Oleh: Fitri Usman
Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang dimuat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Pasal 218 dan Pasal 219 a quo masih terus menimbulkan diskursus menarik dihampir setiap lapisan masyarakat. Dalam pasal tersebut akan dipidana maksimal 3 tahun 6 bulan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Lebih lanjut jika tindakan tersebut dilakukan melalui sarana teknologi informasi, maka ancaman hukumannya menjadi 4 tahun 6 bulan.
Adanya pasal penghinaan terhadap presiden mensyaratkan agar setiap individu warga negara dalam memberikan kritikan terhadap pencapaian kinerja (baik atau buruk) pemerintah harus disampaikan dengan kerangka yang konstruktif. Namun pada sisi yang berbeda, rumusan pasal ini sesungguhnya sangat mengganggu ruang gerak publik dalam mendeskripsikan pikirannya berkaitan dengan kinerja presiden (pemerintah) dihadapan publik baik lisan maupun tulisan (media sosial). Publik merasa terganggu bukan sekadar pasal ini mengangkangi kemampuan berpikir warga negara tetapi secara perlahan ketentuan pidana yang termuat dalam pasal tersebut secara perlahan mereduksi esensi negara demokrasi kedalam pengertian yang sangat sempit.
Sekiranya yang dimaksud adalah kebebasan menyampaikan pendapat dihadapan umum yang menjadi dasar munculnya pro kontra pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, maka tentu Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 tidak cukup untuk mewakili dasar pertimbangan tersebut. sehingga itu, penulis berupaya memberikan paparan yang sedikit mendetail sebagai bahan untuk menimbang kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP dengan pijakan yang juga sedikit akademis agar tidak melahirkan pandangan subjektif.
Sebelumnya di dalam KUHP telah diatur pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden diantaranya Pasal 134 berisi ancaman pidana paling lama 6 (enam) tahun penjara atau denda paling tinggi Rp 4.500 bagi mereka yang dengan sengaja menghina Presiden atau Wakil Presiden. Pasal 136 bis berisi cara menyatakan penghinaan terkait dengan pihak-pihak yang hadir dalam melakukan penghinaan tersebut. Pasal 137 berisi cara menyiarkan tulisan atau gambar penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden agar diketahui atau lebih diketahui oleh umum dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda maksimal Rp 4.500. Namun demikian, ketiga pasal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pasal tersebut sangat mungkin disalahgunakan secara berlebihan untuk menjerat setiap orang menggunakan hak konstitusionalnya dalam hal menyatakan pendapat, mengemukakan pikiran, atau menyampaikan kritik tanpa bermaksud menghina. Disisi lain ketentuan pasal penghinaan Presiden atau Wakil Presiden dalam pandangan Mahkamah Konstitusi tidak berkesesuaian dengan Pasal 7A UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden bisa didakwa untuk proses pemakzulan melalui pernyataan pendapat oleh DPR jika melakukan pelanggaran hukum berupa penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana berat, dan perbuatan tercela.
Jika terjadi suatu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945, tentu setiap orang yang ingin memberikan keterangan atau mengungkapkan kesaksian atas peristiwa hukum yang dilakukan Presiden bisa jadi akan diajukan dihadapan pengadilan pidana karena dinilai menghina presiden meskipun tidak ada niatan dalam hal menghina atau memfitnah. Implikasinya pasal tersebut merupakan gelang karet yang dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam suara publik. Sehingga itu menurut Mahkamah Konstitusi dengan pencabutan atas pasal-pasal tersebut, penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden bisa menggunakan KUHP Pasal 310 (pencemaran terhadap orang biasa) dan Pasal 207 (pencemaran terhadap penguasa pada umumnya) yang hukumannya relatif ringan.
Menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP yang baru sama saja tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi serta dianggap tidak patuh terhadap putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Seharusnya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, maka pembuat Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) harus memperhatikan kembali pasal penghinaan presiden untuk tidak dituangkan dalam RKUHP baru karena putusan Mahkamah tersebut merupakan putusan yang memuat serangkaian peristiwa hukum demi terselenggaranya kehidupan bernegara yang patuh terhadap prinsip negara hukum yang dianut oleh Indonesia.
