PAGI ini saya dapat mention dari Founder dan CEO Rumah Karawo (RK), Pak Agus Lahinta meminta ulasan tentang berita yang dimuat gopos.id (baca link berita; Karawo Mahale). Secara garis besar berita tersebut menyoroti opini tentang mahalnya karawo produksi RK.
Kata “mahal” dikonversi menjadi nilai bagi sebuah produk fashion yang dicirikan oleh sulaman yang dapat diterawang atau disebut masyarakat Gorontalo dengan Karawo.
Sependek pengetahuan saya belum ada sebuah teknologi tepat guna yang dapat memproduksi sulaman karawo secara massal. Teknik pembuatannya masih mengandalkan daya kreasi manusia (atau handmade: ags).
Dari proses ini saja sebenarnya kata mahal tak memiliki tempat untuk disejajarkan. Ia jauh di bawah proses pembuatan itu sendiri.
Karena sulaman karawo berubah menjadi produk fashion yang komersil, harga menjadi relevan dan kata “mahal” menemukan momemtumnya.
Itupun karena ada kata “murah”. Kata mahal menemukan maknanya karena dibedakan dengan kata murah. Dan dalam dunia ekonomi (baca: komersil), mahal dan murah itu diposisikan secara biner. Begitulah kapitalisme menempatkan relasi produksi antara barang dan nilai (harga).
Karawo dihasilkan dari kearifan lokal masyarakat Gorontalo–setidaknya hingga saat ini. Ia menjadi produk budaya, nilai sejarah, dan warisan leluhur. Kearifan lokal inilah yang bersembunyi dibalik sebuah produk fashion yang bernama karawo. Orang tidak mudah membacanya. Ketika memasuki budaya pop, karawo menjadi komoditas.
Nilai budaya, sejarah, dan warisan leluhur ikut terkomodifikasi menjadi produk fashion yang harus dilabeli harga. Mau tidak mau, mahal dan murah kembali dipertentangkan. Padahal, apabila berbicara nilai budaya, sejarah, dan warisan, karawo itu tak memiliki nilai sepadan untuk dilabeli harga.
Begitu RK melabeli produknya dengan suatu harga dan direlasikan dengan segemen pasar tertentu–kelas atas, misalnya–akan membuat produk itu dimuati identitas sosial sosial tertentu. Dalam bisnis fashion, positioning RK menempati posisi “exclusive”.
Harga menjadi terdiferensiasi dengan produk sejenis lainnya. Alhasil, stigma “mahal” disematkan pada produk-produk RK. Stigma ini muncul karena dipertentangkan lagi dengan harga murah dari produk sejenis.
Mungkin masyarakat lupa, komodifikasi identitas sosial ke dalam produk RK, terselip selera dan hasrat dibalik produknya.
Selera dan hasrat akan melampaui fungsi fashion itu sendiri sebagai kain penutup tubuh. Ia berada di poros gaya hidup (lifestyle) kelas yang ditandainya, yaitu kelas mengah atas. Kita bisa bayangkan sebuah karawo produksi RK dimuati banyak nilai. Nilai yang seharusnya tak memiliki padanan harga.
Odu’olo.
Bandung, 6 Jumadil Awal 1443 H/1 Januari 2020