Wulandari menarik napas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Perempuan berhijab itu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nggak lagi, trauma saya,” ucap Wulandari mengenang pengalamannya menjadi nasabah pinjaman online alias pinjol, kepada gopos.id, Sabtu (13/8/2022).
Medio September 2020, Ulan (sapaan akrab Wulandari) mengalami masalah keuangan akibat efek domino Corona Virus Disease (Covid-19). Pandemi Covid-19, yang melanda Gorontalo sejak awal Mei 2020, berdampak terhadap aktivitas perusahaan tempat Wulan bekerja. Penghasilan yang diterima Ulan ikut berkurang. Di sisi lain kebutuhan biaya hidup malah cenderung naik. Tabungan yang tersisa lambat laun makin menipis.
Di tengah upaya bertahan hidup dalam situasi ekonomi yang sulit, Ulan harus berhadapan masalah yang cukup pelik. Ia harus segera melunasi sewa kontrakan tempat tinggal yang sudah lewat tiga bulan.
“Uang saya dan suami masih kurang. Butuh sekitar sejuta (Rp1 juta) lagi, ” ujar Ulan yang tinggal di Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo itu.
Ulan sempat berupaya meminjam dari sahabat dan kenalan dekat. Tapi situasi yang dialami para sahabat tak jauh beda dengan nasib dialaminya. Hingga kemudian sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponsel milik Ulan. Isi pesan menawarkan pinjaman online.
“Penawarannya cukup menggiurkan. Proses cepat, limit pinjaman sampai Rp10 juta, bunga rendah 0,5 persen, dan tenor sampai 12 bulan,” tutur perempuan 37 tahun itu.
Dalam situasi mendesak plus terpikat penawaran yang menggiurkan, Ulan akhirnya merespon penawaran pinjaman online. Ia mendapat pinjaman Rp1 juta dengan masa cicilan selama 6 bulan. Proses pengajuan hingga persetujuan pinjaman terbilang cukup cepat. Sekitar dua hari setelah pengajuan, uang pinjaman sudah cair.
Tapi tak disangka masalah yang dihadapi Ulan makin rumit. Bunga pinjaman yang ditawarkan ternyata hitungan per hari. Otomatis bunga pinjaman yang riil adalah 15 persen per bulan. Pengembalian pinjaman yang menjadi kewajiban Ulan membengkak. Mencapai hampir dua kali lipat.
Selain nilai pinjaman membengkak, ibu dua anak itu sempat menerima perlakuan kurang mengenakkan terkait tempo tagihan. Seminggu sebelum jatuh tempo tagihan, dirinya kerap dihubungi dan diingatkan mengenai tagihan oleh orang yang mengaku dari perusahaan pinjaman online. Bergantian orang dari pagi hingga malam hari.
“Ditelpon terus. Ditagih terus kapan mau bayar, nada bicaranya juga nggak enak didengar,” urai Ulan.
Kisah Wulandari ini merupakan bagian kecil dari sekian ragam cerita para nasabah yang mengalami masalah berkaitan Fintech Peer-to-Peer Landing (P2PL) atau lebih dikenal dengan istilah pinjaman online (Pinjol). Minimnya pemahaman seluk beluk pinjaman online ditambah desakan kebutuhan, membuat banyak masyarakat rentan menjadi korban pinjaman online ilegal.
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi, menjelaskan gap (jarak) antara tingkat inklusi keuangan dan tingkat literasi keuangan di Indonesia masih cukup lebar. Hal itu membuat dunia digital memiliki potensi kerawanan. Banyak orang yang bisa mengakses produk keuangan tetapi hanya sedikit yang memahami produk keuangan yang diaksesnya. Hal ini berpotensi memunculkan persoalan di kemudian hari.
“Hasil survei (Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan) pada 2019 menunjukkan tingkat inklusif keuangan di Indonesia sudah mencapai 76 persen. Sementara tingkat literasi keuangan baru mencapai 38 persen,” ujar Friderica saat menjadi keynote speaker webinar bertajuk “Sehat Kelola Dana dengan Fasilitas Pinjol dan Uang Digital”, yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI) serangkaian HUT ke-61 IKWI, Selasa (9/8/2022).
Webinar dibuka Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Atal S Depari, dan menghadirkan pembicara Ketua Klaster Pendanaan Multiguna AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia), Rina Apriana; Head of Customer Relationship Management (CRM) Maucash, Lalavenya Sara; Head of Partnership Astrapay, Alvin Kosasih; Head of Funding ALAMI Group, Muhammad Tiarso, serta Konsultan World Bank, CEO Didiq & Tekfinra, Grace Citra Dewi.
Menurut Friderica, OJK telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi menyikapi perkembangan fintech lending. Hingga Juni 2022, Satgas Waspada Investasi telah menemukan dan menghentikan 1.100 perusahaan investasi ilegal. Untuk Pinjol ada lebih 4.000 perusahaan yang dinyatakan ilegal, serta 165 gadai ilegal.