Sementara itu, Pasal 218 dan 219 a quo dalam RKUHP baru tidak memberikan penjelasan mengenai batasan mana atau definisi yang disebut sebagai perbuatan menghina, menyerang kehormatan, harkat, dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden (Sekalipun ada mungkin penulis belum membacanya secara utuh karena draft penyusunannya tidak terakses ke publik). Batasan definisi ini perlu untuk diketahui karena menjaga jangan sampai apa yang dikhawatirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan yang membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP lama akan digunakan untuk menjerat setiap individu warga negara untuk menyampaikan pendapat, pikiran, dan kritikan terhadap kebijakan Presiden. Dalam negara hukum demokrasi setiap warga negara ikut serta dan terlibat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah, tetapi keterlibatan warga negara itu akan terbatas bahkan tidak bisa digunakan karena ada ancaman pidana yang menunggu serta mencari delik dari setiap ungkapan, pendapat, pikiran, dan kritikan yang diutarakan oleh warga negara.
Kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh konstitusi meskipun bukanlah hak yang absolut. Karena kebebasan berpendapat sebagai hak, maka kebebasan itu hanya perlu diatur dan bukan untuk dibatasi. Dalam konteks keindonesiaan kata bebas (freedom)terkadang dikonotasikan kurang tepat dengan memunculkan tindakan yang sangat bebas diluar kendali budaya dan kultur yang dianut, misalnya seks bebas yang bertentangan dengan budaya Indonesia sehingga kebebasan di identikan dengan kata liar. Tetapi jika kebebasan itu terlalu di intervensi jauh oleh kekuasaan (birokrasi negara) maka hal itu memunculkan keadaan individu yang tidak bertumbuh dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih.
Immanuel Kant, dalam risalah tentang kebebasan dan emansipasi manusia memberikan penjelasan dimana kita harus percaya bahwa manusia mampu memilih, mampu tumbuh. Dalam proses itulah berlangsung pembelajaran.
Kalau sang manusia, sang individu, ingin dibuatkan pilihan terus-menerus oleh otoritas di luar dirinya, maka individu tersebut dan ini bisa kita perluas menjadi masyarakat tidak akan kunjung matang. Jadi situasinya adalah kita buat sebuah sistem yang menjamin kebebasan agar individu-individu bebas memilih, dan dalam proses memilih terus-menerus dalam hidupnya itulah ia menjadi lebih matang, lebih otonom lebih dewasa.
Kebebasan itu menurut Kant tidak perlu dikhawatirkan oleh penguasa karena manusia pada dasarnya memiliki kemampuan berpikir untuk memilih mana yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa ditentukan oleh unsur diluar dirinya. Justru yang patut dikhawatirkan adalah orang yang mengatasnamakan agama, mengatasnamakan masyarakat dan kebaikan bersama untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain.
Pendapat yang dikemukakan oleh Kant di atas jika ditarik dalam konteks pasal penghinaan Presiden jangan sampai kekuasaan mengatasnamakan perlindungan terhadap harkat dan martabat diri Presiden dengan memperalat hukum demi melanggengkan kekuasaan dan tentunya mengkhianati amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan jaminan pemenuhan atas hak asasi warga negara. Karena itu perlu dipahami adalah jabatan Presiden merupakan legitimasi kekuasaan yang di dapatkan dari legitimasi kedaulatan rakyat melalui proses pemilu dan jabatan Presiden merupakan jabatan politik karenanya patut dan tidak dapat dilepaskan dari kritik publik.
Secara sosiologis, sekali lagi penulis tidak melihat dasar sosiologis dimasukannya pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP yang baru. Justru penulis melihat bahwa kritik publik terhadap kinerja pemerintah (Presiden) maupun pemerintah secara umum muncul karena adanya rangkaian peristiwa politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang pada akhirnya banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh negara hukum demokratis. Sebut saja keinginan untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945 karena dorongan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode namun niatan itu diurungkan karena mendapat penolakan besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat. Dengan demikian harus dipahami bahwa kritik publik tersebut adalah respon atas kondisi kebangsaan sebagai realitas politik, hukum, dan lain sebagainya.
