Pemda di Gorontalo bersatu membentuk bank sendiri dengan dana kelolaan yang sangat besar ini.
Secara otomatis, pemda Gorontalo akan punya otoritas penuh untuk menentukan langkah perusahaan. Melakukan ekspansi bisnis. Termasuk memanfaatkan jaringan anak daerah di level nasional, yang memiliki reputasi internasional di bisnis keuangan.
Orangnya anda sudah tahu. Pak Adhan sudah menyebutnya berkali-kali. Benar sekali, dia pemilik Saratoga dan Recapital.
Pasti orang seperti “dia” akan sangat paham: bekerjasama dengan bank yang sudah pasti memiliki dana kelolaan jumbo sendiri akan jauh lebih safety.
Ada juga yang jauh lebih penting. Mungkin ini: ASN dan UMKM di Gorontalo bisa memperoleh akses kredit dengan bunga yang jauh lebih murah. Dibanding dengan yang, sudahlah..
Jadi sebenarnya, mana yang lebih menguntungkan: Nebeng di BSG atau punya bank sendiri?
Saya sudah baca ada ekonom muda Gorontalo yang menyebut akan kehilangan deviden jika menarik saham dari BSG. Sebaliknya, jika Gorontalo punya bank sendiri maka devidennya pasti akan lebih besar karena kebijakan perusahaan dikendalikan penuh oleh Pemda Gorontalo. Itu menurut saya.
Yang saya ketahui, tak semua laba bersih perusahaan langsung dibagikan dalam bentuk deviden. Karena itu tergantung langkah bisnis perusahaan. Di sisi lain, bila Gorontalo punya bank sendiri, perseroan dapat menghemat biaya operasional yang terkesan besar oleh perusahaan sebelumnya. Yang otomatis berdampak pada besaran deviden yang dibagikan.Â
Dia juga menyebut ada ketidaksabilan fiskal. Benarkah? Menurut saya sebaliknya. Penerimaan fiskal akan lebih besar dan lebih pasti.
Itu saja.Â
Penulis: Alex – Wartawan Ekonomi
(Tulisan ini tidak mewakili pandangan redaksi Gopos.id dan sepenuhnya tanggung jawab penulis)