“Kami senantiasa mengimbau kepada masyarakat agar bijaksana memilih fintech,” kata Kiki, sapaan akrab Friderica.
Imbauan bijak memilih fasilitas pinjol turut disampaikan Ketua PWI, Atal S. Depari. Menurut Atal, banyak masyarakat yang menghadapi masalah akibat minimnya pengetahuan dan pemahaman mengenai fasilitas pinjol. Oleh karena itu pemahaman mengenai fasilitas pinjol sangat penting.
“Per Oktober 2021 terdapat data 19.711 kasus pinjol. Ini adalah data OJK selama 2019-2021,” ujar Atal saat membuka Webinar.
Pentingnya pemahaman masyarakat akan fasilitas fintech lending atau pinjol mendorong OJK dan lembaga fintech senantiasa melakukan sosialisasi dan edukasi. Seperti yang dilakukan ALAMI Sharia, platform pendanaan peer-to-peer syariah. Head of Funding ALAMI Group, Muhammad Tiarso, mengatakan pihaknya memiliki unit khusus yaitu ALAMI Institute, yang memberikan edukasi dan literasi terkait teknologi fintech berbasis syariah secara online.
“Kita konsisten pada kampus-kampus, media sosial, termasuk pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dalam hal pemanfaatan teknologi yang lebih baik untuk menjalankan bisnis, khususnya keuangan syariah,” kata Muhammad Tiarso.
Pinjol Legal vs Pinjol Ilegal
Perkembangan teknologi informatika di tanah air memang berlangsung pesat. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan, penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 77,02 persen pada 2021-2022. Perkembangan ini membawa perubahan signifikan dalam berbagai lini kehidupan masyarakat. Tak terkecuali dalam kegiatan perekonomian seperti hadirnya Fintech Peer-to-Peer Landing (P2PL) atau pinjaman online (pinjol).
Seiring bergulirnya waktu, lembaga penyelenggara fintech lending terus bertambah. Namun situasi tersebut belum diimbangi dengan kecakapan masyarakat mengelola keuangan, khususnya memanfaatkan dan mengelola kemajuan teknologi di bidang keuangan. Akibatnya banyak masyarakat yang pada terjebak masalah pinjol ilegal.
Head of Customer Relationship Management (CRM) Maucash, Lalavenya Sara, mengemukakan cara membedakan fintech lending atau pinjol legal dan ilegal adalah memastikan terdaftar/memiliki izin dan diawasi OJK. Selanjutnya kejelasan informasi mengenai perjanjian, biaya pinjaman, tanggal jatuh tempo hingga denda keterlambatan pembayaran pengembalian.
“Fintech lending yang legal, informasi mengenai biaya pinjaman hingga denda itu transparan, terbuka. Berbeda dengan yang ilegal, informasinya tidak jelas,” kata Lalavenya.
Ketua Klaster Pendanaan Multiguna, Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI), Rina Apriana, mengingatkan agar masyarakat berhati-hati bila menerima penawaran pinjol yang bombastis.
“Hati-hati bila menerima penawaran yang bombastis, segera cair. Apalagi kita belum pernah menjadi costumer-nya. Bisa jadi itu (pinjol) ilegal,” ujar Rina.
Menurut Rina Apriani, fintech lending yang ada di bawah naungan AFPI memiliki aturan yang harus diikuti dan mengacu pada ketentuan-ketentuan OJK. Rina mengajak masyarakat ketika mendapat tawaran pinjol segera mengecek legalitas lembaga fintech lending atau pinjol yang memberi tawaran tersebut. Pengecekan legalitas dapat dilakukan melalui website/kontak OJK.
“Biasanya yang terdaftar itu aman. Kami cukup ketat dalam mengawasi anggota, secara regulator OJK juga mengawasi,” kata Rina.
Tips Meminjam Fasilitas Pinjaman Online
Mekanisme yang mudah dan proses persetujuan yang singkat, membuat banyak masyarakat memanfaatkan layanan fintech lending atau pinjaman online (pinjol) untuk memenuhi kebutuhan keuangan hingga mengembangkan usaha. Bagi Anda yang ingin memanfaatkan layanan pinjol tak ada salahnya memperhatikan beberapa tips berikut agar tak terjerat pinjol ilegal.
Pertama, terdaftar dan memiliki izin OJK. Saat menerima tawaran faslititas pinjol, ada baiknya memastikan lembaga pinjol tersebut terdaftar dan memiliki izin OJK. Untuk mengecek izin lembaga pinjol dapat dilakukan melalui website OJK dengan alamat: www.ojk.go.id, layanan telepon kontak 157, serta WhatsApp 081-157-157-157.
“Harus dipahami izin pendirian perusahaan berbeda dengan izin penyelenggaraan. Jadi pastikan fintech lending-nya memiliki izin penyelenggaraan dari OJK,” ujar menurut Friderica Widyasari Dewi, Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
Kedua, lunasi cicilan tepat waktu. Masyarakat yang meminjam di fintech lending diharapkan senantiasa ingat waktu atau jatuh tempo pembayaran/pengembalian pinjaman. Sebab bila pengembalian pinjaman dilakukan lewat dari jatuh tempo maka berpotensi dikenakan denda.