Dalam hukum pidana, pemidanaan dimaknai sebagai upaya hukum untuk menciptakan ketertiban umum dengan cara pemberian hukuman bagi yang melanggar. Jika demikian maka hukum pidana memandang bahwa setiap orang pantas dihukum atau mendapatkan hukuman sebagai pembalasan atas perbuatan yang dilakukan. Namun metode pemidanaan tersebut kurang tepat apabila digunakan oleh pemerintah untuk menghukum warga negara dalam hal kemampuan mereka mengemukakan pendapat yang sejatinya adalah keniscayaan dalam suatu negara hukum demokratis. Meminjam istilah Jurgen Habermas bahwa dalam negara demokrasi terdapat ruang publik bagi warga negara untuk melangsungkan kehidupan bersama yang harmonis. Habermas menawarkan ruang publik khusunya “ruang publik politik” sebagai tempat ideal berlangsungnya opini dan aspirasi diskursif publik. Menurut Habermas ruang publik politis disediakan sebagai wadah bagi warga negara melakukan interaksi melalui komunikasi untuk menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan masyarakatnya dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain, seperti uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara), agar keseimbangan tercapai. Dengan demikian, ruang publik merupakan keadaan yang dapat diakses semua orang untuk mencapai kehidupan bersama yang harmonis sehingga seluruh kehendak umum dapat diupayakan pencapaiannya.
Di sisi lain dalam hukum pidana dikenal asas Ultimum Remedium yang menjadikan hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Berkaitan dengan pasal penghinaan terhadap Presiden maka asas ini dapat digunakan mengingat perbuatan menghina presiden merupakan delik aduan sehingga sangat mungkin bagi Presiden dengan segala perangkat kekuasaan yang dimiliki untuk menempuh jalur diluar pidana. Lebih ideal lagi sebagai dasar pertimbangan penulis bahwa baiknya pasal tersebut tidak dimuat kembali dalam RKUHP yang baru karena sebelumnya pernah ada tetapi dicabut dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi serta rumusan pasal tersebut masih membawa warisan sistem hukum Belanda yang sangat bertolak belakang dengan pembangunan hukum nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Terakhir penulis ingin menegaskan bahwa seluruh rangkaian argumentasi di atas tidak bermaksud mengarahkan atau menyetujui adanya penghinaan terhadap kehormatan dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden. Lebih dari itu, penulis menginginkan adanya pertimbangan matang dalam menghidupkan kembali pasal tersebut dengan alasan-alasan yang telah penulis uraikan sebelumnya. Sebab penulis selama ini dan sekali lagi tidak melihat adanya perbuatan menghina, menyerang harkat dan martabat Presiden yang dilakukan oleh warga negara dalam ruang publik. Melainkan penulis hanya melihat selama ini publik memberikan respon atas realitas politik, hukum yang bertebaran dalam ruang publik sehingga tidak elok kiranya rumusan pasal tersebut tidak memperhatikan keadaan sosio-politik tersebut dan sebagaimana negara demokrasi menjamin adanya ruang bagi warga negara untuk menyampaikan pikiran dan gagasannya secara terbuka.
Sungguhpun demikian, apabila pemerintah dan DPR masih mempertahankan rumusan pasal tersebut dalam RKUHP baru maka tepatlah apa yang diungkapkan oleh Niccolo Machiavelli dalam bukunya yang berjudul “sang penguasa” dengan lugas dan tegas ia mengatakan bahwa secara pragmatis, Machiavelli berpendapat kekuasaan harus direbut dengan pelbagai cara. Tak peduli harus memakai trik yang paling kotor sekalipun. Dan jika kekuasaan sudah di genggaman, patut dipertahankan dengan kekuataan bahkan kekuasaan harus dijaga dengan metode ‘medis’ yang mensyaratkan setiap perlawanan dianggap sebagai virus wajib dimatikan. Ketimbang luka menyebar, anggota tubuh yang terinfeksi mesti dipotong. Bahkan, kalau perlu sang penguasa harus bisa mencitrakan diri dengan berperilaku sesuci anak domba hingga seganas serigala dan seringai kelicikan rubah. Demikian halnya dengan pasal penghinaan Presiden bisa jadi digunakan oleh penguasa untuk maksud yang disampaikan oleh Niccolo Machiavelli yaitu menjadikan ancaman pidana untuk menakuti warga negaranya karena dianggap mengganggu keberlangsungan kekuasaan.(*)
*) Penulis adalah Ketua DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Gorontalo