GOPOS.ID, GORONTALO – Tantangan degradasi lingkungan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi sorotan utama dalam orasi ilmiah Prof. Dr. Fitryane Lihawa, M.Si., yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Selasa (24/6/2025).
Dalam orasi yang berjudul “Dari Lahan Kritis ke Harapan Baru: Menggugah Peran Sosial-Ekonomi Masyarakat dalam Pemulihan Daerah Aliran Sungai”, Prof. Fitryane mengupas mendalam kerusakan ekosistem DAS di Provinsi Gorontalo, sekaligus menawarkan solusi berbasis kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam pemulihannya.
Mengawali orasinya, Fitryane menjelaskan bahwa Daerah aliran sungai adalah suatu ekosistem yang berfungsi mengatur sistem tata air di dalamnya. DAS merupakan penampung, menyimpan dan mengalirkan air di dalam sistemnya dan berakhirnya mengalirkan dalam suatu outlet menuju ke laut.
Mengacu pada data dari Kementerian PUPR, wilayah Provinsi Gorontalo terdiri atas 108 daerah aliran sungai yang terbagi ke dalam tiga wilayah sungai besar, yaitu Wilayah Sungai Paguyaman (20 DAS), Wilayah Sungai Randangan (14 DAS) dan Wilayah Sungai Limboto-Bulango-Bone (74 DAS), yang semuanya bermuara ke Teluk Tomini.
Lebih dari sekadar bentang alam, DAS, bagi Prof. Fitryane, adalah urat nadi ekosistem yang menopang keberlangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. Namun ia menyoroti bahwa selama dua dekade terakhir kawasan ini mengalami degradasi yang masif. Salah satu indikator utamanya adalah luas lahan kritis di Gorontalo yang terus meningkat tajam.
“Luas lahan yang masuk kategori sangat kritis mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, peningkatan dari 65.414 hektar di tahun 2004 meningkat menjadi 259.483 hektar di tahun 2020. Ini menunjukkan lonjakan hampir 4 kali lipat dalam 16 tahun,” ujar Fitryane.
Kondisi ini terjadi di seluruh kawasan DAS di Gorontalo, termasuk bagian hulu Danau Limboto. Ia menyebut Kabupaten Pohuwato sebagai wilayah dengan luas lahan kritis terbesar, disusul Bone Bolango, Boalemo, Kabupaten Gorontalo, dan Kota Gorontalo.
“Walaupun wilayahnya relatif kecil, namun tekanan urbanisasi yang tinggi menyebabkan perubahan tutupan lahan menjadi lahan terbangun. Sebagian wilayah di wilayah pinggiran kota berbatasan dengan perbukitan ikut terdampak proses degradasi lahan,” jelasnya.
Temuan dari penelitian yang dilakukannya sejak tahun 2009 hingga 2025 menunjukkan bahwa kerusakan lahan tidak hanya merupakan persoalan lingkungan.
“Degradasi lahan bukanlah semata masalah ekologis, melainkan juga masalah sosial ekonomi,” tutur Fitryane.
Ada tiga faktor penting yang mendorong percepatan degradasi lahan, yaitu alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian seperti jagung, pembukaan lahan pada lereng curam tanpa konservasi, dan tekanan sosial-ekonomi petani kecil.
“Sebagian besar petani adalah tulang punggung ekonomi desa, namun mereka juga berada di garis depan kerusakan lingkungan bukan karena kesengajaan, tetapi karena ketidaktahuan dan keterpaksaan,” ujarnya.
Menurutnya, kunci pemulihan DAS bukan semata pada teknologi, melainkan pada pemberdayaan masyarakat.
“Jika kita ingin mengubah wajah daerah aliran sungai, maka kuncinya bukan hanya teknologi, tetapi kesadaran dan keterlibatan masyarakat. Masyarakat bukan hanya subjek pembangunan, tetapi aktor utama dalam upaya restorasi lingkungan.” ucap Dekan Fakultas MIPA itu.
Ia mendorong pendekatan partisipatif, edukatif dan insentif ekonomi berkelanjutan sebagai solusi masa depan.
“Hari ini kita tidak hanya membicarakan lahan kritis, tetapi lahan yang menyimpan harapan-harapan bahwa masyarakat bisa berdaya, alam bisa pulih dan kesinambungan dapat dicapai antara produksi dan konservasi,” tuturnya.
Menutup orasinya, Prof. Fitryane menyampaikan pesan penuh makna Harapan itu adalah ketika ilmu bertemu dengan aksi dan ketika kebijakan menyentuh akar rumput.
Dari lahan kritis, kita bangun harapan baru dari daerah aliran sungai kita, tulis narasi pemulihan yang dimulai dari masyarakat itu sendiri. Terima kasih atas perhatian dan kesempatan yang diberikan.
Semoga orasi ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi membangkitkan gelombang-gelombang aksi yang nyata.(Rama/Gopos)