Ketiga, sesuaikan besaran pinjaman dengan kebutuhan. Masyarakat yang hendak mengajukan pinjaman pada fintech lending diharapkan dapat memperhitungkan besaran kebutuhan dengan kemampuan membayar pengembalian, serta tidak berlebihan.
“Kalau minjam itu sesuai kebutuhan saja. Jangan berlebihan dan untuk kegiatan yang produktif, untuk yang perlu. Jangan untuk konsumtif, belanja dan lain sebagainya,” tutur ibu yang pernah menjabat Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) itu.
Head of Customer Relationship Management (CRM) Maucash, Lalavenya Sara, menyarankan agar besaran pinjaman idealnya tidak lebih dari 30 persen dari total penghasilan. Tujuannya agar pinjaman yang diberikan dapat dibayarkan sesuai tenggat waktu jatuh tempo, serta pembayaran pinjaman berjalan lancar.
“Pinjam sesuai kebutuhan, dan jangan meminjam melebihi kemampuan kita,” ujar Lalavenya.
Keempat, hindari gali lubang tutup lubang. Pinjaman yang diperoleh dari lembaga penyelenggara fintech atau pinjol adalah hutang, sehingga jika memanfaatkan pinjol untuk menutupi hutang maka hal itu bisa membahayakan sirkulasi keuangan. Cara gali lubang tutup lubang dengan memanfatkan layanan Pinjol hanya akan menambah banyak tagihan yang bisa jadi makin sulit untuk dilunasi.
“Kelima, ketahui terlebih dahulu bunga dan denda sebelum meminjam. Pelajari dulu bunga dan denda yang ditawarkan, karena ini akan memengaruhi jumlah tagihan yang harus dibayarkan,” kata Lalavenya.
Pinjaman Produktif
Kehadiran lembaga penyelenggara fintech yang terus tumbuh di tanah air ikut memberi dampak positif bagi masyarakat dalam hal akses layanan keuangan. Layanan fintech tidak hanya terbatas pada pinjam meminjam yang bersifat konsumtif, tetapi dapat dimanfaatkan masyarakat menjadi pinjaman produktif.
Head of Funding ALAMI Group, Muhammad Tiarso, mengatakan melalui teknolofi fintech syariah pihaknya mendorong pembiayaan ke dalam sektor-sektor yang produktif. Meliputi semua medium enterprise (usaha menengah) sektor logistik, kesehatan, pertambangan, power supply, hingga small medium enterprise (UMKM).
“Proyek yang akan kita biayai kita lakukan analisa, scoring. Setelah proyeknya siap, feasible, maka kami tawarkan ke financial institution seperti bank,” jelas Muhammad Tiarso.
ALAMI telah mengakuisisi salah satu BPR Syariah dan mengubahnya menjadi Hijrah Bank. Pada 2021, ALAMI telah mencairkan pinjaman sebesar Rp1,6 triliun. Selanjutnya pada 2022 ini telah menyalurkan sekitar Rp3,2 triliun dengan rata-rata pencairan setiap bulan senilai Rp300 miliar.
Head of Partnership AstraPay, Alvin Kosasih, mengungkapkan layanan fintech dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk pemasukan tambahan. Seperti memanfaatkan promo cashback yang ditawarkan oleh lembaga layanan fintech.
“Ini menjadi salah satu unggulan yang menggunakan layanan keuangan online dibandingkan layanan tunai atau cash. Misalnya kita bayar sesuatu, jumlahnya sudah sesuai, tepat waktu. Nah kalau itu secara cash, jarang ada ketika kita bayar lalu dikembalikan sekian. Tetapi kalau di online, ada promo cashback,” tutur Alvin Kosasih.
Menurut Alvin Kosasih, promo cashback yang menjadi salah satu unggulan layanan keuangan online ini, dapat dimanfaatkan sebagai peluang pemasukan tambahan.
“Promo cashback dapat dijadikan sebagai tabungan,” ungkap Alvin Kosasih.
AstraPay, lanjut Alvin Kosasih, sebagai lembaga penyelenggara fintech yang telah terdaftar di OJK, turut menyediakan promo cashback 1-10 persen untuk pembayaran cicilan/tagihan. Aplikasi AstraPay dapat digunakan di Astra, Toyota, Daihatsu, hingga Honda.
“Bapak, ibu yang membayar cicilan menggunakan aplikasi AstraPay malah dapat duit,” urai Alvin Kosasih.
Mengutip laman astrapay.com, AstraPay adalah layanan alat pembayaran berbasis mobile yang diterbitkan oleh PT. Astra Digital Arta (dengan merk dagang AstraPay). AstraPay merupakan layanan uang elektronik, dan nilai uang elektronik yang dikelola di AstraPay bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.(hasan/gopos)